caessonia

Happiness


Seperti yang telah dijanjikan sebelumnya, alisa datang ke kos kuroo. Sudah beberapa hari hubungan keduanya renggang. Baik itu karena kuroo maupun karena alisa. Alisa yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya di laboratorium hingga tak terlalu mengerti kondisi kuroo. Dan kuroo yang hingga sekarang masih uring-uringan tidak jelas tanpa tahu penyebabnya.

Kuroo kerap bertanya ke dirinya sendiri, mengapa dia bertingkah seperti itu saat ia merasa semuanya baik-baik saja. Surprisingly, everything goes well. Dan di situlah yang membuat kuroo bingung, semuanya berjalan lancar saat ia sendiri masih merasa ada yang mengganjal.

Urusan dengan bokuto lancar, walaupun ada beberapa hal yang aneh dan sempat ceritakan ke oikawa tadi siang. Hubungannya dengan alisa pun masih berjalan, yah walaupun tidak bisa dikatakan lancar.

“Kamu udah mendingan?,”

Kuroo menatap alisa sambil tersenyum kecil, “Iya udah kok. Aku cuma capek sama kerjaan aja kayanya,”

“Iya. Coba kamu sering main deh, refreshing gitu..” Ucap alisa, “Tapi maaf yaa, aku sekarang waktu senggang terbatas banget jadi jarang bisa main sama kamu. Lagi ngejar deadline aku..” lanjutnya.

“Aku mau minta maaf juga karena aku dari kemarin gak bisa nemenin kamu..” Kata alisa lagi.

“Gak apa kak. Aku main kok sama bokuto..”

Alisa terdiam. Bokuto lagi, batinnya.

“Kamu tuh sama bokuto deket banget ya, kaya sodara...”

“Dia temen paling deket sih, dari dulu ke mana-mana bareng, jadi ya gitu,”

“Seru ya bokuto..”

“Iya kak. Serius temenan sama dia tuh banyak isinya ketawa mulu, kaya aku dibikin ketawa terus sama tingkahnya yang ajaib..”

“Udah pernah aku ceritain yang aku nungguin dia sampe isya gara-gara dia mainan bola sama anak kecil kan?” tanya kuroo yang dijawab anggukan oleh alisa.

“Nah itu kejadian lagi tau kak. Waktu itu kita beli ketoprak di deket kampus, ketoprak dibikin lima belas menit doang nih tapi bokuto ngobrolnya dua jam sama penjualnya... sampe aku selesai makan, ketoprak dia masih utuh. Abis aku tegur, eh masih dilanjutin ngobrolnya..” Kuroo tertawa sendiri.

Memang begitulah rasanya menjadi teman bokuto.

Kuroo juga bercerita, pernah suatu bokuto menjemput kuroo di kampusnya waktu siang hari untuk makan siang bersama, kebetulan waktu itu bokuto sedang jam kosong. Karena terlalu sering menjemput kuroo di kampusnya, beberapa pekerja di kampus kuroo pun mengenal bokuto. Tak jarang bokuto menyapa seseorang di kampusnya, seperti satpam, petugas kebersihan, tukang kebun, bahkan ibu-ibu kantin juga. Entah bagaimana bokuto bisa mengenal mereka padahal kuroo sendiri tidak kenal.

“Bokuto mah semuanya aja dijadiin temen. Lama-lama dekan kita juga jadi temennya kali ya...” canda kuroo.

“Tapi temenan sama dia tuh juga nahan malu banget kak,” kuroo melanjutkan ceritanya. Alisa masih diam menyimaknya.

“Pernah waktu itu aku sama dia antre tiket nonton kan, terus ada anak kecil tiba-tiba motong antrean di depan kami. Nah, terus dia negur itu anak kecil, dibilang suruh antre dari belakang. Iya sih niat dia bagus, ngajarin anak kecil buat teratur. Tapi abis dibilangin sama bokuto, tu anak kecil nemplok ke ibu-ibu yang antrian di depan kami...”

“Alias ternyata itu anaknya...” Kuroo tertawa lepas. “Ibunya langsung ngeliatin sambil ngedumel. Bokuto kicep seketika sambil ngeliatin aku, aku sih pura-pura gak liat apapun. Sumpah, malunya gak ketolong...”

“Sama tadi malem tuh dia senyum ke barista tempat dia biasanya nongkrong, gak jelas banget...”

Kuroo bercerita menggebu-nggebu tentang bokuto. Dan hal itu membuat alisa diam. Melihat alisa diam, kuroo menghentikan ceritanya. Air muka alisa pun berubah.

“Udah ceritanya?” tanya alisa.

“Kamu tuh didatengin malah ngomongin orang lain yang bahkan gak ada di sini...”

Shit, kuroo bahkan tidak menyadari itu.

Sorry...

“Kamu kemarin uring-uringan dan diajak keluar susah. Giliran diajak bokuto aja langsung mau, mana pake bohong ke aku lagi. Jujur aku kesel banget waktu itu...” ucap alisa.

Ya siapa yang tidak kesal?

Posisi alisa jadwal kosongnya terbatas, dan sekalinya bisa bertemu kuroo, pacarnya itu malah berbohong dan menghabiskan waktu dengan orang lain. Hal itu tentu membuat alisa kecewa.

Dan pada saat itu kuroo malah menghindari pembicaraan. Jadi di sinilah alisa, berusaha untuk membicarakan hal ini dengan pacarnya. Ditambah kini kuroo yang membicarakan bokuto tanpa henti.

“Tentang itu, aku minta maaf banget kak.” ucap kuroo.

“Tetsu, coba jawab jujur. Kalo disuruh milih, kamu milih pergi sama aku sebagai pacarmu atau bokuto?”

“Jangan tanya gitu dong kak,” sanggah kuroo, “Mana bisa aku milih..”

“Aku akhir-akhir ini sering main sama bokuto juga karena kan abis baikan,”

“Baikan? Kalian ada masalah sebelumnya?”

Sial, kuroo keceplosan.

Iya, semua yang terjadi antara ia dan bokuto sebelum-sebelum ini tidak ia ceritakan ke alisa. Ia memendam semuanya sendiri, yah walaupun diceritakan ke oikawa juga. Tapi tak terbesit sedikitpun di pikirannya untuk memberitahu pacarnya sendiri. Ia tidak mau semuanya menjadi lebih rumit.

“Ah, jadi itu yang bikin kamu uring-uringan dari kemarin..” Alisa menuduh dengan nada tajam, “Tetsu, ada yang mau kamu ceritain?” tuntutnya.

Tapi yang namanya bangkai, mau sepintar apapun menutupi pasti akan tercium baunya. Sepintar apapun kuroo menyembunyikan, nantinya alisa juga pasti akan tahu. Jadi kuroo mau tak mau pun akan menceritakan hal ini pada alisa sekarang juga.

I'm sorry...

Akhirnya semua rahasia yang kuroo simpan baik-baik pun ia bongkar satu persatu. Ia beritahukan semuanya kepada alisa. Mulai dari awal sekali. Dari alisa yang mulai meminta dikenalkan dengan bokuto, dan ini membuat alisa sedikit mencelos.

Dilanjutkan dengan bokuto yang menolaknya dan akhirnya alisa 'dioper' ke kuroo. Kuroo sendiri menjelaskan bahwa dia memang dari awal menyukai alisa, lebih tepatnya mengagumi. Jadi saat kuroo melihat peluang, ia tidak akan menyia-nyiakannya. Kemudian mulai saat dia mengajak alisa untuk menjadi kekasihnya dan disetujui, semuanya menjadi runyam antara bokuto dan kuroo. Semua ia ceritakan secara detail. Dari awal sekali hingga akhir, di mana sekarang ia sudah berbaikan dengan bokuto.

Dan hal yang paling membuat alisa merasa terbodohi adalah tentang bokuto yang menyatakan perasaannya kepada kuroo. Hal ini membuat alisa terguncang bukan main. Ia merasa dibodohi habis-habisan, namun di lain sisi ia juga merasa bahwa kehadirannya sendiri lah yang membuat kuroo dan bokuto memiliki permasalahan seperti itu.

Semua cerita yang kuroo beritahu membuat dirinya tidak habis pikir. Bahkan sekarang ia bingung harus bersikap bagaimana. Kecewa? tentu. Sebenarnya di posisi ini, alisa berhak marah. Dan benar saja, alisa merasa marah, kecewa, dan tidak habis pikir bercampur menjadi satu.

Pertama, karena kuroo baru menceritakan itu sekarang. Bahkan sepertinya kuroo terpaksa menceritakan karena ia tadi keceplosan. Ia berpikir jika hal sebesar ini wajar jika diceritakan dengan pasangan sendiri. Tapi lain hal kalau salah satunya ingin menutupi. Benar kan?

Alasan kedua, karena alisa merasa tidak dianggap sebagai pacar yang bisa diandalkan saat kuroo ada di kondisi terburuk. Contohnya waktu kuroo uring-uringan kemarin. Bahkan kuroo cenderung menghindarinya. Ia jadi merasa bahwa ia ini bukan pain relief, tapi malah jadi beban.

Alasan ketiga, karena ia menyadari kalau kini ia bukan prioritas kuroo. Sejujurnya alisa sudah mulai merasakan hal ini sejak kuroo sering menceritakan bokuto lewat pesannya, tapi pada saat itu ia tidak terlalu menghiraukan. Dan pada saat ini, efeknya semakin menjadi-jadi dan membuat alisa tak berpikir dua kali lagi.

Dan di sinilah alisa, diam tak tahu harus bagaimana menanggapi kuroo. Ia masih seperti orang yang hilang kesadaran. Bahkan tidak sadar kalau air matanya sudah lolos di pipinya. Matanya sedikit memanas.


Setelah bercerita panjang lebar, tak sepatah katapun keluar dari bibir alisa. Yang ada hanyalah alisa yang diam dan mengusap matanya sedikit kasar.

Kuroo kini merasa menjadi bajingan seutuhnya.

Berulang kali ia ucapkan maaf sambil menunduk, tidak berani melihat alisa. Bahkan mengintip dari ekor matanya pun ia tidak berani. Ia tak berani menatap ekspresi kecewa alisa yang terpampang nyata di depannya.

“Tetsu...” panggil alisa yang membuat kuroo mendongakkan wajahnya.

Alisa berjalan mendekati kuroo, yang mana membuat kuroo bingung bukan main. Kalaupun alisa ingin menamparnya, ia sudah mempersiapkan diri. Ia merasa bahwa pantas menerima itu.

Namun bukannya tamparan, alisa malah menarik salah satu tangan kuroo. Ia arahkan tangan itu ke arah pipinya sendiri. Mencium telapak tangan kuroo dengan bibirnya yang ranum. Lalu ia tatap kuroo dengan matanya yang sembab itu.

Kemudian ia ulurkan tangannya menyentuh dada kuroo, bertepatan di jantung kuroo. Dan yang ia rasakan bukanlah degup jantung yang menggebu saat bersentuhan dengan orang yang dicintai.

It looks like i'm not your happiness right now, tetsu. Not anymore...” ucap alisa getir.

Kuroo mendengar itu langsung menarik tangannya dari alisa dan beralih menggenggam salah satu telapak tangan wanita di depannya.

“Kamu apaan sih, kok bisa ngomong gitu?”

“Sekarang aku paham, tetsu. Alasan kamu kemarin uring-uringan dan ngehindarin aku..” kata alisa,

“Awalnya aku mikir itu karena aku terlalu gak perhatian sama kamu..” Alisa menarik napasnya gusar, lalu menghembuskannya perlahan.

“Ternyata itu bukan cuma karena aku,”

It's not about me. It's all about you...

Alisa berkata demikian. Tentu alisa tak mau menyalahkan bokuto juga, karena ia tahu sekarang bokuto sudah menjaga perasaannya demi pertemannya dengan kuroo dan hubungan kuroo dengan alisa. Ia bahkan sangat menghargai itu, meskipun pada kenyataannya ia sangat takut tanpa alasan. Namun kini semuanya telah terjawab, bahwa alasan itu semua adalah kuroo sendiri.

“Kamu cerita sendiri. Everything was fine, sampe kamu coba-coba, terus semua yang kejadian antara kamu sama bokuto. Dan berakhir sekarang kamu yang ada di tahap ini...”

Babe no—”

“Biar aku lanjut ngomong dulu,” potong alisa.

“Sadar gak sadar, pikiran sama perasaan kamu sekarang udah diambil alih sama orang lain. Mungkin masih ada aku di sana, tapi aku cuma sebagian kecil..”

“Dan sekarang, raga kamu di sini sama aku tapi bisa jadi hati sama pikiran kamu ada di tempat lain...”

“Kak, kita ketemuan bukan buat bahas ini please.”

“Enggak tetsu, aku emang mau bahas ini. Awalnya aku yakin itu spekulasiku aja. Ditambah aku yang akhir-akhir ini gak sempet meluangkan waktu buat kamu. Makanya aku ke sini, dan saat aku tau semuanya, aku yakin memang itu faktanya,”

Kuroo meresapi tiap kalimat yang dikatakan alisa. Memang benar adanya kalau akhir-akhir ini pikirannya terpusat pada satu orang. Bahkan bau orang itu masih ia ingat dengan jelas dan dengan lancangnya terpatri di pikirannya. Tapi yang namanya kuroo tetsurou tetap saja berpegang teguh dengan pikirannya yang bebal itu.

“Kak, itu gak bener...” ucap kuroo, “It's only you

“Tetsu, kamu mungkin bisa ngebohongin aku. Tapi kamu gak bisa ngebohongin diri sendiri,”

Alisa melepaskan tangan kuroo yang menggenggam tangannya. Kemudian ia genggam satu tangan kuroo yang mendingin dengan kedua tangannya. Mengusapnya pelan sambil berkata,

“Menurut kamu kita masih bisa lanjut gak?” tanya alisa.

I think we can't go further.” lanjutnya.

Hati kuroo sedikit mencelos. Ia tak mengira akan sebegini cepatnya alisa memutuskan.

“Enggak kak. Please, kita masih bisa..” ucap kuroo.

Kuroo awalnya menyangkal habis-habisan perkataan alisa. Ia berpikir bahwa waktu mereka pacaran belum terlalu lama, bahkan bisa bisa dibilang masih seumur jagung. Memang kuroo tidak antusias seperti dulu waktu masa pdkt atau waktu awal pacaran dengan alisa. Namun menurutnya itu bukan alasan yang tepat untuk mengakhiri hubungan ini.

Kalaupun kuroo ditanya, apakah ia masih menyayangi alisa, mungkin jawabannya adalah ya, ia masih menyayanginya. Namun ia tidak sadar bahwa rasa sayang yang ia miliki kini terasa pudar perlahan, entah bagaimana rasa itu kini tertutupi dengan perasaan aneh yang akhir-akhir ini membuatnya isi pikirannya tercampur aduk.

“Tetsu, listen to me..

“Aku gak mau ngebuang waktu kamu. Selain itu, aku sendiri sekarang juga lagi gak available buat kamu karena ada hal lain yang jadi prioritas aku,”

“Saat kamu disuruh milih pun kamu bingung. Aku nggak mau kamu bohong ke diri sendiri, tetsu. Kalau kamu belum tahu siapa yang harus kamu pertahankan, jawabannya itu bukan aku..”

“Jadi, tetsu.. gimana kalo kita sampe sini aja?”

Saudade


Bokuto tersenyum melihat kuroo, orang yang ia temui. Hampir jam sebelas malam dan bokuto mau menjemput kuroo. Padahal keadaan mereka dapat dibilang tidak baik. Masih perang dingin, katanya.

Namun kuroo, yang dijemput, hanya diam membisu. Menatap bokuto dengan wajahnya yang kelelahan dan badan yang kaku.

Bokuto koutarou. Orang yang membuat pikirannya akhir-akhir ini runyam. Kuroo akui sebenarnya itu bukan sepenuhnya salah bokuto. Bokuto sudah menjauh dan menjernihkan pikirannya. Namun kuroo sendiri lah yang memperumit diri dan keadaan. Ia juga bingung apa yang terjadi dengan dirinya dan mengapa dia melakukan itu.

Dan kini bokuto ada di hadapannya, mengulurkan satu helm dan hoodie hitam yang familiar ke kuroo. Namun kuroo tidak kunjung merespon, ia masih terdiam. Ia memikirkan mengapa bokuto mau-maunya menjemput dirinya ke sini, setelah apa yang mereka alami akhir-akhir ini. Ia memikirkannya sampai tidak fokus ke sekitar. Bahkan ia hampir tidak menyadari kalau bokuto memanggil namanya berulang kali.

“—kur?”

“Gak mau pulang?” ucap bokuto, menyadarkan kuroo dari diamnya.

”...mau,”

Kuroo yang tersadar dari lamunannya pun dengan segera menerima helm dan hoodie di depannya.

Dalam perjalanan pulangnya, kuroo masih tak membuka mulut. Dia diam seribu bahasa. Duduk di jok belakang motor bokuto, membiarkan angin dingin menerpa wajahnya.

Kemudian ia menyadari bahwa jalan yang mereka tuju bukanlah jalanan ke kos kuroo. Melainkan ke tempat yang beberapa hari lalu ia datangi.

Alun-alun.

“Ngapain ke sini?” kata kuroo saat mereka sudah sampai. Bokuto turun dari motor dan menatap kuroo.

Ia memarkirkan motornya tepat di depan gerai makanan.

“Lo belum makan kan?” Tanya bokuto, “Perut lo bunyi tuh daritadi..” sambungnya.

“Makan dulu, sekalian gue mau ngomong...”

Kuroo mengangguk. Sial, bokuto menyadarinya. Ia berpikir kalau bokuto mengetahui gerak-gerik kuroo, kebiasaannya, dan semua tentangnya saat ia sendiri tidak begitu peduli pada hal itu.

“Lo duduk aja di sana,” ucap bokuto sambil menunjuk satu bangku di pinggiran alun-alun, menghadap lapangan tengah. Cahaya dari lampu jalanan menyinari tempat itu. “Gue pesenin makanan dulu,”

Kuroo menuruti kata-kata bokuto. Ia langkahkan kakinya ke bangku yang ditunjuk sebelumnya. Ia tatap lapangan yang dulu menjadi tempat bermain mereka—sering mereka kunjungi. Sekarang ramai, tidak seperti terakhir kali ia ke tempat itu sendirian. Ia terlarut dalam pikirannya sendiri.

Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya bokuto pun datang dengan membawa dua box makanan beserta minumannya. Bokuto mendudukkan dirinya di sebelah kuroo. Ia tidak berkata apapun, menunggu kuroo membuka mulut. Tapi kuroo sendiri masih enggan untuk mengeluarkan suara.

“Lo kemarin ke sini kan?” tanya bokuto sambil memberikan satu cup minuman ke kuroo.

Kuroo tersenyum kecil menerimanya, “Iya,”

Ah, ternyata bokuto tau. Ia tau kalau kuroo memang sengaja ke sini untuk menghabiskan waktu sorenya. Kuroo seorang diri ke sini berharap pikirannya bisa jernih atau setidaknya meringankan hatinya, namun yang ia dapatkan hanyalah perasaan aneh yang kian membuncah.

“Gue kemarin ke sini, bosen. Tapi sekarang rasanya udah lama gak ke sini...” ucap kuroo sambil menenggak minumannya. Tatapannya masih lurus, jauh menuju tengah lapangan yang terdapat beberapa orang-orang bergerombol.

“Kayanya karena gue sekarang bareng lo,” lanjutnya.

“Kerasa udah lama ya?”

“Iya, padahal baru tiga minggu gue gak ketemu lo bok...”

“Gue ngerasa setahun,” Bokuto tertawa pelan.

“Sama...” Kuroo juga membalas tawa bokuto.

Akhirnya mereka berdiam diri lagi, sesekali menyesap kopi panas yang menghangatkan mereka. Makanan mereka belum terjamah sama sekali.

“Makasih ya..”

“Buat?” tanya bokuto.

“Mau jemput gue,”

Namun bokuto tidak menjawab. Malah ia menyandarkan punggungnya ke bangku dan menatap langit-langit. Tidak terlihat bintang maupun bulan. Hanya ada cahaya dari lampu jalanan yang menjadi saksi bisu mereka.

“Maaf ya bok,” Kuroo menoleh ke arah bokuto.

Bokuto menatapnya bingung.

“Buat yang kemarin..” lanjut kuroo.

“Gue sadar gue kasar banget ke lo,” kuroo berkata pelan.

Rencana untuk mengirim pesan ke bokuto beberapa minggu lalu pun tidak kunjung ia lakukan. Ia merasa waktu tidak selalu tepat baginya. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, waktu tidak akan pernah tepat. Kecuali jika memang dibuat agar tepat. Seperti sekarang.

I'm sorry for breaking your heart too,” ucap kuroo.

Bokuto menatap kuroo sendu. Sinar dari lampu jalanan turut memperjelas air muka bokuto.

“Gue sadar gak seharusnya gue ngetreat lo kaya gitu hanya karena lo temen gue,”

“Gue kemarin nyepelein..dan kesalahan gue di situ bok,” ujar kuroo, “Justru karena lo temen gue, harusnya gue gak ngetreat lo kaya gitu..”

Kuroo sendiri kini mulai memikirkan semua perbuatannya ke bokuto. Ia menyadari bahwa ia juga terlalu kejam. Kalau kata oikawa, kuroo itu jahat. Malam itu ia benar-benar memikirkan perkataan oikawa.

“Gak apa kur,” Bokuto berkata sambil menghela napasnya, “Gak usah dibikin pusing...”

“Lagian juga udah kemarin-kemarin,” Imbuhnya.

“Hmm... kalo boleh jujur ya, gue capek begini terus kur. Mau gak mau emang kita harus ambil keputusan,”

Kuroo menghela napasnya, “Gue juga capek bok...”

“Iya, makanya ini gue mau ngomong sama lo,”

Bokuto terkekeh pelan, “Gue kesepian banget tau, yah walaupun ada temen sih tapi beda aja gitu..” Kuroo mendengarkan bokuto yang mulai bercerita.

Bokuto yang setiap hari mencari distraksi agar tidak memikirkan apa yang terjadi dengannya dan kuroo. Hari-harinya berjalan seperti biasa, namun seperti ada yang kurang. Pemikiran itu terus membuatnya berlarut-larut.

Setiap malam ia memikirkan, andai saja bokuto tidak melakukan itu semua. Namun siapa bokuto yang bisa mengontrol perasaan saat itu? kalau boleh memilih, bokuto akan mengulang semua itu dan tetap menjadi teman dengan kuroo saja. Oleh karena itu, di sinilah ia memutuskan.

“Gue udah sadar kur..” ujar bokuto

“Jadi, bisa ya kita balik kaya sebelumnya? Gue bakalan ngontrol diri misal kelewatan. Gue juga udah bisa ngendaliin perasaan sekarang,”

“Lagian gue mikir, temenan kita gak setipis itu buat bisa ancur cuma gara-gara masalah perasaan begini...”

“Ya?”

Bokuto bahkan berkata bahwa ia rela melakukan apapun agar bisa kembali seperti dulu. Perang dingin dengan kuroo bukanlah rencana dalam hidupnya. Jadi ia tidak mau membuang waktu untuk hal seperti itu. Lebih baik ia dengan segera mengakhiri kondisi yang benar-benar menyiksanya ini.

“Gue kangen pergi main sama lo..” imbuh bokuto.

Lidah kuroo kelu.

Kuroo pun sebenarnya juga merasa begitu. Beberapa minggu terakhir ini terasa seperti neraka baginya. Selain kuliah, keadaan ini benar-benar menyiksanya.

“Bok..” panggil kuroo.

Bahkan tanpa sadar kuroo melakukan beberapa hal yang sekiranya pernah ia lakukan bersama bokuto dahulu. Seperti memakan junkfood—cheese burger, ia jadi teringat saat bokuto hampir tengah malam mampir dhrive thru dan dengan suka rela mengantarkannya ke kos kuroo.

Atau saat alisa sakit, ia teringat bokuto yang mau mampir ke supermarket untuk membelikannya obat flu, minuman vitamin C, dan pakan kucingnya. Tanpa sadar ia pun melakukan itu ke pacarnya sendiri.

Atau saat kuroo yang mampir ke tempat favorit mereka—alun-alun— seorang diri.

“Lo pikir gue kemarin ke sini ngapain?” tanya kuroo. Kuroo pun sebenarnya beberapa hari yang lalu ke alun-alun agar bisa meringankan perasaanya.

“Gue kepikiran banget pas kita main di sini,” ujar kuroo, “Gue pengen banget, sampe gue gak sengaja malah chat lo...”

Akhirnya kuroo mengaku terkait insiden beberapa hari yang lalu. Ia yang tidak sengaja mengirimi bokuto pesan, kemudian panik bukan main dan langsung menariknya.

“Akhirnya gue sendirian ke sini, sedikit ngarep kalo lo bakalan ada di sini.. tapi nyatanya enggak ada,” kuroo terkekeh sambil menunduk.

“Sebenernya gue kemarin ngeliat chat lo,” kata bokuto. Kuroo hanya mendengus geli mendengar tanggapan bokuto.

Iya, bokuto membacanya lewat notif. Belum sempat ia buka, namun sudah ditarik terlebih dahulu oleh kuroo. Ia mau menanggapi pun juga bingung harus bagaimana. Apalagi ia waktu itu masih dalam proses menjernihkan pikirannya.

Namun bokuto sekarang merasa telah jernih dan tersadarkan, jadi waktu kuroo tiba-tiba mengiriminya pesan minta untuk dijemput ia tak keberatan. Dan saat ia membalas malah centang satu, ia segera tancap gas menuju kampus kuroo.

Hening pun menyelimuti mereka sebentar.

“Jadi gimana?” bokuto bertanya.

“Gimana apanya?”

“Lo tau maksud gue, kuroo..”

Kuroo tergelak, tawanya lepas.

“Iya iya,” ucapnya. “Lagian idup gue gak asik kalo gak ada lo,”

Bokuto membalas tawa kuroo “Sama,”

“Sekali lagi maaf ya bok, buat semuanya..”

“Iya elah, bosen gue denger maaf mulu. Udah nih makan, jangan bawel..” jawab bokuto sambil memberikan bungkusan makanan.


Setelah sesi buka-bukaan mereka, akhirnya mereka melanjutkan perjalanan untuk pulang ke kos kuroo. Kembali lagi ke kuroo yang membonceng bokuto di jok belakang. Ia kenakan hoodienya yang sebelumnya tertinggal di rumah bokuto untuk beberapa minggu. Bahkan sudah dicuci beberapa kali kata bokuto.

Angin malam itu begitu dingin, merasuk ke dalam tubuh kuroo dan membuatnya menggigil. Kuroo yang aslinya tidak tahan dingin, mengeratkan tangannya untuk menghangatkan diri. Kalau sudah seperti ini, napasnya menjadi memberat. Ia sendiri menjadi mengantuk dan sedikit oleng. Meskipun sudah memakai hoodienya—bajunya menjadi tiga lapis— ia tetap menggigil dan tangannya merasa kebas.

“Bok, pelan aja.. gue dingin banget,”

“Iya ini pelan,” jawab bokuto.

Benar laju motor bokuto menjadi lebih pelan daripada sebelumnya. Namun, kuroo masih kedinginan. Nyatanya dingin malam itu tidak terelakkan.

“Lo kaga apa?” tanya bokuto.

“Bok, boleh gue peluk lo?” alih-alih menjawab, kuroo malah menanyakan hal lain.

Bokuto terdiam mendengarnya. Kuroo pun begitu setelah sadar apa yang ia ucapkan. Jadi dengan cepat ia imbuhkan, “Kalo gak boleh gak papa sih..”

“Iya boleh,”

Bokuto yang dasarnya tidak tegaan, apalagi dengan melihat kuroo yang kondisinya seperti itu, memperbolehkan kuroo. Bokuto sendiri juga seperti tidak terlihat keberatan.

Thanks” cicit kuroo.

Jawaban bokuto membuat kuroo seperti melihat lampu hijau. Ia dekatkan badannya ke bokuto. Ia melingkarkan tangannya di tubuh bokuto. Wajahnya begitu dekat dengan perpotongan leher bokuto. Bahkan ia bisa menghirup aroma parfum kawannya itu. Menyeruak dan memaksa memasuki indra penciumannya. Membuatnya sedikit tenang dan membekas di ingatannya. Kemudian ia sandarkan kepalanya ke pundak kokoh bokuto.

Pundak yang ia ingat, sudah dua kali ia peluk. Kalau ditambah sekarang menjadi tiga kali. Terakhir kali sewaktu mereka ke gunung subuh-subuh. Kuroo yang juga kedinginan di motor, mau tak mau menurunkan gengsinya dan memeluk bokuto. Saat itu ia tidak memikirkan apapun.

Satunya lagi saat bokuto menginap di kosnya. Iya, kuroo mengingat waktu itu. Ia sadar bahwa ia memeluk bokuto dalam tidurnya. Bahkan di memorinya masih membekas tentang bagaimana tanggapan bokuto yang kelewat panik. Malam itu sangat dingin, tentu. Ia sendiri yang sebenarnya setengah sadar karena mengantuk, menggerakkan tangannya melingkari perut bokuto. Sayup-sayup ia dengar bokuto memanggil namanya hingga sadar sepenuhnya.

Karena saat ia sadar tangannya sudah terlanjur melingkar di tubuh bokuto, ia memutar otaknya. Jadilah ia berpura-pura mengigau dan tetap bertahan pada posisi itu. Ia tidak mau canggung pagi harinya. Esoknya pun ia berpura-pura bahwa hal itu tidak pernah terjadi. Bahkan dia juga tau maksud tweet bokuto di twitter. Tapi kembali lagi, ia yang berpura-pura bodoh dan menganggap itu tidak pernah terjadi.

Ia merasa déjà vu.

Hangat, batin kuroo.

Tiga kali ia memeluk bokuto. Meskipun ia sendiri masih sering sungkan dan aneh saat memeluk bokuto, pelukannya masih sama-sama hangat dan nyaman. Kuroo pun tidak keberatan dengan itu.

Bahkan semua posisinya pun sama, ia yang memeluk bokuto dari belakang. Yang membedakan sekarang dengan yang lain, yakni kuroo sekarang dapat melihat ekspresi bokuto saat ia peluk melalui kaca spion dengan jelas.

Kuroo kira bokuto akan menampilkan wajah panik. Seperti saat ia ke gunung dengan bokuto, meskipun dengan kaca buram karena mengembun, ia masih bisa melihat wajah bokuto yang menegang saat ia peluk. Padahal bokuto sendiri yang menawarkan, tapi malah ia sendiri yang tegang.

Namun sekarang ia dapat melihat ekspresi bokuto dengan jelas, tenang. Keadaan saat itu juga tenang. Saking tenangnya kuroo sampai bisa merasakan degup jantung bokuto dari dari telinganya yang ia tempelkan di pundak kiri bokuto. Lantas ia eratkan pelukannya.

Kemudian ia tatap ekspresi bokuto sekali lagi.

Tidak tegang, tidak panik, dan wajahnya tidak memerah. Bokuto sangat tenang seperti tidak merasakan apapun. Bahkan degup jantungnya teratur. Ia jadi teringat saat tadi bokuto bilang sudah menjernihkan pikirannya. Ah, ternyata ia sungguh-sungguh.

Ekspresi panik bokuto lenyap. Debaran jantungnya yang menggebu juga sirna.

Perasaan bokuto pun sudah hilang.

Merajut Asa


Jika ada lomba mengutuk dunia, kuroo dengan suka hati akan berpartisipasi dan tentunya akan memenangkan perlombaan itu. Akhir-akhir ini merupakan waktu yang sulit baginya, ditambah kondisi yang kini tengah dialaminya.

Tugasnya yang kian menumpuk membuatnya tinggal di perpustakaan fakultasnya setelah kelas sorenya selesai. Niat hati hanya ingin sampai jam delapan, namun karena terlalu asyik bergumul dengan laptop dan tugasnya, jam sepuluh malam pun sudah ia lewati. Kalau saja laptopnya tidak habis daya, ia mungkin tak akan menyadari hal itu. Ia melewatkan waktu makan malamnya, membuat perutnya perih bukan main karena ia juga memiliki masalah perut—asam lambung. Ini kesialan pertamanya hari ini.

Kesialan kedua terjadi saat dia akan pulang dan menuju ke parkiran fakultasnya. Ban motornya terlihat mengempis, setelah dicek kembali ternyata bocor. Kali ini kuroo benar-benar kehilangan batas sabarnya. Jam segini mana ada yang buka tambal ban? batinnya.

Kesialan ketiga. Daya baterai ponselnya kurang dari sepuluh persen. Kuroo bingung, ini memang kesialan atau memang dunia sedang mengujinya dengan kebetulan buruk yang bertubi-tubi. Tentu ia sangat ingin mengutuk dunia. Mengapa tidak bosan-bosan mempermainkannya?

Karena ponselnya yang akan mati, dengan cepat ia hubungi kawan-kawannya. Mengapa tidak ojek online saja? Sayangnya, kuroo tidak punya aplikasinya. Jalan kaki? hell no, kuroo masih menyayangi dirinya sendiri. Lingkungan di luar kampus kuroo sangat rawan, banyak penjahat kelamin dan orang-orang meresahkan, apalagi sudah jam segini. Lebih aman jika dia tetap berada di area dalam fakultasnya.

Namun, ia teringat hari esok masih ada kuliah. Ia harus pulang dan menyiapkan barangnya. Selain itu, kucing hitam kesayangannya pun belum ia beri makan. Jadi mau tidak mau menghubungi teman-temannya dengan ponsel yang dayanya tidak seberapa itu.

Alisa, pacarnya. Centang satu. Pasti sedang fokus dengan tugasnya, alias skripsi.

Delapan persen.

Daichi. Centang dua dan dibalas. Daichi pun sebenarnya menawarkan, tapi kuroo berubah pikiran. Rumah daichi terlalu jauh, kasihan kalau malam-malam begini.

Tujuh persen.

Oikawa. Deliv dan online, tapi tidak kunjung dibaca dan dibalas. Sudah dipastikan kawannya satu itu pasti sedang menjalankan ritual malamnya, yaitu nonton serial TV dan membiarkan ponselnya terbuka tanpa menutupnya.

Lima persen

Pilihan terakhir. Yang paling ia hindari beberapa hari yang lalu. Bokuto. Deliv. Namun, bokuto tidak menjawab. Tapi tidak kunjung dibaca. Online pun tidak.

“Aduh, gue ngarepin apa sih..”

Akhirnya ia pasrah. Menunggu di lobi gedung fakultasnya, berharap oikawa membaca pesannya dan mau menjemputnya. Harapan terbesarnya adalah oikawa. Sebelum ke lobi, ia berpesan kepada penjaga gedung untuk mengabarinya kalau ada seseorang datang mencarinya.


Sudah sekitar 30 menit kuroo menunggu. Ponselnya sudah mati. Laptopnya pun mati, ia lupa membawa charger. Lengkap sudah penderitaannya. Berbagai pemikiran yang tidak-tidak membuat dirinya tidak fokus. Ia bahkan memikirkan berbagai skenario. Skenario terburuk, ia menginap di gedung fakultasnya. Tidak mandi sampai besok. Terburuk.

Ia bergidik ngeri.

Tak banyak yang ia lakukan sembari menunggu. Membuka catatan kuliahnya hari ini, membacanya ulang sambil mencari distraksi. Ia sendiri sebenarnya tidak yakin menunggu apa. Ia bahkan tidak tau oikawa sudah membalas atau belum. Sebenarnya ia sendiri sudah putus asa, namun sesuatu dalam dirinya membuat ia terus berpikiran positif, walaupun sulit.

Saat tengah merajut asa, tiba-tiba penjaga gedung menghampirinya dan berkata bahwa ada seseorang mencarinya. Air mukanya langsung berseri. Ia sumringah. Berbagai pikiran negatif pun sirna.

Thank God, ucap kuroo dalam hati.

Akhirnya oikawa membalas. Sungguh ia ingin berterima kasih kepada oikawa. Ingatkan kuroo nanti untuk mentraktir oikawa makanan enak.

Jadi karena ingin pulang dan mengurus perutnya, dengan segera ia mengemasi barang-barang dan keluar gedung untuk menemui kawannya. Namun yang ia temukan di depan gedung bukanlah oikawa, melainkan bokuto.

Bokuto koutarou yang dengan santainya duduk di atas motornya, sambil sesekali memainkan ponselnya. Lengkap dengan dua helm dan hoodie kesayangan kuroo yang tertinggal beberapa waktu lalu.

Tatapan mereka pun bertemu. Bokuto tersenyum.

Kuroo sendiri seperti mengalami malfungsi hingga membuat dirinya sendiri tidak berkutik. Ia merasa canggung bukan main.

Whatever It Takes


Suara pintu diketuk terdengar, menyadarkan bokuto dari lamunannya.

“Dek, makan dulu,”

“Iya nanti kak,” jawab bokuto dari dalam kamarnya.

“Kakak masuk ya?”

Suara deritan pintu berbunyi, membuat bokuto mengangkat kepalanya. Terlihat kaori yang berjalan ke arahnya membawa nampan berisi makanan dan minuman. Diletakkannya nampan itu ke salah satu meja di kamar bokuto, kemudian ia dekati bokuto yang tengah terduduk di pinggiran kasur menghadap jendela.

“Udah tiga hari kamu begini, kenapa sih dek?”

Bokuto bungkam. Pasalnya sudah beberapa hari selang pesannya dibalas kuroo. Ia sudah menyangka kalau kuroo akan marah sih, tapi dia belum siap dengan segala silent treatment yang ditujukan kepadanya. Ia juga perlu mendinginkan kepalanya, walaupun berakhir makin uring-uringan dan lupa untuk mengurus diri sendiri.

“Ada masalah di kuliah?”

Bokuto menggelengkan kepalanya.

“Masalah sama anak-anak tim?”

Bokuto menggeleng lagi.

“Terus kenapa coba?” tanya kaori.

Bokuto menatap kakaknya sendu. Ingin rasanya ia tumpahkan segala keluh kesahnya pada kaori. Beribu pertimbangan masuk ke dalam pikiran bokuto. Bagaimana jika ia memberitahu kakaknya, namun faktanya tidak bisa diterima? Bagaimana kalau nantinya ia malah makin sakit sendiri?

Pemikiran 'bagaimana kalau' memporak porandakan fokus dan isi otaknya. Mata bokuto memerah dan sedikit berkaca-kaca, membuat kaori memeluk adiknya itu. Meskipun sudah kepala dua, bagi kaori adik laki-lakinya itu masih terlihat seperti anak kecil yang harus dijaga.

“Dek, kalo mau cerita, kakak di sini buat dengerin..” ucap kaori sambil mengelus punggung bokuto.

Bokuto yang kalap pun memeluk kakaknya. Membenamkan wajahnya di bahu sang kakak. Bokuto menarik napasnya dalam, memejamkan matanya sambil mengeratkan pelukan itu.

“Kak, aku—” ucapan bokuto tercekat, “Gimana kalo aku gak sesuai sama harapan mama kak?” ia ganti ucapannya menjadi pertanyaan terlebih dahulu.

“Gak sesuai gimana?”

Bokuto menarik dirinya pelan. Menghadap kaori yang ada di depannya. Ia rasa ia butuh tempat untuk mengadu, ia butuh solusi dan afeksi dari orang lain. Jadilah ia memantapkan hatinya untuk memberi tahu kaori tentang semuanya. Toh tidak ada gunanya menutupi, karena kakaknya itu akan tau kalau ada yang salah dengan dirinya.

“Aku suka orang kak—” ucap bokuto, “Gak tau gimana kejadiannya, semuanya kerasa cepet banget..”

“Tapi dia sekarang ngejauhin, nyuruh aku buat nyadarin diri sendiri karena kita temen doang..”

“Temen deket ya dek?”

Air mata yang dari tadi ditahan bokuto mulai lolos dari mata kirinya. Dengan segera bokuto menghapusnya. Ia satukan telapak tangannya lalu ia tumpukan di lutut, kemudian mengusap wajahnya gusar sambil menatap keluar jendela.

Tanpa menjawab pun, kaori tau bahwa adiknya itu mengiyakan pertanyaannya.

“Aku tau kalo dia ada pacar, tapi aku tetep suka”

Ia tahu kok kalau kuroo punya pacar, malah ia tahu pasti bagaimana kuroo berakhir dengan pacarnya saat ini. Justru hal itu yang membuatnya uring-uringan.

“Emang sesalah itu ya kak?”

Iyalah, pake nanya lagi, goblok. Batin bokuto menjawab pertanyaannya sendiri. Pikirannya campur aduk menjadi satu.

“Agak lebay sih, tapi aku kaya losing half of myself?”

Hal itu membuat kaori tertegun.

“Dek..kamu sesayang itu sama dia?”

“Iya, mungkin?”

“Dia sendiri ke kamu gimana?”

Bokuto menghela nafasnya, “Ya sayang.. sebagai temen doang,”

“Pusing banget kak, serius..” Ucap bokuto lirih, “Aku takut ngecewain mama juga...”

Hening menyelimuti mereka berdua. Menyisakan suara jarum jam yang seperti mengiringi mereka. Hingga akhirya kaori buka mulut,

“Dek, tetsun itu orang baik..” bokuto tercengang lantaran kakaknya yang satu itu tahu siapa orang yang dimaksud.

“Mama gak akan kecewa selama kamu suka sama orang baik,” lanjutnya.

Sebenarnya kaori tau kalau adiknya tengah sedang perang dingin dengan kuroo. Beberapa waktu lalu saat kuroo berkunjung, ia tak sengaja memergoki kuroo yang buru-buru keluar rumah. Wajah kuroo yang memerah dan seperti menahan tangis pun membuat kaori terheran-heran. Ia tidak tahu alasan kuroo bersikap seperti itu, namun kini ia sudah menemukan jawabannya. Ah, masalah asmara, batinnya.

“Kalian berantem gara-gara apa kemarin?”

Bokuto mengangguk, “Kak, i fucked this up,

Tumpahlah semua. Dari awal hingga sekarang ini.

Bokuto bercerita bahwa ia sendirilah yang membuat semuanya semakin rumit. Tentang ia yang jengah saat kuroo membicarakan alisa saat awal-awal itu, yang akhirnya ia sadar bahwa ia cemburu. Tentang bokuto yang memiliki perasaan tidak terdefinisikan, hingga malam itu saat kuroo datang, itu semua seperti membuka mata bokuto. Bokuto menyukai kuroo, amat menyukai. Bokuto menginginkan kuroo, lebih dari seorang teman.

Bokuto tidak sadar, ada sesuatu dalam dirinya yang membuat hasrat bersama kuroo kian menggebu. Kadang kalau ia sudah sadar, ia selalu merasa bersalah pada alisa. Namun, ada kalanya keegoisan dirinya mengambil alih. Siklus ini terus berulang, dan akhirnya membuat bokuto kian menyalahkan diri sendiri karena berada dalam posisi yang cukup sulit.

“Aku harus gimana kak?”

“Dek, dengerin kakak ya.. ” ucap kaori, “Ini kakak cuma ngasih saran aja, terserah kamu nanti mau ambil sikap gimana,”

“Iya kak...”

“Kalau ngomongin perasaan kamu, itu enggak salah dek,” kata kaori. Ia raih tangan adiknya kemudian diusap pelan.

“Kaya apa yang udah kakak bilang tadi, suka sama orang itu hak kamu. Dan selama orang itu baik, mama gak akan keberatan..”

“Lagian, perasaan itu hal yang gak bisa kamu kendaliin, iyakan?”

Bokuto mengangguk menyetujui.

“Punya rasa ke orang itu gak salah, siapapun orang itu,” katanya. “Mau sesalah apapun perasaan kamu di mata orang, if it feels so right, then it's alright,”

“Yang salah itu kalo kamu mau sama dia, saat orang itu enggak—atau belum— ditakdirkan sama kamu.”

“Kaya aku sekarang kak?” tanya bokuto, “Kaya yang kemarin aku lakuin?” lanjutnya dengan nada getir.

Bokuto merasa tertohok dengan kata-kata yang diucapkan kakaknya itu. Tentu ia sering merasa bersalah. Pikirannya kembali ke malam-malam saat ia, dengan kondisi tidak sadar, mencoba untuk mencium kuroo tepat di bibir. Bahkan mengingatnya pun membuat hati bokuto mencelos saat ini.

“Dek, kakak percaya kamu bisa milih mana yang harus dilakuin,”

“Coba tempatin dirimu sendiri sebagai orang lain, liat dari sudut pandang dia misal kamu ngelakuin suatu hal...”

“Jangan jadi orang jahat cuma karena keinginan diri sendiri dek,” ucap kaori, “Paham kan maksud kakak?”

“Kakak sama sekali gak nyalahin kamu yang suka tetsun, kalau memang suka ya berarti suka. Kamu bebas mau suka siapapun,”

“Tapi kamu tetep harus tau posisi tetsun sekarang. Ini kan posisi tetsun gak suka ke kamu ya, kaya kamu suka ke dia. Coba kalau iya?” tanya kaori yang makin membuat bokuto termenung.

“Hubungan kalian makin rumit. Kamu bakal jadi orang ketiga, dan kalau itu kejadian, kakak menyayangkan banget..”

Kaori mengusap pipi adiknya lembut.

“Milikin sesuatu yang seharusnya bukan milikmu itu gak baik dek,”

“Jadi aku harus maju atau mundur kak?” Tanya bokuto. Ia tatap kakaknya itu dengan penuh harap.

Sejujurnya tanpa ditanya pun bokuto sudah tau jawabannya. Mundur. Tentu saja mundur. Apa yang diharapkan dari hubungannya dengan kuroo?

Posisi kuroo yang masih pacaran dengan alisa, dan kuroo yang secara terang-terangan menyuruhnya untuk menjernihkan kepalanya. Hal itu bokuto artikan bahwa kuroo menginginkannya untuk menghapus perasaan itu. Apapun harus dilakukan agar dia sadar dan kepalanya kembali jernih. Whatever it takes.

Jahat rasanya kalau ia memaksakan diri dan membuat kuroo menjadi miliknya sekarang. Cukup malam itu saja ia menjadi jahat. Cukup ia sendiri.

Incorrigible


Usai dihubungi bokuto yang membuatkan masakan untuknya, kuroo segera tancap gas ke rumah bokuto. Jarak dari kosnya ke rumah kawannya tersebut tak terlalu jauh, hanya memakan waktu kurang lebih 15 menit. Tak lupa sebelum sampai ke rumah bokuto, ia sempatkan mampir ke salah satu gerai minuman kesukaan mereka untuk membeli pesanan bokuto. Setelah itu ia membeli beberapa oleh-oleh untuk keluarga bokuto, minus ayah bokuto karena yang bersangkutan sedang ke luar kota.

Sesampainya di rumah bokuto, ia disambut oleh kakak bokuto yang pertama, chiyo. Perawakannya mirip kakak kedua bokuto, kaori, namun lebih pendek dan berisi. Pembawaannya ramah dan calming.

“Masuk dulu tetsun, kou lagi mandi kayaknya,”

“Lah udah jam segini baru mandi dia kak?”

“Kaya gak tau kou aja kamu,”

Kuroo cekikikan mendengar ucapan kakak bokuto. Masuk ke dalam rumah bokuto pun disambut hangat oleh mama dan kakak bokuto yang satunya. Mereka mempersilahkan kuroo langsung ke ruang makan, di mana piring berisi masakan bokuto sudah disajikan.

Sebenarnya, kalau boleh jujur, itu bukan sepenuhnya masakan bokuto. Beberapa masakan tentu dibantu oleh mama bokuto untuk membuatnya. Bokuto saja yang bergaya, berkata bahwa semua ia masak sendirian.

Tepat saat kuroo mendudukkan dirinya di salah satu kursi, bokuto tiba-tiba masuk ke ruangan itu tanpa menggunakan kaos, “Lah udah dateng,”

“Dek, udah berapa kali dibilang kalo di rumah tuh pake baju dulu,” Kakak pertama bokuto jengkel lantaran adiknya satu itu sering tidak memakai baju di rumah.

“Kenapa sih kak, orang badanku juga bagus kenapa harus disembunyiin,” Jawab bokuto sambil memakai kaosnya.

“Capek gue punya adek begitu,” sahut kaori sambil menyeret kursi di samping kuroo, “Lo gak capek temenan sama dia, tetsun?”

Kuroo tertawa mendengar pertanyaan kaori, “Capek sih kak, tapi ya gimana. Dia nempel mulu kaya perangko,” jawabnya.

Bokuto sedikit pundung, “Semua aja jahat sama gue,”

Karena semuanya telah berkumpul, maka agenda makan malam bersama itu dibuka dengan mama bokuto yang mengambilkan nasi untuk anak-anaknya, dan kuroo tentunya. Selang beberapa saat, kegiatan makan pun selesai.

Surprisingly, masakan yang—katanya—bokuto masak itu tidak sampai membuat kuroo masuk ke rumah sakit. Malah dapat ia bilang masakannya normal.

“Tetsun gimana kabar kuliah? kok akhir-akhir ini jarang main ke sini,”

“Kuliah lancar tante, cuma kerjaan lab agak numpuk,” Jawab kuroo. “Maaf ya tante, tetsu jadi jarang ke sini,”

Mama bokuto memandang kuroo lamat, “Iya gapapa kok dear, kan sekarang udah di sini,” jawabnya sambil tersenyum.

Bokuto memperhatikan mereka berdua yang asik mengobrol. Ia hanya diam, tidak ikut menimpali. Seperti obat nyamuk sekali kan.

“Kalau pacar gimana? udah ada?”

Holy crap, batin bokuto dan kuroo bersamaan.

Kuroo mau tak mau jujur pun menjawab pertanyaan mama bokuto dengan anggukan pelan. Kenapa sih harus bawa-bawa pacar di saat begini? Jujur saja bokuto jadi sedikit kesal. Kenapa harus membawa-bawa orang yang bahkan posisinya tidak di sini sekarang?

“Tuh dek kou, kamu tiru tetsun. Kuliah jalan, pacaran juga jalan..” Ucap mama bokuto, sambil menepuk anak laki-lakinya itu. “Jangan bola voli terus yang dipikirin,”

Mendengar itu, bokuto yang tengah menenggak minuman di gelasnya pun jadi tersedak, “Apaan sih ma..”

“Kamu gak kesaing apa? orang tetsun aja udah ada pacar, kamu belom. ketinggalan sendiri kamu nanti,”

Aduh, bokuto jadi pening.

Kuroo yang paham situasi ini segera mengambil tindakan.

“Ah maaf nyela tante, ini ada bingkisan..” Ucap kuroo sambil menyerahkan bungkusan yang sempat ia beli di jalan sebelum kemari tadi.

“Sama kayanya tetsu sama bok harus ke atas sekarang, takut keburu ngantuk. Bok minta diajarin nyusun format naskah seminar yang bener,”

“Iya kan?”

Bokuto cengo, “Hah?”

Kuroo menendang pelan kaki bokuto dari bawah meja makan. Membuat bokuto paham dan segera mengiyakan kuroo.

“Ah iya..” kata bokuto, “Kou sama kuroo ke atas dulu ya..”

Lantas keduanya berdiri dan membereskan piring mereka. Setelah itu langsung menuju ke arah kamar bokuto, yang terletak di lantai tiga dan paling pojok.

Apanya yang minta diajarin? orang rencana awal mereka ini cuma mau makan dan setelah itu bermain ps sampai bosan. Tidak terbesit sedikitpun di pikiran bokuto untuk meminta kuroo mengajarinya.


“Ajarin apa tadi? nyusun format naskah seminar?” Ejek bokuto saat keduanya sudah tiba di kamarnya. “Ngaco lo, orang di prodi gue gak ada seminar,” bokuto tertawa lebar.

“Ya lagian tadi canggung bener anjrit, muka lo juga udah sepet banget,” Jawab kuroo sambil merebahkan dirinya di sofa kamar bokuto yang menghadap layar TV.

Kini keduanya sudah berada di kamar bokuto untuk menjalankan niat awal mereka setelah makan, yakni main ps sampai suntuk. Tidak ada tuh yang namanya belajar menyusun format naskah yang benar, kuroo saja yang berkata ngawur.

Kuroo menyarankan untuk beristirahat sebentar, menunggu perut mereka yang penuh itu agar tidak terasa mengganjal. Jadilah keduanya hanya mengobrol dan sesekali memainkan ponselnya.

“Main lah ayo,”

“Gas aja..”

Setelah memilih video games yang ingin mereka mainkan bersama, mereka tak sadar telah menghabiskan satu jam. Permainan diisi dengan kuroo dan bokuto yang saling berkompetisi untuk memenangkan game tersebut. Namun kuroo yang notabenenya tidak ahli dalam bermain video game, hanya dapat menerima nasib karena sering kalah.

“Lo curang anjing! masa gue dari tadi kalah mulu,”

Bokuto yang masih asik memainkan stick ps-nya menyahut tidak terima, “Enak aja, itu mah lo yang payah..”

“Mana ada,” ucap kuroo yang jengkel, kemudian ia ganggu bokuto yang masih fokus ke layar TV yang menampilkan permainan yang mereka mainkan. Ia tarik stick PS yang dipegang bokuto,

“Mati gak lo monyeeet...”

“Heh goblok, jangan ngawur ini hampir finish—”

“Anjing! game over kan!”

“Mampus lo...” ucap kuroo sambil memukul bokuto dengan bantal sofa tempat mereka duduk.

“Stop kur—”

“Gak—”

“Woi!”

Bokuto yang posisinya tidak siap pun agak limbung dan terjatuh ke lantainya yang dingin. Ia mengaduh tapi dibersamai dengan tawanya yang pecah. Kuroo pun terkejut karena bokuto yang jatuh terjungkal itu, namun karena bokuto tertawa ia jadi tidak bisa menahan tawanya juga.

“Heh bok, lo gak papa?,” ucap kuroo sedikit menahan tawa. Kawannya yang satu itu aneh sekali, hanya dipukul pelan namun malah terjatuh.

Namun dengan segera bokuto membenahi posisinya dan duduk kembali, “Setan emang lo..” jawab bokuto masih sambil cengengesan dan membersihkan bajunya.

Kuroo pun berhenti tertawa, kemudian memandang bokuto yang masih ada dalam posisinya. Ia tatap wajah bokuto yang menunjukkan adanya kejanggalan kening bokuto. Sedikit bercak kemerahan, namun tidak berdarah. Hanya sedikit memar.

“Bentar,” Kuroo menyipitkan matanya, “Aduh bok lo kenapa sih, sampe memar gini anjir..”

“Ya lagian lo ngapain mukulin gue pake bantal?”

“Abis lo rese,” Ucap kuroo, “mana coba gue liat memarnya,”

Kuroo mendekatkan wajahnya ke wajah bokuto. Bokuto hanya diam menuruti perkataan kuroo.

“Ini mah harus di kasih salep bok,”

“Ada di bawah,”

“Gue ambilin bentar, lo sini aja,” ucap kuroo kemudian meninggalkan bokuto sendirian di kamarnya.

Beberapa menit pun berlalu, kuroo kembali dengan obat salep di tangannya.

“Sini gue bantuin,” ucap kuroo pelan sambil memposisikan diri di atas sofa lagi.

Kuroo mendudukkan diri di sofa, berhadapan dengan bokuto. Ia reduksi jarak diantara mereka.

“Sorry ya bok,” ucap kuroo sambil mulai mengoleskan sedikit obat salep di kening bokuto.

Jarak wajah mereka terlalu dekat.

Demi apapun, bahkan dentingan jam sekarang tidak jauh lebih keras daripada suara degup jantung bokuto. Posisi mereka terlalu dekat. Panas tubuh kuroo pun bisa dirasakan bokuto.

Bokuto bisa melihat lentiknya bulu mata kuroo, bahkan ia secara detail dapat melihat satu diantaranya jatuh di pipi yang bersangkutan. Ia bisa melihat manik mata kuroo yang berwarna cokelat terang menatapnya tajam, dan itu membuat jantungnya semakin berpacu. Ia bisa merasakan hembusan napas kuroo yang membuat darahnya mengalir, menghantarkan panas di sekujur tubuhnya.

Ia juga bisa melihat bibir kuroo yang ranum.

Sial, bokuto kalut. Ia tidak bisa fokus.

Saking tidak fokusnya, ia tidak sadar bahwa tangan kanannya sudah bergerak dengan sendirinya menyentuh wajah kuroo, kemudian menarik pelan orang di depannya. Ia usap pipi kiri kuroo pelan dengan ibu jarinya, kemudian berpindah menuju bibir yang dari tadi menyita perhatian bokuto.

Kuroo sendiri pun tidak menyadari sejak kapan ia terkunci dalam tatapan bokuto. Ia diam menerima semua perlakuan bokuto yang ditujukan padanya.

Keduanya tak sadar bahwa jarak antara bibir mereka berdua kini perlahan terkikis hingga menyisakan sedikit celah. Celah itu kian mengecil, yang akhirnya akan membuat bibir mereka menyatu sepenuhnya.

Ting!

Tak diduga, sebuah bunyi notifikasi ponsel pun menghancurkan keheningan itu. Menyeret mereka kembali ke kondisi sadar mereka. Membuat kuroo menjauhkan badannya dari bokuto.

Kuroo segera mengecek ponselnya, notif pesan dari alisa pun terpampang di layarnya. Kini dirinya telah sadar sepenuhnya. Pun juga bokuto yang sudah panik bukan main.

“Kur—”

“Sorry bok, gue harus pulang..” Ucap kuroo sambil membawa ponsel dan kunci motornya pergi.

Kuroo segera meninggalkan kamar bokuto, dan tak sadar meninggalkan hoodie yang ia kenakan saat berangkat ke rumah bokuto.

Fuck,

I messed this up,

Only fools


Usai pengakuan kuroo, keheningan menyelimuti kedua orang di satu ruangan itu.

“Apa maksudnya semua itu, bok?”

“Gue gak paham kenapa lo nge-tweet semua itu,” lanjut kuroo.

Bokuto diam seribu bahasa. Ia juga tak berniat menjawab pertanyaan itu lantaran ia sendiri juga bingung dengan jawabannya.

“Sebelum itu, kenapa lo bohongin gue?” Tanya kuroo, dari nada bicaranya yang getir itu tersirat amarah yang membuncah. “Gue kira temen selalu jujur...”

“Kenapa?” Ulang kuroo.

“Tolong jawab bok,”

“Gue—” Bokuto meragu. Ia gantungkan kalimat itu di bibirnya. “Gue... lagi gak mau ketemu lo.” Akhirnya ia jujur ke kuroo.

Tanda tanya besar muncul di pikiran kuroo.

“Akhir-akhir ini tiap gue ketemu lo, gue ngerasa gak bisa ngontrol diri gue..”

“Ada satu hal dari lo yang ngebuat gue ngerasa sedih gak jelas kur, dan gue gak mau terus-terusan kaya gitu.” Bokuto kalut.

“Pas lagi sama lo gue seneng. Tapi di lain sisi gue juga ngerasa sedih, karena ngerasa lo bakalan ninggalin gue suatu saat besok..”

“Dan karena sekarang lo udah ada prioritas baru, gue mulai membatasi diri. Nyesuaiin diri. Gue mulai nyoba gak terlalu bergantung sama lo,” Lanjut bokuto.

Pikiran kuroo ke mana-mana, ia jadi berpikiran hal yang tidak-tidak. Hingga akhirnya kuroo memberanikan diri bertanya hal yang ia pikir tak masuk akal.

“Lo ada rasa sama gue?”

Bokuto menatap kuroo, ia sedikit terkejut atas perkataan kuroo yang menurutnya cukup sensitif.

“Gak tau,” jawab bokuto.

Jujur, kalau dibilang suka atau ada rasa ke kuroo, bokuto belum yakin. Ia hanya merasa kesepian saat kuroo tidak ada. Ia hanya merasa separuh dirinya pelan-pelan menghilang. Ia hanya merasa hampa tanpa adanya kuroo yang dulu mengisi hari-harinya. Ia tidak mau kuroo, temannya, menghilang dari hidupnya.

“Iya atau gak? jawab yang bener,” ucap kuroo menuntut.

“Gue gak tau kur, sumpah...”

Awalnya bokuto pikir, kalau kuroo masih dengan alisa namun tetap bersama bokuto dalam kesehariannya, ia tak akan merasa sebegini merana. Namun perkiraannya dibantah habis-habisan oleh realita. Saat ia tahu bahwa kuroo kerap menghabiskan waktunya dengan alisa, itu membuatnya gundah. Ia hanya tidak mau alisa mengambil kuroo darinya. Itu saja.

“Terus kenapa lo kaya gini bok?”

Bokuto ingin kabur, “Bisa gak kalo gak ngomongin ini dulu?”

“Gak, musti tuntas sekarang. Gue gak mau ada yang ganjel lagi..” Jawab kuroo.

Bokuto terlihat menimang-nimang. Kuroo masih menunggu jawabannya.

Fine. Lo tanya apapun, gue jawab semampu gue,”

“Gue ganti pertanyaan tadi,” Ucap kuroo, “Apa yang ngebikin lo jadi bersikap kaya gini?”

“Semuanya..”

“Spesifiknya?”

Bokuto mendudukkan dirinya di kasur kuroo. Kali ini ia akan membuka kartunya. Ia tumpahkan semuanya, karena ia sendiri sejatinya juga butuh solusi.

Selama ia mengenal kawan-kawannya, hanya kuroo lah yang mampu memberikan solusi terbaik untuknya. Mungkin kali ini ia juga akan mencoba membicarakannya dengan kuroo, meskipun sumber masalahnya adalah kuroo itu sendiri.

Bokuto menunduk “Jujur ya kur, gue gak tau cara ngadepin lo.”

“Gue..gak tau kenapa gue ngerasa kaya gini.”

Kuroo menanggapi, “Ngerasa kaya gimana?”

“Lo harus tau gue sering banget tanya ke diri gue sendiri, kenapa gue kaya gini? terlebih kenapa gue bersikap gini ke lo?”

Nada bokuto mulai terdengar getir. Nafasnya cukup tercekat, seolah leher dan dadanya dililit suatu belenggu.

“Gue gak tau gue kenapa, kur. Gue mikir kalo semua ini mulai waktu kita bahas alisa.”

Alis kuroo bertaut, “Jadi lo nyalahin pacar gue atas ketidak jelasan lo sendiri?”

Skakmat.

Bukan, bukan begitu maksud bokuto. Bokuto hanya ingin menyebutkan awal masalah diantara mereka. Bukan penyebab sikapnya yang seperti ini.

“Gak gitu, please dengerin gue dulu..”

Bokuto membenarkan posisinya dan mendongakkan kepalanya hingga menatap wajah kuroo. Ekspresi dari kawannya itu tidak tertebak. Antara marah, sedih, kecewa, dan bingung. Bokuto sendiri aslinya tidak kuat melihat ekspresi kuroo yang seperti itu. Ia tidak mau mengecewakan kuroo.

Bokuto mengucapkan kata-kata peringatan, “Lo boleh mukul gue abis ini, karena gue tau gue salah..”

“Semuanya mulai waktu lo bilang ke gue kalo alisa tertarik sama gue itu. Gue sering mikir, coba aja kalo lo gak ngelakuin itu dulu.”

Kuroo terdiam. Menyimaknya sambil menyandarkan badannya ke pintu. Ia sendiri terlihat kalem dan masih setia medengarkan penjelasan bokuto. Yang tidak diketahui, dadanya juga bergemuruh. Berpacu kencang membuatnya terasa tidak nyaman.

“Coba aja gue gak bilang hal yang gak seharusnya gue bilang, coba aja—” bokuto tercekat, “Coba aja kalo dari awal gak ada orang lain..”

“Pokoknya semua pemikiran 'coba aja' ngeganggu gue banget. Gue overthinking hal yang gak penting.”

“Jujur ya kur, secara gak sadar lo tuh jadi poros idup gue—” Bokuto masih menjelaskan panjang lebar. Kuroo pun masih mendengarkan dengan seksama walaupun kepalanya mulai pening.

“Gue kemana-mana bareng lo, makan sama lo, ini itu sama lo,” ucap bokuto, “Lo yang ada waktu gue kena masalah atau lagi nyari solusi, lo yang nge-comfort gue waktu gue down,”

“Jadi rasanya aneh aja gitu, kalo tiba-tiba lo jarang ngelakuin itu lagi..”

“Tiba-tiba hampa, lo tau rasanya?”

Kalau boleh jujur, bokuto rasanya ingin menangis. Kuroo pun begitu.

“Kalo lo tanya gue suka lo atau gak? gue gak tau. Gue gak tau batesan antara suka yang lo maksud sama suka sebagai temen. It's all blurry..”

Jeda sejenak. Ia tatap wajah kuroo. Masih menampilkan ekspresi yang sama. Bokuto takut, pikirannya kalut dan menjadi liar. Ia merasa berkecil hati.

“Tapi yah namanya nasi udah jadi bubur ya kur, yang udah yaudah. Gue mau fokus ke depannya aja. Lo ada alisa gak apa, gue juga bakalan nyoba gak terlalu bergantung sama lo lagi.”

Bokuto menghadap kuroo, ia tatap kuroo tepat di maniknya. Ia salurkan emosi yang kini menyelimuti dirinya.

“Jadi tolong, gue pengen lo nyadarin gue. Sadarin gue kalo yang gue rasain ini bukan apa-apa. Sadarin gue biar gue jadi temen yang baik dan gak terlalu bergantung ke lo. “

“Gue pengen kita kaya dulu lagi, kuroo. Lo boleh mukulin gue, sampe bonyok pun gue rela. Lo juga boleh nganggep semua ini gak pernah terjadi—”

“Tapi please, jangan jauhin gue...”

Kuroo terenyuh. Matanya sedikit memerah. Bokuto yang sedari tadi membuka mulutnya, tetapi kuroo lah yang menjadi sentimental. Hatinya melunak. Amarahnya mulai surut.

Kuroo berjalan mendekati bokuto kemudian duduk di sampingnya. Ia tepuk pundak bokuto.

“Bok, it's okay. Dengerin gue baik-baik,” Ucap kuroo yang membuat bokuto menolehkan kepalanya.

“Yang lo rasain itu, bukan suka. “

“Suka tuh bukan kaya gini, bokuto..”

Hati bokuto mencelos untuk yang kedua kalinya.

“Lo cuma terbiasa sama gue bok, gue yakin banget. Lo juga bilang sendiri kan?” Kuroo meyakinkan bokuto, dan dibalas anggukan oleh yang bersangkutan.

Kuroo yang masih menyangkal dan tidak mau ambil pusing masalah perasaan bokuto, dan bokuto yang benar-benar bingung.

“Gue juga terbiasa sama posisi lo. Makanya gue kemarin waktu lo susah dihubungin, gue juga ngerasa hal yang sama..” Kata kuroo.

“Gue juga pengen kaya dulu lagi, pengen banget,” Kuroo mengatakannya ke bokuto pelan.

Bokuto belum merespon. ia masih menyimak perkataan kuroo.

“Gue ngaku salah, gue minta maaf karena emang beberapa kali lebih ngurusin pacar gue dan jarang main sama lo. Tapi jujur, gue pun sebenernya gak masalah kalau lo bergantung ke gue.”

“Jadi.. gue anggep ini win-win ya. Gue anggep lo gak pernah ngebohongin gue, dan lo anggep gue gak pernah jauh dari lo.”

“Lo yakin?”

“Yakin, bok.”

Ucap kuroo final yang akhirnya juga disetujui bokuto, karena keduanya tak mau ambil pusing. Keduanya tidak suka jika masalah seperti ini menguras tenaga dan pikirannya, jadi mereka ambil mudahnya saja.

Memang benar keduanya merasakan hal yang sama, hampa saat salah satunya tidak ada. Namun pandangan mereka untuk satu sama lain mungkin saja berbeda. Tidak ada yang tahu, karena keduanya sama-sama menjadi orang bodoh kalau menyangkut perasaan.

They're only fools when it comes to love and feelings.

Pertama dan Kedua


Hampir pukul jam 12 malam, kuroo dan bokuto yang limbung tiba di kosan. Bokuto yang sudah agak-agak tipsy langsung menjatuhkan dirinya di atas kasur kuroo sambil melepaskan beberapa hal yang ia kenakan. Ia lempar hoodienya ke arah sofa kuroo. Kaos kaki yang hanya dilepaskan satu sisi pun ikut ia lemparkan ke sembarang arah. Kuroo yang melihatnya hanya bisa menahan kesabarannya.

Tiba-tiba nada dering dari ponsel bokuto pun terdengar. Kuroo ambil ponsel di saku celana bokuto yang kemudian menampilkan panggilan dari kakaknya, Kaori.

“Bok, ada telpon nih..”

“Hngg...” Ucap bokuto sambil menerima ponselnya dan mencoba mengumpulkan kesadarannya untuk berbicara normal.

“—di kos kuroo kak..” Ucap bokuto sambil mengucek matanya. “Iya, besok pagi pulang,” lanjutnya. Ia berusaha berbicara secara normal. Tapi namanya juga tipsy, akhirnya setelah panggilan ditutup ia langsung ambruk lagi ke kasur kuroo.

Meninggalkan ponsel bokuto yang belum terkunci. Kuroo yang melihat hal itu langsung mengambil inisiatif, meninggalkan ponselnya sendiri.

“Bok?”

Tidak ada respon dari bokuto.


Keesokan harinya, bokuto bangun dengan wajah yang sedikit membengkak karena minuman beralkohol yang ia tenggak semalam. Ia melihat kuroo yang sedang duduk di kursi belajarnya, tengah memainkan komputernya. Akhirnya ia melangkahkan kakinya untuk mandi dan kembali ke kamar kuroo hanya dengan handuk yang ia lilitkan di pinggang.

Kuroo masih setia duduk di kursi membelakanginya dengan earphone yang terpasang di telinganya.

“Ekhem—” Bokuto berdehem demi memecah keheningan itu. “Kur, pinjem kaos ya..”

Karena tidak ada jawaban dari kuroo, ia nekat membuka lemari baju kuroo dan mengambil salah satu kaosnya.

Ah, bau ini lagi. Bau yang sama dengan hoodie yang minggu lalu ia ambil. Bau wangi yang akhir-akhir ini mengganggu pikiran bokuto.

Ia tengokkan kepalanya ke arah kuroo untuk melihat yang bersangkutan. Masih sibuk dengan komputernya. Kemudian ia kenakan kaos tersebut dan ia hirup aroma yang semerbak itu.

“Suka lo sama baunya?”

Bokuto membeku. Suara kuroo dari belakangnya membuatnya tak berkutik.

“Baunya sama kan kaya hoodie lo?” Lanjutnya lagi.

Pikiran bokuto berkecamuk. Bagaimana bisa kuroo membaca pikirannya? Ia tak tahu bahwa kuroo dapat mengetahui rahasia kecilnya, yang mana baru terbentuk beberapa hari lalu.

Kuroo membuka mulut lagi, “Kok gak jawab?”

“Hah? Apaan sih?”

“Jawab aja,”

Kuroo menuntut. Bokuto jadi curiga ia melakukan hal yang aneh atau hal tidak masuk akal semalam. Meskipun ia agak sadar dan masih mengingat beberapa hal, namun separuhnya buram.

“Gue ngelakuin hal aneh ya semalem?” tanya bokuto.

Tapi kuroo tidak menjawab. Kuroo hanya kemudian memutar kursinya sehingga menghadap bokuto. Wajahnya tampak lelah dan penampilannya cukup acak-acakan.

Bokuto menunggu kawannya itu membuka mulut, namun yang bersangkutan tak segera melakukannya. Kuroo hanya menatap bokuto tajam dengan matanya yang sayu itu. Wajahnya benar-benar memancarkan kelelahan, layaknya orang yang tidak tidur satu malam.

“Kok diem? Bener ya gue ngelakuin hal aneh?” bokuto mengkonfirmasi ke kuroo.

Tapi kuroo masih bungkam. Hal ini tentu membuat bokuto agak jengkel. “Kenapa jadi lo yang diemin gue sih?”

Bukan jawaban dari pertanyaan itu yang bokuto dapatkan, melainkan pertanyaan balik dari kuroo. “Permintaan lo yang semalem masih berlaku gak?”

“Permintaan apaan?” Bokuto bingung, “Jangan ngada-ngada lo..”

“Yang ini...”

Kuroo berdiri kemudian berjalan pelan ke arah bokuto. Ia ayunkan tangan kanannya mengenai pipi bokuto.

BUGH

Satu kali pukulan.

Bokuto limbung, tapi tidak segera merespon karena masih memproses apa yang terjadi. Ia sentuh pipinya yang terasa sakit.

“Ini juga,” Kuroo mengayunkan tangannya sekali lagi menghantam pipi yang masih terasa nyeri itu.

BUGH

Dua kali pukulan.

“Anjing, kuroo! maksud lo apa?!” Bokuto terkejut bukan main.

“Lo yang minta,” Jawab kuroo.

“Bangsat,” bokuto memaki sambil mengecek pipinya di cermin lemari baju kuroo. “Ya orang mabok kenapa lo iyain goblok,”

“Karena gue juga pengen mukul lo.”

“Kenapa?”

“Yang pertama buat lo yang bohongin gue tentang latihan lo.”

Shit, batin bokuto.

Bokuto terkejut. Sialan, kenapa kuroo bisa tahu. Kenapa ia tahu kalau selama ini, saat ia beralasan latihan, ia sebenarnya sedang di rumah tidak melakukan apapun dan hanya mencari distraksi. Ia tak tahu harus menjawab apa untuk saat ini.

“Yang kedua, biar lo sadar.”

“Sadar apaan sih?” Bokuto masih bingung, “Jujur aja, gue semalem ngapain?” lanjutnya.

Kuroo tidak menjawab. Bokuto juga bungkam. Keduanya tidak ada yang mau mengeluarkan suara. Namun keduanya juga masih saling menatap satu sama lain. Menelusuri tiap kata yang tak terucap dari pancaran manik masing-masing.

Bokuto yang terlampau bingung dan jengkel karena kuroo yang begini bringasnya. Dan kuroo yang menahan amarahnya, karena yang ia separuhnya sudah ia salurkan lewat pukulan ke pipi bokuto tadi.

Masih belum ada yang mau mengalah, sebelum akhirnya kuroo jengah dan mencoba untuk membuka obrolan lagi.

“Lo gak ngelakuin apapun semalem–” Ucap kuroo, “Sorry..”

Bokuto terdiam memandang kuroo yang tiba-tiba meminta maaf. Apa-apaan ini, kenapa ia dibuat semakin bingung?

“Gue semalem buka hp lo,” bokuto sudah mau membuka mulutnya, tapi dibungkam lagi oleh kuroo “–dan gue liat akun privat lo di twitter,”

Kuroo mengakui kelancangannya semalam karena membuka ponsel bokuto saat empunya tidak dalam keadaan sadar secara penuh. Ia buka ponsel itu dan lihat aplikasi twitter, dan berakhir menemukan sesuatu yang seharusnya ia tidak ketahui.

Hal itu membuatnya terkejut setengah mati dan tidak bisa tidur. Ia habiskan malam tadi dengan menatap layar komputernya dan membuka file tugasnya, berharap mendapatkan distraksi agar ia terhindar dari pikiran berlebihan.

“Sorry bok...”

Pengakuan kuroo tentunya membuat bokuto terkejut bukan main. Jantungnya berpacu, bahkan ia bisa mendengar suara jantungnya sendiri. Ia ingin marah karena rahasianya terbongkar. Namun ia urungkan dan mencoba agar tetap tenang.

“Apa aja yang lo liat?” Tanya bokuto kemudian.

“Semuanya,”

Fuck,” Hati bokuto mencelos.

—tbc.


Setelah insiden kuroo yang ditinggal bokuto dan oikawa ringroad, mereka pun tak jarang bertemu kembali.

Terkadang berkumpul di sekre bersama. Kuroo dan oikawa kebetulan satu organisasi dan mereka tentu memiliki sekre bersama. Tapi sudah menjadi rahasia umum, kalau sekre tersebut kerap digunakan untuk nongkrong-nongkrong saja. Yah walaupun tetap digunakan untuk kegiatan organisasi, seperti rapat, sidang, dan sebagainya tapi bangunan tersebut sering digunakan untuk nongkrong oleh kuroo dan kawanannya.

Jadilah di sini bokuto, kuroo, oikawa, dan beberapa orang lain berkumpul. Menghabiskan waktu mereka di sore hari.

“Bro, lo ngapain ribet banget?” Bokuto melihat kuroo dari tadi sibuk berkecimpung dengan bungkus makanan.

“Susah bukanya bro, tangan gue kesemutan.”

Tak heran jika ia kesemutan hingga kebas. Sudah dua jam ia cekikikan tak meninggalkan ponselnya.

Ia merebut bungkusan keripik kentang warna hijau tersebut dari tangan kuroo, “Minta tolong ke gue susahnya apa sih?”

Kuroo hanya nyengir melihat bokuto, yang ajaibnya peka sekarang.

Saat ini mereka sedang berkumpul di sekre bersama (mereka menyebutnya itu). Tidak ada rapat sih, hanya kumpul-kumpul biasa karena para bujang ini tidak ada kerjaan lain lagi.

“Ini enaknya ngapain kita?”

“Gak tau, serah mau ngapain deh..” Ucap kuroo yang hanya dibalas gumaman oleh bokuto.

“Gue pesen makanan nih, laper. Lo mau gak mie setan?”

“Mau,”

“Biasanya?” Tanya bokuto.

Kuroo menjawab namun matanya masih terpaku pada layar ponselnya. “Yoi,”

Bokuto menghela nafasnya mendengar jawaban kuroo. Ia buka ponselnya kemudian memesan makanan yang mereka inginkan. Sedari tadi kuroo sibuk dengan ponselnya, padahal niatnya di sini senang-senang dengan yang lain.

Tak lama setelah itu bokuto dan kuroo sudah memakan pesanan mereka dengan bersih. Kembalilah mereka ke kegiatannya masing-masing.

Yang lain?

Atsumu yang scrolling timeline instagram, wajahnya terlihat bosan setengah mati. Di sampingnya ada osamu yang main gitar tidak jelas di dekat jendela, sambil sesekali bersenandung dan ditimpali atsumu jika kebetulan memainkan lagu yang ia suka. Daichi yang sedang mengotak atik barang rusak, dan suga di sampingnya yang membaca novel.

Kan? tidak jelas memang agenda kumpul-kumpul ini.

Apalagi bokuto dan kuroo yang duduk bersebelahan di sofa tengah. Kaki saling bertumpang tindih makanan di mana-mana. Bedanya mata bokuto terpaku malas di layar TV sedangkan kuroo terus-terusan cekikikan menatap ponselnya.

“Gue bosen banget, main yuk” Oikawa yang tidak tahan akan kebosanan akhirnya mengeluarkan suara.

“Apaan bang?” Osamu menghentikan permainan gitarnya, perhatiannya teralih ke oikawa.

Bokuto yang bosan juga terlihat tertarik dengan perkataan oikawa, “Apaan bro?”

“Never Have I Ever”

“Asik... boleh deh bang,” Atsumu menyahut. Osamu yang terlihat bosan akan kegiatannya juga mengangguk setuju.

“Daichi, suga, ikut lo pada jangan kek orang apatis,” Daichi yang merasa terpanggil meletakkan perkakasnya. Suga pun juga menghentikan kegiatannya.

“Gue gas aja lah, bosen banget nih,” Bokuto mematikan TV di depannya.

Daichi menyahut, “Hadiahnya apa?”

“Hmmm apa ya...”

Tak ada angin tak ada hujan, pintu sekber terbuka. menampilkan tiga perawakan yang familiar. Satu laki-laki tinggi menenteng beberapa bingkisan di tangannya. Sedangkan dua yang lain mengikutinya di belakang.

“Nah kebetulan itu ushi bawa bingkisan, kayanya makanan”, oikawa curi-curi pandang ke bingkisan yang dibawa ushijima. “Jadi hadiahnya itu aja ya,” ucapnya tengil.

“Woi ushi, itu makanan buat kita kan?” tanya sang pemilik rambut coklat itu. Yang ditanyain hanya mengangguk. “Sip. Ni ngapain dua anak curut ngikutin lo?” Oikawa menunjuk hinata dan kageyama.

“Enak aja anak curut, adek gue nih,” Bokuto menyanggah. Quick fyi, hinata ini sepupu jauh dari bokuto. Bokuto sendiri sejujurnya tidak terlalu mengetahui silsilah keluarganya, tapi mamanya bilang kalau ada sepupunya di universitas yang sama dan baru masuk tahun ini. Itulah hinata.

“Kita join ya bang, di kosan suntuk.” Ucap hinata, yang disertai anggukan kageyama tanda setuju.

“Oke pokoknya semua yang ada di sini harus ikut.”

Kuroo mendongak, tidak terlalu fokus atas apa yang terjadi. “Eh apa nih?”

“Au dah bro, mainan oikawa. Ikutan aja ayo,” Jawab sang pria jabrik.

“Gue skip dulu ya,” ucap kuroo yang dengan segera dibantah oleh banyak orang.

Enak saja kuroo, kan mereka kumpul di sekber tujuannya mau senang-senang bersama. kalau salah satu dari mereka tidak ikut rasanya akan menjadi kurang lengkap. Bokuto dan oikawa memaksanya habis-habisan. Kalau tidak mau, besok kalau pergi mereka tidak akan mengajak kuroo lagi. Alasan kekanak-kanakan tapi kuroo menganggap itu serius. Malas kalau tidak diajak seperti insiden ringroad lagi. Akhirnya kuroo mengalah dan meletakkan handphonenya di atas meja bersama camilan yang ia makan bersama bokuto tadi.

Mereka telah berkumpul di tengah ruangan dengan makanan yang dibawa ushijima menjadi pusatnya. Beberapa makanan telah tersaji, jangan lupakan minuman yang terlihat menyegarkan.

“Gini deh, ini kan ada makanan banyak. Kita sisain 1 kotak pizza buat pemenangnya,” Tawar oikawa. Yang lain terlihat menimang-nimang. “Kalo yang menang dua nanti dibagi dua dah itu satu kotak,”

Bokuto yang asik membuka satu persatu bingkisan makanan pun terlihat antusias, disertai hinata dan kageyama yang responnya tak jauh beda dari bokuto. “Setuju deh,”

“Oke kalo gitu.”

“Jadi ini mainnya gimana?” Tanya bokuto.

“Aturan main, kita dapet sepuluh nyawa. Kalau gue ada statement dan kalian pernah ngelakuin apa yang gue bilang, nyawa kalian berkurang satu. Kalau gak pernah, yaudah jangan nurunin jari,” Oikawa menjelaskan dengan antusias, “paham sampe sini?” dijawab anggukan oleh orang-orang itu.

Oikawa mulai menghitung jumlah orang yang ada di ruangan tersebut. “Oke mulai ya, dimulai dari daichi terus muter searah jarum jam.”

Daichi mulai berpikir keras.

“Yang pernah boker di kampus, kurang satu..”

Semuanya dengan berat hati menurunkan satu jarinya, kecuali dua orang. Kalau dipikir-pikir siapa yang tidak pernah buang air besar di kampus? Pasti semua pernah. Orang yang bisa menahan sakit perut sampai kuliah selesai itu tidak sehat, kata suga.

“Licik banget, pada pernah semua lah mesti,”

“Gue belum,” jawab daichi. membuat semua orang bertatapan heran. “Soalnya gue kalo boker di kosan, kan deket tinggal nyebrang.”

“Kampret...”

“Loh osamu gak pernah juga?” suga melihat osamu tidak menekuk jarinya. “Kagak bang, toilet kampus jorok banget. Gak nyaman gue,”

“Dih padahal bersih, manja banget lo.” ledek atsumu.

Osamu menghela nafasnya, mencoba menahan kekesalannya pada sang kakak kembarnya. “Tapi mending sih, daripada toilet tsumu yang kek kandang babi.”

“Anjing samu, gelut aja lah kita?”

Suga buru-buru melerai dua kakak beradik kembar itu agar tidak terjadi peperangan. “Udah ah, ayo hinata lanjut kasi statement

“Yang pernah nyontek kalau ada tugas, mati satu.”

“Bokuto, mati gak lo kampret..” Kuroo menyeringai.

“Dek lo tega banget sama gue?” Bokuto menatap sepupunya itu sedih sambil menekuk satu jarinya.

Ya gimana ya, bokuto itu bukannya malas mengerjakan sendiri. Tapi ia sering kelupaan atau bahkan tidak memahami materinya. Di samping itu ia ada sahabat yang secara sukarela mau-mau saja mengajarinya, atau jika orang itu sudah frustasi mengajari bokuto maka ia tak rela memberikan jawaban tugasnya.

Hinata cengengesan “Maaf bang bok,”

Yang lain juga menurunkan jarinya, terkecuali suga. Yang mengejutkan ushijima juga menurunkan jarinya. Oikawa? jelas, nyawanya sudah berkurang dua.

“Lanjut aja, gas samu” Kata oikawa.

“Yang pernah pake tinder, kurang satu..”

“APA SALAHNYA PAKE TINDER ANJING,” Atsumu menyalak.

“Kalo install doang gak dipake mati gak?” tanya bokuto. “Mati bang,” jawab sang pemberi statement.

Daichi heran, “Lo ngapain install tinder bok? “

Hinata ikut menanggapi. “Iya bang bok ngapain coba? kata tante tiap hari ngurusin bola terus,”

“Diinstallin kuroo, goblok emang kuroo gak jelas,” Bokuto mbesengut. Kuroo yang melihat itu hanya menahan tawa.

Padahal kuroo sendiri tidak menggunakan aplikasi untuk dating tersebut. Tapi suatu hari ia iseng untuk menginstall itu di ponsel bokuto. Bokuto sih bodo amat dengan hal itu.

“Lanjut.”


Begitulah jalannya permainan hingga tak terasa mereka sudah cukup lama memainkannya, hingga tiba giliran bokuto. Ia melihat sekelilingnya, semua nyawa teman-temannya tinggal satu. Begitupun dengan dirinya. Jadi ia melontarkan pertanyaan sederhana namun bisa mematikan semua orang itu.

Ia tahu semua orang di situ pasti akan mati. Kecuali satu orang, yaitu kuroo. Tapi ia tak masalah, toh juga nanti pada akhirnya kalau dia menang sendiri dengan pertanyaan berbeda, pasti hadiahnya akan ia bagi dengan sohibnya itu.

Setelah memantapkan hatinya, ia mengutarakan statementnya. “Gue matiin ya lo semua. Gue ganti pernyataanya jadi buat masa sekarang karena gue bosen sama yang udah dulu-dulu,”

“Yang SEKARANG punya pacar, mati lo..”

Sialan bokuto, batin semua orang yang ada di situ. Ia melihat teman-temannya mengaduh sambil memakinya.

“Dosa banget bang,” kageyama menyahut.

Oikawa menambahi, “Tau nih makhluk astral ngeselin.”

Senyum kemenangan masih terpasang di bibirnya. Setelah mengalahkan teman-temannya yang lain, akhirnya ia akan menikmati pizza. Yah walaupun nanti akan dibagi dengan kuroo sih, karena bokuto tau kalo kuroo gak bakal mati kali ini. Namun ia merasa ada yang aneh.

Kok kuroo... mati?

Bokuto heran, “Kur lo ngapain nekuk jari anjir?”

“yah nanya lagi, karena gue mati lah.” Kuroo menyahut.

Semuanya berseru bersamaan. “HAH?”

Atsumu menanggapi “Bang kuroo punya pacar kali, ya gak bang?”

Kuroo mengepalkan tangannya dan mengajak atsumu untuk fist-bump, “Yang pinter cuma atsumu ternyata.”

Bokuto terdiam.

Persetan dengan menang.

Persetan dengan pizza.

Ia ingin pulang.

Bokuto Koutarou x Kuroo Tetsurou


Malam itu benar-benar malam yang membosankan bagi bokuto. Usai membersihkan badan selepas latihan, ia melangkahkan kakinya keluar gor dan membawa dirinya entah ke mana. Bokuto koutarou adalah maniak voli. Tapi kali ini voli bahkan tidak bisa membunuh rasa bosannya. Hampa.

Berencanalah ia ke kos kawannya, kuroo. Niatnya menghabiskan malam hanya dengan mengobrol ringan. Ia menghubungi yang bersangkutan, dan mendapat lampu hijau. Segera ia bergegas pergi dari area itu dan menuju ke rumah kuroo.

“Masuk,” ucap kuroo tepat saat membukakan pintu untuk bokuto. Ia lihat kuroo yang sehabis mandi dengan baju polosan dan celana pendek, jangan lupakan rambutnya yang mulai mengering. “Tumben lo jam segini mandi?”

Yah ini jam 9 malam, dan kuroo aslinya tidak suka dingin. Karena itu bokuto terheran-heran, apa yang merasuki kawannya ini tiba-tiba mandi jam segini.

Kuroo menyilangkan tangannya di depan dadanya, “Gerah.”

Bokuto mengendikkan bahunya cuek. Kemudian dengan segera ia bergegas mendudukan dirinya di kasur kuroo usai meletakkan tasnya di samping meja belajar kuroo. Ia melihat kuroo yang sedang asik memakan sesuatu, membelakanginya sambil mengecek sesuatu di rak bukunya. Timbul sepercik keinginan untuk merengkuh perawakan tersebut.

Bokuto mendekat ke paras elok itu, melingkarkan tangannya di sekeliling pinggang sang kawan dan meletakkan dagunya di pundak kuroo. Menghirup aroma sabun di ceruk leher kuroo. Membuat kuroo memejamkan matanya dan menikmati sensasi yang bokuto salurkan. Manis seperti iced tea dengan perpaduan mint. Ia hirup lagi tengkuk kuroo dengan rambutnya yang sedikit masih basah.

“Lo pake shampo baru ya?”

“Iya, kenapa?”

Aroma citrus menguar dari rambut kuroo, membuat bokuto terbuai. “Gue suka,” ucapnya sambil menjelajahi tengkuk orang di depannya. Mengecupnya sekali-kali.

Saat kuroo membalikkan badannya, ia temukan wajah bokuto yang hanya disoroti oleh cahaya remang-remang lampu belajar. Dengan hembusan nafasnya yang menenangkan. Lantas ia mengoleskan sedikit sisa selai blueberry di bibirnya ke bibir bawah bokuto, membuat sang empunya heran bukan main. Kuroo yang mengerti ekspresi dari sang kawan membuat gestur untuk diam dengan jari telunjuk di bibirnya sendiri.

Ia dekatkan wajahnya, menghapus jarak. Bokuto paham betul apa yang kuroo lakukan. Tepat saat bibir kuroo ada di depan bibir bokuto, ia berbisik pelan.

“Boleh gue bersihin? gue suka selai blueberry.”

Alih-alih merespon, yang ada hanyalah tangan bokuto yang meraih tengkuk kuroo agar semakin mendekat. Menyatukan belah bibir diantara mereka. Memagut, saling mendominasi. Manis bercampur sedikit asam, terasa penuh dan hangat. Ia sesap bibir kuroo yang sedari tadi menggodanya bukan main. Ah, selai blueberry ternyata memang senikmat ini.

Manis asam dari selai blueberry seolah menambah sensasi yang membuat keduanya terselebungi kabut nafsu.

~~~

Menyadari kaosnya sudah jatuh di lantai, kuroo buru-buru menghentikan cumbuan mereka. Menyisakan sedikit benang tipis saliva yang menggantung, membuat bibir keduanya semakin terlihat basah dan ranum.

“Bentar,” Kuroo menyalakan laptopnya lagi, dan membuka channel youtube yang biasa ia tonton saat belajar. Ia naikkan volumenya hingga cukup. Playlist tentang teori gravitasi bukanlah ide yang buruk, kan?

“Ngapain diidupin?”

Kuroo mengalungkan lengannya di leher pria di depannya, mendekatkan hidung mereka hingga jarak tak sampai satu inci.

“Gue gak mau orang lain denger secara cuma-cuma,”

Begitulah ucap kuroo final, sebelum menyatukan bibir mereka. Sebelum bokuto menenggerkan kedua tangan kokohnya di pinggang kuroo dan mengangkatnya hingga ke ranjang sang pemilik kamar.

Is this okay?” Bokuto memastikan sebelum melangkah lebih jauh.

Totally,” Laki-laki di bawahnya tersenyum tipis, dan jangan lupakan mata sayunya yang seolah mengundang bokuto untuk menelusuri lebih dalam.

Seolah mendapat komando, bokuto langsung tanpa berpikir ulang melakukannya.

Bokuto bersumpah demi hidupnya, seumur-umur ia bercinta dengan orang, rasanya tak seaneh ini. Ia merasa aneh melihat kuroo di bawahnya begini.

Ia merasa aneh. Ia masih merasa aneh.

Melihat kuroo yang biasanya gagah perkasa di lapangan, berbanding terbalik dengan kuroo di bawahnya sekarang yang siap digagahi.

Thanks for the meal,” bisik bokuto di sebelah telinga kuroo, sebelum menjelajahi ceruk leher serupa madu dengan hidungnya. Dirasakan kuroo menggeliat gelisah. Tindakan bokuto tersebut tentu menghantarkan gelenyar dari jantung kuroo, menuju ke kepala dan ke bawah sana.

“Gue pelan-pelan ya” ucap bokuto yang dijawab anggukan oleh kuroo.

“Kaya lo bisa aja,” tambahnya.

Panas.

Bokuto menanggalkan jaket hitam timnya. Melemparkannya ke lantai kebanggaannya tersebut, karena kini yang akan ia banggakan berada tepat di depannya.

Lanjutlah kegiatan jajah dan menjelajah tubuh elok kuroo. Ia sesap kembali leher madu milik kuroo, membuat sang empunya makin menjadi-jadi. Kepala kuroo pening oleh sentuhan lawan mainnya ini.

Sesapan semakin menurun, menuju ke dua tonjolan di dada kuroo yang sedari tadi tidak terjamah. Ia kecup pelan dan gigit kecil sesekali.

Satu kali.

Dua kali.

...Ngh bok,

Hingga terdengar erangan kuroo yang dengan mudah membuat bokuto kecil bangun dari tidurnya. Selamat kuroo, kamu telah memanggil macan yang tertidur.

Dengan lidahnya, ia sesap dan basahi tonjolan kuroo. Lagi, lagi dan terus. Sensasi itu membuat laki-laki dengan bersurai hitam menyematkan jemarinya yang panjang ke surai putih. Rambut yang tadinya tegak karena pomade, kini telah jatuh karena bercampur dengan keringat dan nafsu. Sialnya itu membuat kuroo lebih tergugah lagi. Candu sekali.

Bokuto menyatukan bibir keduanya lagi, memagutnya tiada henti. Ia kira kuroo akan jatuh sepenuhnya di dalam dominasi bokuto. Tapi ia kemudian sadar, yang ia hadapi saat ini adalah kuroo tetsuro.

He likes kissing and kuroo like to be kissed. Kuroo likes the player, and bokuto loves the game.

Terjadilah pertarungan lidah, pertukaran saliva yang saling membangkitkan gairah masing-masing.

Fuck kuroo, gini aja lo udah enak banget..” Ucap bokuto usai melepas pagutan, sambil memainkan salah satu tonjolan di dada kuroo yang telah meremang.

Kuroo menyeringai mendengar kata kotor keluar dari mulut bokuto, kemudian dengan cepat membalikkan posisi. Kini ia tindih bokuto di bawahnya. Sengaja ia duduki bokuto kecil yang kini mulai mengganjal di area bawahnya.

“Lemah lo..” Ledek kuroo di atasnya.

Bokuto menautkan alisnya heran, mendengar kuroo berkata seperti itu padahal ia sendiri tengah melihat celana kuroo yang telah menggembung. “Lo pikir lo enggak?” ledek bokuto balik.

Tangan kuroo terjulur menuju dada bidang bokuto, menjadikannya sebagai tumpuan.

What the fuck you'll gonna do, tetsu?”

Torturing you, darling.

Setelah berkata demikian, kuroo menyamankan posisinya di atas bokuto dan bokuto kecil yang telah bangun sedari tadi. Besar banget, batin kuroo. Ini bukan pertama kalinya ia melakukannya bersama bokuto. Mereka pernah melakukannya, tidak sengaja. Dan pada saat itu kuroo tak sadar kalau milik bokuto sebesar ini. Bokuto yang sekarang, sangatlah masif.

Ia gerakkan pinggulnya yang masih menduduki kejantanan bokuto. Keduanya masih terbalut dengan celana masing-masing.

You got a damn big package, huh?

Bokuto semakin sesak di bawah sana. Laki-laki di atasnya memaju mundurkan pinggulnya yang elok dengan ritme tertentu. Darahnya berdesir layaknya menuju ke satu titik, yakni kejantanannya.

friksi antara kain tipis sweatpants yang ia gunakan, dengan celana pendek kuroo yang daritadi memperlihatkan betapa kerasnya kuroo sekarang, benar-benar membuatnya gila.

Ia julurkan satu tangannya yang sedari tadi menyokong pinggul kuroo, beralih menjadi di salah satu nipple di dada kuro. Mencubitnya pelan dan mengakibatkan kuroo mendongakkan kepalanya keenakan.

“Sialan kuroo,” Bokuto mengerang. “Lo sekarang lewd banget, tau gak?”

Tapi kuroo tidak menggubrisnya, ia tak sanggup. Merasakan gesekan di bawah sana yang membuatnya mabuk kepayang. Padahal itu ulahnya sendiri. Miliknya terasa begitu sesak dan panas. Menuntut untuk dibebaskan dari belenggunya.

Bokuto yang sama-sama, bahkan lebih, tidak tahan karena sedari tadi menerima dryhumping dari kuroo pun akhirnya memilih memegang kendali setelah membiarkan kuroo menyiksanya. “Your time is over..

Ia peluk badan kuroo dan memutar posisi dengan pelan. Ia lihat celana pendek kuroo yang kini sudah mulai basah. Kalau bokuto sadar pun, miliknya sendiri sudah tak jauh beda dengan milik kuroo.

Disentuhnya paha dalam orang di depannya, yang dengan sukarela membukakan jalan bagi bokuto. Ia telusuri dengan jemarinya, paha dalam dari mantan kapten nekoma ini. Ia kecup, tak jarang sesekali menggigit dan menimbulkan ruam keunguan di sana.

Tanpa berpikir ulang, ia tanggalkan celana pendek kuroo. Kini yang di depannya sudah lengkap kuroo tetsuro tanpa helai apapun.

“Biar gue aja,”

Kuroo mengambil sebuah botol di nakas samping tempat tidurnya.

“Anjing kur, lo sejak kapan nyimpen ginian di situ?” Bokuto terkaget.

Selama ia sering main ke kamar kuroo, tidak pernah ia menemukan barang-barang haram ataupun barang yang mencurigakan. seperti ini. Waktu itu mereka melakukannya pun di tempat oikawa pada saat menghabiskan malam minggu, yang berakhir dengan bokuto dan kuroo di kamar sang pemilik rumah.

“Iseng beli, baru dateng kemaren”

“Trial nih ceritanya?” Bokuto terkikik geli.

“Diem lo,” ucap kuroo, sedikit malu.

Bokuto kini disuguhi pemandangan yang luar biasa. Indahnya bahkan dapat diadu dengan pemandangan di luar sana. Tidak, bahkan ini lebih elok.

Melihat kuroo melebarkan kedua kakinya dan mencoba mempersiapkan dirinya sendiri untuk dimasukki bokuto kecil, yang ternyata sangat besar.

Rambut hitam jelaga yang menempel di dahi karena keringat, bibirnya yang sedikit bengkak, kulitnya yang sewarna madu dan meremang di bagian tertentu. Jangan lupakan tanda kepemilikan di area bawah sana.

“Kuroo tetsurou, lo indah banget,”

Ditambah desahan kecil yang sedari tadi lolos dari bibir kuroo. Semua ini membuat bokuto benar-benar hilang akal sehat. Setelah dirasa cukup, kuroo menghentikan kegiatannya dan memberikan isyarat pada bokuto.

“Udah?”

Ia mengangguk, “pelan-pelan tapi..”

Yang kemudian bokuto jawab dengan gumaman dan kecupan di dahi kuroo.

Ia siapkan kejantanannya sendiri yang telah menunggu. Tak lupa proteksi yang dipasangkan saat kuroo sibuk dengan dirinya sendiri tadi. Tentu saja kuroo masih saja terkejut saat penis bokuto sepenuhnya terlihat. Besar, berurat, dan keras. Membuat bagian bawah kuroo bereaksi. Sejujurnya, milik kuroo juga tidak terlalu kecil. Bahkan bisa dibilang miliknya lebih sedikit dari rata-rata. Tapi milik bokuto ini sudah benar-benar melampauinya.

Jadi saat kepala dari penis bokuto menyentuh bawahnya, ia memejamkan mata dan sedikit meremas seprai kasurnya. Bokuto melihat ekspresi dari wajah kuroo menjadi sedikit terenyuh.

It's okay. I'll be gentle, tetsu

Sedikit. Kuroo menghirup napas pelan.

Separuh. Kuroo menahan napasnya.

Penuh. Kuroo tercekat. Merasa dicekik, terlebih di bawah sana. Ia benar-benar merasa telah terisi oleh milik bokuto.

Kalau dirasa-rasa, kondisi seperti ini menimbulkan rasa sakit yang seolah bisa menghilangkan kesadarannya. Ia merasa badannya dikoyak habis-habisan saat benda itu memasuki dirinya secara penuh. Panas, penuh, dan basah.

Setelah beberapa menit menyesuaikan diri, ia menatap bokuto lamat. Ia tatap manik emas yang diselimuti nafsu itu. Kelopaknya sayu tapi tatapannya tajam, seolah menunggu persetujuan kuroo untuk memulai bergerak. Kuroo memberi tanda berupa anggukan pelan, dan mengalungkan tangannya di leher orang di atasnya.

Bokuto yang mendapat persetujuan langsung menggerakkan pinggulnya dengan pelan. Menimbulkan gesekan antara miliknya dan dinding kuroo di bawah sana. Menggempur setiap titik di ruang yang ada.

Penis bokuto yang berkedut dihimpit kencang oleh milik kuroo, “You really good at choking me down there, tetsu..

Kuroo terengah-engah, keringatnya bercucuran di pelipisnya. Sedikit air mata keluar dari mata kanannya, mengalir dengan indah di pipi orang yang lebih tinggi. Wajahnya memerah.

Hell yeah i am.. just break me, kou.

Mendengar kata-kata itu keluar dari mulut sang kawan tentu saja membuat libido bokuto makin membuncah. Nafsunya mengambil alih kontrol tubuhnya. Friksi antara penisnya dan dinding kuroo menstimulasi pergerakannya.

Ia raih tungkai kuroo, satu persatu ia sandarkan di pundaknya yang lebar. Ia miringkan kepalanya dan mengecup betis kuroo berulang kali sambil mengucapkan pujian-pujian untuk kuroo.

He worships him.

Bokuto worships kuroo so much.

Harder.

Rougher.

Kuroo menginginkan bokuto, sebesar bokuto menginginkan kuroo.

Setiap tumbukan di ruang kuroo membuat darahnya berdesir menuju satu titik, ke penisnya sendiri. Penisnya memerah, basah, dan ngilu karena sedari tadi tak terjamah. Ia genggam miliknya sendiri dan mulai menstimulasi.

Tapi bokuto mengehentikan tangannya dan menggenggam penis kuroo, “Gue aja.”

Kuroo yang tidak di posisi dapat menolak pun membiarkan bokuto menjamahnya. Bokuto Koutarou benar-benar membuatnya gila.

Oh god, fuck yes.. yes.. yes..

Bokuto dengan tangan besarnya yang hangat memainkan penisnya membuatnya gila. Hentakan berulang dari pinggul bokuto yang menghujam titik pastinya pun membuat akal sehat kuroo melayang. Ia mabuk kepayang.

Bokuto menggeram, “Suka?”

Hanya dijawab anggukan dan rintihan dari kuroo.

“Kou, please mau keluar...” ucapnya.

Perlakuan bokuto membuat ia lupa diri hingga akhirnya ia capai pelepasan pertamanya, mengenai dada bidang bokuto dan perutnya sendiri. Kakinya gemetar di pundak gagah bokuto.

Bokuto yang tak lama kemudian merasa akan lepas pun akhirnya menarik dirinya dari kuroo, segera ia lepaskan kondom yang membungkus penisnya. Ia stimulasikan hingga akhirnya ia menyusul kuroo dengan pelepasannya, mengenai bagian bawah kuroo yang masih memerah. Sengaja ia arahkan ke sana sebelum ia ambruk di atas kuroo.

Kuroo yang badannya masih gemetar pun membiarkan bokuto bersemayam di dadanya sebentar.

“Lo gila bok, kaki gue masih gemeter gak berhenti ini,”

Bokuto mendongak kemudian terkekeh sambil menyeka keringat di pelipis kuroo, “Enak dong gue mainnya berarti?”

Kuroo hanya menjawabnya dengan senyuman jahil dan kecupan di dahi bokuto, kemudian membawa laki-laki itu dalam dekapnya.

“Bok, stay ya?”

“Iya. Tapi besok bangunin pagi ya, gue masih ada latihan jam 9.”

Roger that, babe.

Bokuto yang masih menyamankan diri di dekapan kuroo jadi menimang-nimang. Kuroo memang semanis ini ya? Sepertinya, dulu temannya yang satu ini tidak bertingkah seperti ini. Apakah ini yang dirasakan pasangan-pasangan lama ketika sudah lama tidak bercinta lalu melakukannya lagi?

It feels like the first time they did it. Perutnya masih seperti dihinggapi kupu-kupu dan pipinya masih bersemu saat tubuhnya bersentuhan dengan kuroo.

Tiba-tiba pikiran random muncul di isi kepala bokuto.

“Kur, jujur. Lo tadi sebelum gue kesini udah prep ya? Kok gue juga ngecium bau aftershave.

“Terus tadi lo mulus dan indah banget?”

Kuroo tidak menjawab, seperti tertangkap basah. Telinga dan pipinya mulai memanas hingga merah.

“Segitu pengennya?”

“Besok lagi kalo pengen bilang aja, gue langsung dateng ko—mmspsh,” Ucap bokuto final yang dengan segera mulutnya yang brisik itu ditutup dengan tangan kuroo.

“Brisik lo. Dah tidur.”

-Fin.

Wish You Were Sober


Hari pertama bulan Agustus hampir berakhir. Hampir saja Kagami akan menyelami mimpi. Menyamankan dirinya di atas kasurnya yang hangat pada malam yang dingin begini. Ya, hampir saja sebelum Aomine, si kunyuk itu, mengganggunya dengan membuat nada dering ponselnya berkali-kali berbunyi. For god's sake, ini tengah malam dan hampir berganti hari!

“Apa?” kata Kagami gusar dengan menahan kantuk.

“Hm.. diangkat juga” ucap orang di sebrang sana. Kagami tidak menjawab, menunggu Aomine melanjutkan perkataannya. Tapi yang ia dapat hanya hembusan nafas dan racauan tak jelas. Sebenarnya kenapa Si kunyuk ini?

“Kagami.. ” Ia mendengar namanya sendiri dipanggil. Namun panggilan tersebut hanya ia jawab dengan gumaman.

“Kagamiiii” panggilnya lagi.

“iya kenapa, Aomine?”

you cute,

“hah?” kagami menyentak. terlalu bingung dengan perkataan Aomine.

and hot. fuck it

Jujur saja ia tak tahu reaksi apa yang harus diberikan. Mungkin ia harus menghajar Aomine. Yap, itu adalah pilihan terbaik karena telah mengatakan hal yang ngawur seperti itu. Tolong ingatkan Kagami untuk memukul si rambut biru itu besok sewaktu bertemu.

Sialan, ini orang kenapa sih bikin bingung aja. Aomine aneh.

“Lo mabuk ya?”

“entah, mungkin?”

“kok 'mungkin'?”

“pengen dribble bola” ucap Aomine tidak nyambung dengan pertanyaan yang dilontarkan Kagami.

“Oke, lo mabuk.” Kalimat final dari Kagami. “Istirahat sana. gue tutup ya?”

“Males.”

Kagami menggaruk pipinya yang tidak gatal. Sejujurnya ia sendiri cukup bingung dengan situasi aneh ini. Bagaimana jika orang yang sehari-harinya mengejekmu dan mengataimu tiada henti, jadi meracau hal-hal aneh seperti ini. Bahkan saat jarum panjang sudah melebihi angka 12, dengan kata lain hari pun telah berganti.

“Kagameeee~”

“Apaan!?” terdengar suara gelak tawa di sebrang sana. Kagami jadi makin kesal karena serasa dibodohi dan dipermainkan. Terlebih saat suara dari sebrang sana tiba-tiba diam dan tak kunjung terdengar, menyisakan dentingan jarum panjang jam dinding yang mengisi penjuru kamar.

“Selamat ulang tahun bakagami...

..Love you. full homo.

What the fuck fuck fuck, Aomine, fuck

Setelah itu terdengar nada sambung dari ponsel yang ia genggam. Kagami bersumpah akan menghabisi kunyuk satu itu. Rivalnya yang satu itu aneh.

Kagami sangat tahu kalau Aomine itu aneh, dan idiot, menyebalkan level akut intinya. Sumpah, ia paham betul tabiat orang satu itu, dari semasa SMA hingga berakhir di perguruan tinggi yang sama seperti sekarang ini.

Tapi yang Kagami tidak ketahui,

Aomine tidak sepenuhnya mabuk malam itu.