Pertama dan Kedua


Hampir pukul jam 12 malam, kuroo dan bokuto yang limbung tiba di kosan. Bokuto yang sudah agak-agak tipsy langsung menjatuhkan dirinya di atas kasur kuroo sambil melepaskan beberapa hal yang ia kenakan. Ia lempar hoodienya ke arah sofa kuroo. Kaos kaki yang hanya dilepaskan satu sisi pun ikut ia lemparkan ke sembarang arah. Kuroo yang melihatnya hanya bisa menahan kesabarannya.

Tiba-tiba nada dering dari ponsel bokuto pun terdengar. Kuroo ambil ponsel di saku celana bokuto yang kemudian menampilkan panggilan dari kakaknya, Kaori.

“Bok, ada telpon nih..”

“Hngg...” Ucap bokuto sambil menerima ponselnya dan mencoba mengumpulkan kesadarannya untuk berbicara normal.

“—di kos kuroo kak..” Ucap bokuto sambil mengucek matanya. “Iya, besok pagi pulang,” lanjutnya. Ia berusaha berbicara secara normal. Tapi namanya juga tipsy, akhirnya setelah panggilan ditutup ia langsung ambruk lagi ke kasur kuroo.

Meninggalkan ponsel bokuto yang belum terkunci. Kuroo yang melihat hal itu langsung mengambil inisiatif, meninggalkan ponselnya sendiri.

“Bok?”

Tidak ada respon dari bokuto.


Keesokan harinya, bokuto bangun dengan wajah yang sedikit membengkak karena minuman beralkohol yang ia tenggak semalam. Ia melihat kuroo yang sedang duduk di kursi belajarnya, tengah memainkan komputernya. Akhirnya ia melangkahkan kakinya untuk mandi dan kembali ke kamar kuroo hanya dengan handuk yang ia lilitkan di pinggang.

Kuroo masih setia duduk di kursi membelakanginya dengan earphone yang terpasang di telinganya.

“Ekhem—” Bokuto berdehem demi memecah keheningan itu. “Kur, pinjem kaos ya..”

Karena tidak ada jawaban dari kuroo, ia nekat membuka lemari baju kuroo dan mengambil salah satu kaosnya.

Ah, bau ini lagi. Bau yang sama dengan hoodie yang minggu lalu ia ambil. Bau wangi yang akhir-akhir ini mengganggu pikiran bokuto.

Ia tengokkan kepalanya ke arah kuroo untuk melihat yang bersangkutan. Masih sibuk dengan komputernya. Kemudian ia kenakan kaos tersebut dan ia hirup aroma yang semerbak itu.

“Suka lo sama baunya?”

Bokuto membeku. Suara kuroo dari belakangnya membuatnya tak berkutik.

“Baunya sama kan kaya hoodie lo?” Lanjutnya lagi.

Pikiran bokuto berkecamuk. Bagaimana bisa kuroo membaca pikirannya? Ia tak tahu bahwa kuroo dapat mengetahui rahasia kecilnya, yang mana baru terbentuk beberapa hari lalu.

Kuroo membuka mulut lagi, “Kok gak jawab?”

“Hah? Apaan sih?”

“Jawab aja,”

Kuroo menuntut. Bokuto jadi curiga ia melakukan hal yang aneh atau hal tidak masuk akal semalam. Meskipun ia agak sadar dan masih mengingat beberapa hal, namun separuhnya buram.

“Gue ngelakuin hal aneh ya semalem?” tanya bokuto.

Tapi kuroo tidak menjawab. Kuroo hanya kemudian memutar kursinya sehingga menghadap bokuto. Wajahnya tampak lelah dan penampilannya cukup acak-acakan.

Bokuto menunggu kawannya itu membuka mulut, namun yang bersangkutan tak segera melakukannya. Kuroo hanya menatap bokuto tajam dengan matanya yang sayu itu. Wajahnya benar-benar memancarkan kelelahan, layaknya orang yang tidak tidur satu malam.

“Kok diem? Bener ya gue ngelakuin hal aneh?” bokuto mengkonfirmasi ke kuroo.

Tapi kuroo masih bungkam. Hal ini tentu membuat bokuto agak jengkel. “Kenapa jadi lo yang diemin gue sih?”

Bukan jawaban dari pertanyaan itu yang bokuto dapatkan, melainkan pertanyaan balik dari kuroo. “Permintaan lo yang semalem masih berlaku gak?”

“Permintaan apaan?” Bokuto bingung, “Jangan ngada-ngada lo..”

“Yang ini...”

Kuroo berdiri kemudian berjalan pelan ke arah bokuto. Ia ayunkan tangan kanannya mengenai pipi bokuto.

BUGH

Satu kali pukulan.

Bokuto limbung, tapi tidak segera merespon karena masih memproses apa yang terjadi. Ia sentuh pipinya yang terasa sakit.

“Ini juga,” Kuroo mengayunkan tangannya sekali lagi menghantam pipi yang masih terasa nyeri itu.

BUGH

Dua kali pukulan.

“Anjing, kuroo! maksud lo apa?!” Bokuto terkejut bukan main.

“Lo yang minta,” Jawab kuroo.

“Bangsat,” bokuto memaki sambil mengecek pipinya di cermin lemari baju kuroo. “Ya orang mabok kenapa lo iyain goblok,”

“Karena gue juga pengen mukul lo.”

“Kenapa?”

“Yang pertama buat lo yang bohongin gue tentang latihan lo.”

Shit, batin bokuto.

Bokuto terkejut. Sialan, kenapa kuroo bisa tahu. Kenapa ia tahu kalau selama ini, saat ia beralasan latihan, ia sebenarnya sedang di rumah tidak melakukan apapun dan hanya mencari distraksi. Ia tak tahu harus menjawab apa untuk saat ini.

“Yang kedua, biar lo sadar.”

“Sadar apaan sih?” Bokuto masih bingung, “Jujur aja, gue semalem ngapain?” lanjutnya.

Kuroo tidak menjawab. Bokuto juga bungkam. Keduanya tidak ada yang mau mengeluarkan suara. Namun keduanya juga masih saling menatap satu sama lain. Menelusuri tiap kata yang tak terucap dari pancaran manik masing-masing.

Bokuto yang terlampau bingung dan jengkel karena kuroo yang begini bringasnya. Dan kuroo yang menahan amarahnya, karena yang ia separuhnya sudah ia salurkan lewat pukulan ke pipi bokuto tadi.

Masih belum ada yang mau mengalah, sebelum akhirnya kuroo jengah dan mencoba untuk membuka obrolan lagi.

“Lo gak ngelakuin apapun semalem–” Ucap kuroo, “Sorry..”

Bokuto terdiam memandang kuroo yang tiba-tiba meminta maaf. Apa-apaan ini, kenapa ia dibuat semakin bingung?

“Gue semalem buka hp lo,” bokuto sudah mau membuka mulutnya, tapi dibungkam lagi oleh kuroo “–dan gue liat akun privat lo di twitter,”

Kuroo mengakui kelancangannya semalam karena membuka ponsel bokuto saat empunya tidak dalam keadaan sadar secara penuh. Ia buka ponsel itu dan lihat aplikasi twitter, dan berakhir menemukan sesuatu yang seharusnya ia tidak ketahui.

Hal itu membuatnya terkejut setengah mati dan tidak bisa tidur. Ia habiskan malam tadi dengan menatap layar komputernya dan membuka file tugasnya, berharap mendapatkan distraksi agar ia terhindar dari pikiran berlebihan.

“Sorry bok...”

Pengakuan kuroo tentunya membuat bokuto terkejut bukan main. Jantungnya berpacu, bahkan ia bisa mendengar suara jantungnya sendiri. Ia ingin marah karena rahasianya terbongkar. Namun ia urungkan dan mencoba agar tetap tenang.

“Apa aja yang lo liat?” Tanya bokuto kemudian.

“Semuanya,”

Fuck,” Hati bokuto mencelos.

—tbc.