caessonia

Sunrise


Sudah berhari-hari kuroo memikirkan tentang hubungannya dengan bokuto, juga tentang hal yang membuatnya merasa ada yang mengganjal. Pikirannya tersita akan hal itu. Niat hatinya ingin menanyakan hal tersebut pada orang yang bersangkutan, namun waktu tak kunjung memihaknya.

Hingga malam—pagi— ini, bokuto tiba-tiba mengajaknya untuk jalan-jalan. Tepat pukul dua pagi saat ia bergelut dengan pikirannya setelah terbangun dari tidurnya. Entah ke mana bokuto akan membawanya kali ini, ia tidak ambil pusing. Ia hanya butuh berbicara dengan bokuto. Jadi saat orang itu mengatakan bahwa ia sudah ada di luar kos, dengan segera kuroo mengambil jaketnya dan menemui bokuto.

“Laper kan? makan dulu yuk?”

“Ke mana? emang ada yang buka jam segini?”

Drive Thru biasanya,” bokuto mengedipkan satu matanya ke kuroo.

Kuroo pun langsung mengiyakan tawaran bokuto. Mereka menuju tempat makanan cepat saji yang dimaksud bokuto, memesan banyak makanan dan melanjutkan perjalanan mereka.

Sebenarnya kuroo tidak tahu bokuto akan membawanya ke mana. Tapi ia ikut saja, tidak peduli ke arah mana mereka melaju. Ke mana pun tujuannya dan apapun tempatnya, jika kamu bersama orang yang tepat, maka akan terasa benar.

Hingga tibalah mereka di suatu tempat. Seperti lokasi untuk layar tancap. Serius bokuto mengajak menonton film di pagi hari begini? Ia heran pada awalnya. Namun setelah dipikir-pikir lagi, keheranannya sirna. Alasannya sudah jelas, karena itu bokuto.

Dua setengah jam mereka menghabiskan waktu dengan menonton film di tempat itu. Film komedi lama yang diputar kembali. Sekeliling mereka adalah orang-orang entah dari mana, yang ikut menonton sesekali terbahak karena adegan lucu dari film itu.

“Lo dapet ide ginian dari mana sih, bo? random tau.”

“Temen gue anak perfilman ngasih tau event ini,” ucap bokuto. “Tuh anaknya lagi jaga di sebelah tenda sound system.”

Bokuto menunjuk orang jauh di sana.

Kuroo tidak habis pikir.

“Jam segini banget?”

“Ini film terakhir, emang sengaja diputer sampe pagi.”

“Oh gitu,” kuroo mengangguk paham. “Konsep dekornya bagus juga,”

“Iya, temanya nostalgia.” ucap bokuto.

Sial. Cocok sekali dengan keadaan mereka kali ini kan? Nostalgia. Mengingat kenangan masa lalu. Tiba-tiba kuroo jadi mellow sendiri.

Kemudian keduanya melanjutkan menonton film, sesekali melahap makanan yang sebelumnya mereka beli itu.

Tak jarang kuroo ikut terlarut dalam film yang ditayangkan, mengesampingkan fakta bahwa jantungnya berpacu kencang karena ada di tempat seperti ini bersama bokuto, orang yang ia sayangi.

Laki-laki bersurai hitam itu juga kerap meledakkan tawa tatkala ada adegan lucu yang membuat perutnya geli. Dan menyunggingkan senyum saat ada adegan yang dianggapnya menarik.

Kemudian perhatiannya teralih ke bokuto, yang juga mendengus geli sambil menatap kuroo dalam dan lembut.

“Kenapa kok ngeliatin gue gitu?” tanya kuroo.

“Gue lebih menarik dari filmnya ya?”

“Iya.” ucap bokuto lugas.

“Kalo gue senyum dan ketawa kaya gitu, gue bakal semanis lo gak ya?”

Bangsat, bokuto bangsat. batin kuroo.

“Paan sih lo.” kuroo mengalihkan perhatiannya.

Sudah berapa kali ia dibuat salah tingkah begini oleh bokuto? banyak. Ia sendiri sudah kehilangan hitungan saking banyaknya. Meskipun banyak begitu, pipinya tak akan bosan untuk memerah dan perutnya tetap tak berhenti mendapat sensasi seperti dihinggapi ribuan kupu-kupu.

Bokuto tertawa pelan, kemudian melanjutkan menonton filmnya. Lain dengan kuroo yang memainkan ponselnya sembari menata detak jantungnya, berharap agar orang di sampingnya ini tidak menyadarinya.


Setelah film berakhir dan menampilkan kredit di bagian akhir, akhirnya keduanya memutuskan untuk berpindah pergi dari tempat itu. Mereka melanjutkan perjalanan dengan iringan lagu yang diputar oleh bokuto. Kali ini, kuroo juga tidak tahu akan dibawa kemana oleh bokuto. Namun ia tetap tidak keberatan. Ke manapun, asal dengan bokuto.

Keduanya membicarakan tentang kehidupan perkuliahannya. Seperti kuroo yang sebentar lagi akan sibuk piket di laboratorium. Atau tugasnya yang menumpuk dan membuatnya hampir gila. Bokuto pun juga turut menanggapi dan sesekali mengatakan sesuatu tentang perkuliahannya sendiri.

By the way, lo kemarin diomongin cewek-cewek di angkatan gue,”

“Widih, asik dong? orang ganteng wajar kalo diomongin..”

“Dih, besok gue kasih topi baru ya soalnya kepala lo makin hari makin besar..”

Tawa bokuto meledak. Kemudian ia tersenyum dan menggelengkan kepalanya pelan.

“Gue gak tertarik kok, tenang aja.”

Dengan kalimat sederhana itu pun diam-diam kuroo merasa tenang. Seperti membuatnya yakin kalau bokuto ini miliknya sepenuhnya. Padahal tidak juga.

Ia menyandarkan badannya ke jendela, diam-diam mengulum senyum. Ah, jadi begini rasanya punya waktu dengan orang yang disukai. Quality time dengan seseorang yang bukan milik orang lain. Menghabiskan waktu dengan bokuto bisa jadi opsi pertama yang ia inginkan saat diberi kesempatan.

Ia mengedarkan pandangannya ke jalanan luar yang menanjak. Kuroo mengira bokuto akan membawanya ke puncak gunung. Ia sempat akan protes karena ia tidak terlalu suka gunung, karena dingin dan membuat telinganya sakit. Namun ia tidak segera mengeluarkan suaranya. Ia membiarkan bokuto membawanya ke manapun mereka pergi.

Setelah beberapa saat, mobil mereka berhenti di suatu area. Bukan area puncak seperti dugaan kuroo. Area ini lebih seperti pinggiran tebing, yang diberi batas aman dari alumunium, seperti area yang memang dibuat khusus untuk menikmati pemandangan di daerah itu.

Bokuto keluar dari mobil, kemudian membukakan pintu untuk kuroo. Mengisyaratkan agar laki-laki bersurai hitam itu beranjak dari posisinya.

“Kenapa kok berhenti di sini?” tanya kuroo saat keduanya sudah berada di luar mobil. Keduanya bersandar di mobil bokuto, menghadap pemandangan kota di bawah sana dengan gemerlap lampu yang terang.

Namun bokuto tidak menjawab pertanyaan kuroo dengan segera. Yang ada ia hanya menarik napas pelan sambil menggaruk bagian belakang kepalanya yang tertutup hoodie.

“Tetsu...”

Bokuto memanggil kuroo lembut.

“Ya?”

“Gue mau ngomong. Dengerin baik-baik ya karena gue malu banget buat ngulangin ini dua kali. Mungkin agak cringe sih, tapi bodo amat lah, gue tetep pengen ngomong ini ke lo.”

Kuroo diam seribu bahasa. Ia mengerti ke mana arah pembicaraan ini. Jika bokuto sudah mode begini, pastinya ia akan membahas tentang hubungan di antara mereka. Jadi kuroo juga mempersiapkan dirinya. Ternyata bokuto juga memikirkan itu akhir-akhir ini, tidak hanya ia sendiri.

“Jangan ketawa ya,”

Kuroo mengangguk, mengisyaratkan akan menyimak bokuto dengan seksama.

“Tetsu, lo tau kan kita udah bareng-bareng dari jaman SMA? enam tahun lebih kalo dihitung. Gue udah tau lo orangnya gimana, lo juga udah tau gue orangnya gimana. Baik buruknya gue, lo tau dan lo bisa nerima. Selama ini gue juga begitu ke lo.”

“Dari dulu sampe sekarang, lo temen gue yang paling bisa ngertiin gue.”

Bokuto memainkan jarinya pelan. Tatapannya tertuju ke depan, menatap kemerlip lampu kendaraan di bawah sana.

“Dan kebetulan, akhir-akhir ini gue sadar kalo lo udah gak bisa dianggep temen lagi. I want you more than that. Gue juga tau lo ngerasain hal yang sama.” ucap bokuto.

Bokuto menarik napasnya pelan sebelum melanjutkan perkataannya.

“Banyak hal yang bikin kita berantem, marahan, saling ngatain, dan hal lain yang gak bisa gue sebutin satu per satu. Tapi itu semua udah lewat sampe kita ada di tahap ini sekarang. Jadi daripada buang-buang waktu lagi...”

“Lo mau gak lanjutin ini sama gue sampe nanti? lanjutin hubungan ini ke tingkat lebih dari temen. Lo sebagai orang yang gue miliki seutuhnya dan sebagai orang yang gue sayangi. 'Cause i'm completely in love with you.”

Kuroo terdiam. Pandangannya tertuju pada bokuto yang terlihat gugup dan berusaha menutupinya dengan mengepalkan tangannya.

“Gue bakalan jadi orang paling bahagia kalo lo terima tawaran gue dan mau sama gue.” Bokuto menolehkan kepalanya menghadap kuroo, dan melemparkan senyum tipis.

“Bo...” kuroo terenyuh.

“Lo sama gue aja ya, biar lo gak usah cari orang lain yang suka jemput lo waktu abis ngelab. Lo sama gue aja biar lo gak susah-susah jelasin ke orang kalo lo suka bangun siang.” ucap bokuto.

“Sama gue aja, biar lo gak usah ngasih tau orang tentang diri lo lagi. Lo sama gue aja, yang udah tau kebiasaan lo kalo minum suka lupa diri.”

Bokuto tertawa sesaat. Membuat kuroo teringat kebiasaannya kalau minum dan tidak ingat apapun paginya.

“Lo sama gue aja, biar lo gak usah repot-repot ngasih tau ke orang lain kalo lo gak tahan dingin.” lanjut orang itu.

“Jadi, lo sama gue aja ya? jangan cari orang lain. Cukup gue aja, yang siap lahir batin sama lo.” ucap bokuto final.

Bokuto mengatakan begitu banyak hal tentang perasaannya pada kuroo. Dan hal itu membuat kuroo ingin menangis saat itu juga. Wajahnya memanas, mungkin pipi dan telinganya sudah terlihat memerah sekarang.

Ia tidak menyangka bahwa bokuto bisa berkata hal-hal seperti itu padanya. Karena setahu kuroo, bokuto itu bukanlah tipe orang yang sering mengekspresikan perasaan sayangnya melalui kata-kata. Tapi malam ini, tepat saat ia sendiri ingin membicarakan hal itu dengan bokuto, orang itu malah membuatnya kehabisan kata sendiri dengan tutur manisnya.

Badan dan pikiran kuroo tak kunjung merespon perkataan bokuto. Terlebih saat bokuto mendekatkan badannya ke kuroo, hingga ia bisa merasakan hangatnya badan itu. Ia membeku, bukan karena hawa dingin saat itu, tapi karena wangi bokuto yang seperti candu.

Ia merasakan telapak tangan kanan bokuto menyentuh pipi kirinya perlahan, mengusapnya sayang dengan ibu jari. Ia juga bisa merasakan napas bokuto yang tenang bersamaan dengan wajahnya yang mendekat.

Push me away if you hate it,” bisik bokuto.

Dan hal terakhir yang ia lihat adalah bokuto yang turut memejamkan matanya seraya memangkas jarak di antara mereka. Menyatukan bibir mereka perlahan.

Setelah itu, yang ia rasakan adalah bibir bokuto mengecupnya secara pelan dan pasti. Tidak terlalu menuntut, namun dengan mudah membawanya larut dalam lumatan kecil yang manis dan hangat.

Bokuto menciumnya. Untuk yang kedua kalinya. Kali ini dengan kesadaran penuh. Dan kuroo tidak bisa lebih berterima kasih akan hal itu.

Kenyataan bahwa ia tidak mendorong bokuto, membuatnya tak ambil ragu-ragu. Maka ia balas pagutan bokuto dan semakin memperdalam ciuman mereka. Bokuto mendekatkan badan mereka dengan menarik pinggangnya. Kuroo yang menikmatinya pun mengulurkan kedua tangannya, mengusap rahang tegas bokuto pelan.

Hangat dan manis, pikir kuroo.

Bokuto mencium kuroo dengan tenang dalam durasi yang cukup panjang, hingga ciuman panjang itu berakhir dengan kecupan kecil.

Setelah itu kuroo pun memeluk bokuto, menempatkan dirinya dalam dekapan orang itu. Menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher dan bahu kokoh itu. Sesekali menyesap wangi parfum bokuto yang enggan pergi dari ingatannya.

“Lo harus tau sepengen apa gue ngelakuin hal ini sama lo dari dulu,” ucap kuroo yang masih ada dalam pelukan bokuto.

Mendengar itu bokuto tertawa pelan, sesekali mengusap punggung dan tengkuk kuroo. Rengkuhan itu kemudian dilonggarkan, memaksa kuroo lepas dari badan orang itu. Kuroo pun merasa bokuto memandangnya tepat di maniknya, membuatnya mengangkat alis bingung.

“Jadi gimana? tawaran gue tadi diterima gak?”

Kali ini giliran kuroo yang tertawa pelan, yang dilempari tatapan heran dari laki-laki bersurai kelabu itu.

“Lo ngajak gue pacaran udah kaya ngasih tawaran asuransi anjir,” ucap kuroo.

It sounds promising,”

Bokuto tersenyum tipis. Ia bersandar di mobilnya dengan satu tangan sambil memandangi kuroo.

Kuroo pun teringat bahwasanya ia juga ingin membicarakan hal ini dengan bokuto. Namun bahkan sebelum ia sempat bicara, bokuto sudah memulai topik ini terlebih dahulu.

“Jujur gue juga mau ngomongin ini sama lo tapi malah keduluan lo,”

“Curi start dong gue?” bokuto tertawa pelan.

“Iya..”

“Jadi gimana?”

Kuroo menggigit bibirnya pelan, menahan senyumnya saat memandangi wajah bokuto. Kemudian ia mengalihkan pandangannya ke depan.

“Enggak sekarang, bo.”

“Lah?”

Kuroo beranjak dari posisinya, kemudian berjalan menjauhi bokuto sehingga terdapat sedikit jarak di antara mereka. Ia mengedarkan pandangannya untuk melihat suasana kota di bawah sana.

“Jujur aja gue masih ada yang ganjel,” kata kuroo.

“Kaya ada sesuatu yang nahan gue buat bisa sama lo, dan itu bener-bener bikin gue kepikiran. Kalo ditanya gue mau sama lo? mau lah, gak usah diraguin lagi. Tapi gue belum bisa lega, semacem ada sesuatu yang belum selesai... dan gue kira itu karena masalah kita sama akaashi.”

Kuroo menekankan kata 'kita' di ucapannya.

Bokuto tak kunjung menjawab, dan itu membuat kuroo menolehkan kepalanya ke belakang menghadap orang itu.

“Maaf ya gue malah jadi mikirin akaashi di waktu begini.” ucap kuroo.

Bokuto kemudian juga ikut beranjak dari posisinya, menjauhi mobilnya dan mendekati kuroo. Ia rangkul pelan pundak kuroo dan mengusapnya. “Iya gue paham kok, gak papa..”

Kalau bokuto boleh jujur, ia sendiri sebenarnya sudah tidak ada masalah dengan akaashi. Ia merasa pertemuan mereka terakhir kali sudah membuat semuanya menjadi jelas. Tidak ada perasaan mengganjal sama sekali. Namun jika kuroo begini, mau tak mau ia juga harus bertindak kan?

“Mau ketemu akaashi?”

“Becanda lo?”

“Enggak, serius..” bokuto menyunggingkan senyumnya pelan. “Biar masalah clear, dan lo gak ada hard feeling sama dia.”

Kuroo memandang bokuto skeptis.

“Misal nanti lo disiram air, tenang yang basah bukan cuma lo aja, tapi gue juga. Oke?” bokuto meyakinkan kuroo.

“Lagian udah lumayan lama juga kan?”

Kuroo yang merasa sedikit tenang pun mengangguk, menyetujui penawaran bokuto barusan. Bokuto pun memberitahunya kalau ia yang akan menghubungi akaashi terlebih dahulu sebelum merencanakan pertemuan mereka bertiga.

Setelah itu, bokuto menarik pergelangan tangan kuroo untuk mendekat ke mobilnya. Kemudian mengambil selimut yang entah bagaimana sudah ada di bagasi mobil bokuto. Setelah itu mengajak kuroo untuk menduduki bangku di dekat sana, menghadap ke arah timur.

“Buat sekarang, fokus ke kita dulu. Jawaban lo bisa dipending kapan-kapan.”

Kuroo mengangguk, menuruti perkataan bokuto. Ia sandarkan kepalanya ke pundak bokuto usai laki-laki itu memasangkan selimut untuk mereka berdua.

Kenapa kita gak kaya gini aja dari dulu sih? batin kuroo menggebu. Seandainya saja ia lebih jujur sebelumnya. Andai ia jujur ke bokuto dan dirinya sendiri, ia tidak akan melalui proses panjang dan melelahkan itu.

Namun ia kemudian juga sadar, bahwa proses itu lah yang membuat semuanya berarti. Semua proses jatuh bangun itulah yang membuat ia menyadari arti penting kehadiran orang ini. Ia tertawa pelan saat menyadari kebodohannya sendiri.

“Kenapa kok ketawa?” tanya bokuto yang hanya dijawab gelengan oleh kuroo.

“Bo,” panggil kuroo.

“Iya?”

“Pulangnya mampir ke bubur yang dulu itu ya? ngangenin juga ternyata.”

“Oke..”

Bokuto duduk sambil mengeratkan rengkuhannya di pundak kuroo. Baik selimut dan rengkuhan bokuto, keduanya membuat badan kuroo menghangat. Juga matahari yang mulai menampakkan dirinya di ujung sana.

What a beautiful sunrise.

. . .

© caessonia

Jenga — Truth or Dare


Seperti yang sudah oikawa katakan pada kuroo, bahwa ia sudah mempersiapkan permainan. Jujur saja kuroo tidak tahu apa yang direncanakan oikawa. Jadilah ia hanya kembali ke penginapan bersama bokuto.

Sesampainya di penginapan, ia disambut oleh oikawa yang tiba-tiba menyeretnya masuk. Meninggalkan bokuto di teras penginapan dengan tatapan bingung. Tapi karena bokuto tidak terlalu peduli, akhirnya dia ikut masuk ke ruang itu.

Ruangan yang mereka tempati tidaklah terlalu luas, namun cukup untuk tiga orang meskipun hanya terdapat satu tempat tidur besar.

Di tengahnya, sudah ada beberapa makanan yang oikawa pesan. Jangan lupakan permainan yang tadi ia katakan.

Jenga. Truth or Dare.

Sial, kuroo jadi was-was.

“Oik.” panggil kuroo yang dijawab gumaman oleh oikawa.

“Lo gak aneh-aneh kan?”

“Apaan sih lo suudzon banget,” oikawa tertawa. “Kan dibilang kita mau seneng-seneng.”

Kuroo menghela napas, dan mengedarkan pandangannya ke ruangan itu untuk menemukan bokuto yang sedang mengisi daya ponselnya. Kemudian ia mendekati bokuto untuk mengembalikan jaket yang dipinjamkan bokuto saat di pantai tadi. Setelah itu ia kembali mendekati oikawa.

“Sini bok,” panggil oikawa.

Bokuto pun meninggalkan ponselnya dan bergabung bersama kedua orang lainnya. Akhirnya mereka bertiga duduk dengan posisi melingkari satu susunan balok yang ada di tengah mereka.

Terdapat tiga susunan balok setiap lapisannya. Setiap pemain harus memindahkan satu balok ke susunan paling atas dengan satu tangan. Pemenangnya adalah siapapun yang meletakkan balok terakhir dengan sempurna—tidak merobohkan.

Terdapat tiga jenis balok dalam permainan ini. Warna merah, biasanya memiliki posisi paling aman sehingga jika diambil kecil kemungkinannya untuk roboh. Namun warna ini mengandung 'dare' atau tantangan yang harus dipenuhi oleh pemain yang mengambil. Warna hijau, yang mana mengandung 'truth', jadi jika seseorang mengambil ini ia harus menjawab pertanyaan yang tertera dengan jujur. Dan warna netral —coklat— yang tidak tertera apapun, maka bisa dilanjutkan untuk pemain setelahnya. Jika pemain tidak mau melakukan dare atau menjawab truth, maka pemain tersebut harus mengambil satu balok lagi.

Kuroo memicingkan matanya ke arah oikawa. Ia tatap oikawa yang penuh akal bulus itu. Oikawa yang ditatap? hanya menyunggingkan senyum tidak jelas.

Dan itulah yang membuat kuroo semakin gelisah.

“Yang kalah ntar beresin piring sama bersih-bersih ya.” ucap oikawa.

“Yuk mulai. Gue dulu deh,” ucap bokuto sambil terkekeh.

Kemudian orang itu mengambil balok berwarna hijau paling bawah. Hal itu direspon kuroo dan oikawa dengan antusias. Lantas bokuto membacakan pertanyaan di balok hijau itu.

What scares you the most?

“Apa ya...” bokuto terlihat berpikir.

“Lo takut gak ada makanan di rumah saat lo laper kali ah,” ucap kuroo.

“Betul juga, tapi bukan itu.” sanggah yang bersangkutan.

“Ah, what scares me the most?” ulangnya, “Losing someone, kayanya.”

Hening.

“Mama gue atau kakak gue contohnya. Family first.” Ucap bokuto kemudian. Menuai tawa kikuk dari dua orang lainnya.

“Oke lanjut,”

Setelah itu, giliran kuroo. Posisi mereka yakni oikawa yang ada di sebelah kiri kuroo, dan bokuto yang ada di sebelah kanannya. Urutannya ditentukan searah jarum jam.

Kuroo mengambil balok berwarna netral.

“Anjir, cupu banget.” ucap oikawa.

“Suka-suka gue dong? abis lo mencurigakan gitu..”

“Suka main aman kuroo mah,” ucap bokuto.

Kuroo terkekeh sambil meletakkan balok yang ia ambil di lapisan atas dengan hati-hati.

Kemudian permainan dilanjutkan, giliran oikawa. Ia memasang tampang tengil.

“Nih ya adek-adek, liatin gue. Jadi orang tuh harus berani.” ucapnya sambil mengambil balok warna merah. Menuai cibiran dari dua orang lainnya.

“Apa darenya?” tanya bokuto. Oikawa tidak menjawab.

Tertulis di balok tersebut, Call your crush and tell them you like them.

Kuroo dan bokuto belum-belum sudah histeris tertawa. Mereka tahu kondisi oikawa dengan orang yang ia sukai. Oleh karena itu, tawa mereka semakin kencang.

“Gini amat ya...” ucap oikawa pasrah.

“Ayo kakak, adek-adeknya ini diajarin. Tadi katanya jadi orang harus berani.” sindir bokuto.

“Kalo gue kenapa-kenapa, tolong pas makamin gue puterin lagu kesukaan gue ya.”

“Alah lebay amat cebong, cepetan. Pake loud speaker ya.” ucap kuroo.

“Yaudah iya.”

Kemudian oikawa mengambil ponselnya, dan memanggil orang yang ia sukai selama ini, alias orang yang sudah menggantungkannya berbulan-bulan tanpa kepastian.

Terdengar tiga kali nada sambung, kemudian diangkat. Namun orang itu tidak bersuara.

“Halo? sori nih kalo ganggu..” ucap oikawa, “Gue mau ngomong—”

Beep...Beep...Beep...

Kemudian terdengar suara sambungan telpon yang diputus. Mereka menjadi hening kembali.

“ANJINGG!!!” oikawa emosi.

Kuroo dan bokuto? mereka tertawa hingga terjungkal. Tawanya meledak hingga mengisi penjuru ruangan. Melihat teman mereka yang satu ini dinistakan memberikan hiburan tersendiri.

“Puas lo ngetawain gue?” oikawa jengkel.

“Udah tau dia orangnya tuh suka seenaknya sendiri, tarik ulur gak jelas. Ini lagi ada dare ginian. Siapa sih yang ngide?”

“Kan lo sendiri yang ngide bego,” kuroo menjawab. “Makan tuh dare.”

Oikawa jengkel tapi juga ingin tertawa. Ia malu, tapi momen ini benar-benar membuatnya senang.

“Brengsek”, umpatnya. “Dah ayo lanjut lagi..”

Permainan kemudian dilanjutkan hingga sampai lapisan yang lebih atas daripada tadi. Karena oikawa ini licik, ada saja sesuatu yang direncanakan dari pemikiran —akal bulus—nya itu. Seperti sekarang ini. Semakin tinggi lapisan, makin banyak balok merah dan hijau yang menyusun lapisan itu.

Karena ketiganya larut dalam permainan, mereka tidak menyadari dan tetap melanjutkan saja. Awalnya tidak sadar, namun saat tiga lapisan berturut-turut hanya mengandung balok merah dan hijau, maka mereka menyadari jika pilihan mereka semakin sedikit.

“Jelek banget lo nyusunnya oik,” ucap bokuto sambil mengambil satu balok merah. Oikawa hanya mengedikkan bahunya.

Say something you like and you don't like about person on your left.

Bokuto menggaruk lehernya yang sebenarnya tidak gatal. Bagaimana bisa ia mengatakan itu kepada kuroo?

“Err...”

Kuroo juga menjadi canggung. Ia kemudian mengambil kaleng soda di depannya dan meminumnya agar tidak terlihat terlalu canggung.

“Yang gue suka dari kuroo? jujur banyak sih.”

Jantung kuroo serasa dipacu untuk bekerja dua kali. Hanya dengan ucapan itu saja, ia sudah merasa darahnya mengalir begitu deras.

Kemudian bokuto melanjutkan. “Gue suka dia yang pekerja keras, gak gampang nyerah, dan pendengar yang baik? dia selalu ada buat gue juga.” ucap bokuto.

“Kalo hal yang gak disukain?” tanya oikawa.

“Apa ya...” bokuto bingung. “Gue gak suka kalo dia udah lupa sama diri sendiri, dibilangin ngeyel, suka nyangkal padahal opini dia belum tentu bener. Udah itu sih kayaknya.”

“GUE SETUJU BANGET???” oikawa berkata sambil menunjuk-nunjuk bokuto.

No offense ya bro, love you,” ucap bokuto sambil senyum menghadap kuroo.

Don't say you love me if you don't mean it, you idiot. Batin kuroo.

Namun kuroo menanggapinya dengan tawanya. Little did he know that bokuto was right. Dia membenarkan perkataan bokuto, karena memang itulah faktanya. “Santai..”

“Oke next, gue ya.”

Kuroo mengambil satu balok berwarna merah. Sedari tadi kuroo ini mencari aman terus. Sekalipun ia mengambil balok hijau atau merah, isinya tidak terlalu berbahaya.

Namun, hal itu dipatahkan oleh fakta satu ini. Di balok merah yang barusan ia ambil tertera satu kalimat yang membuatnya ingin berkata kasar.

Remove an item of clothing.

Yap benar. Semakin lama dare yang ada semakin liar. Oikawa memang merencanakan ini.

Sialan, oikawa. Umpat kuroo dalam hati.

“Gue cuma pake kaos satu lapis? dingin anjir. Gak mungkin gue lepas celana.”

“Yaudah sih ambil lagi aja baloknya, jangan cupu.” Ucap oikawa tak acuh.

“Iya ambil aja, daripada lo kedinginan masuk angin.” imbuh bokuto.

“Sialan lo berdua sengaja banget bikin gue kalah ya,”

Ucap kuroo saat melihat lapisan balok yang kian meninggi itu. Lapisan yang akan ia ambil terdiri dari merah dan hijau. Dan posisi dari susunan itu pun sejujurnya mulai riskan.

Akhirnya kuroo mengambil warna hijau.

What's the reason last time you cried?

Wah kalau begitu caranya sih, kuroo mending masuk angin karena kedinginan tadi. Ia malu. Tentu saja ia malu karena alasan ia terakhir kali menangis ada di satu ruangan bersamanya. Siapa lagi kalau bukan bokuto koutarou.

“Perlu gue jawab gak?”

“Perlu dong,” jawab oikawa.

Bokuto sudah ada firasat tidak enak. Ia menatap kuroo dengan harap-harap cemas.

“Oke... karena patah hati kali ya?” kuroo menjawab dengan enteng.

Kan, batin bokuto. Hati bokuto jadi sedikit nyeri mendengarnya. Ia jadi tidak tahu apa yang ingin ia katakan. Semuanya terasa tersangkut di tenggorokannya.

Rasa bersalah? tentu ada. masih sangat terasa malah. Oleh karena itu, ia hanya diam dan tidak menanggapi.

“Tapi sekarang gimana?” tanya oikawa.

“Sekarang udah biasa aja sih. Santai gue mah.” imbuhnya.

Kuroo kemudian tertawa dan mengambil makanan yang sekarang sudah tinggal sisa.

“Udah ah, lanjut.” ucap kuroo.

Sekarang giliran oikawa. “Gue ambil nih ya,” ucapnya sambil mengambil satu balok merah.

“Wew.”

“Apaan?” tanya kuroo.

Kiss the person on your right.

Oikawa tersenyum licik. Kuroo terdiam. Bokuto juga terdiam. Inilah rencana dari oikawa.

“Oik lo gak serius kan?” kuroo bertanya waspada.

Dare-nya begitu. Sini lo..” kemudian oikawa mendekati kuroo yang masih menatapnya tidak percaya.

Dicium bokuto? oke lah kuroo masih bisa terima karena bokuto adalah orang yang ia sukai lahir batin. Tapi dicium oikawa? kuroo hilang kata-kata.

Tapi karena kuroo ini sudah tidak peduli lagi, maka dibiarkanlah oikawa melakukan hal yang ia mau.

Kuroo merasakan kedua tangan oikawa menangkup wajahnya. Hangat rasanya. Ia juga merasakan ibu jari oikawa yang mengusap pipinya pelan. Hal yang terakhir kali ia lihat adalah oikawa yang mencondongkan wajahnya mendekat.

Namun yang ia rasakan adalah kecupan di kedua pipinya, dahinya, dahinya, dan hidungnya. Ia tidak merasakan kecupan di bibirnya.

Setelah itu keduanya membuka mata.

“Wow.. gue kira mau cium bibir gue anjir.” ucap kuroo.

“Gak, lo bau kelabang.”

“Anjing!” umpat kuroo.

“Becanda, ganteng. Gue gak bakal ambil apa yang bukan buat gue kok, tenang aja.” ucap oikawa.

Keduanya kemudian tertawa. Kuroo sangat lega. Pun juga oikawa yang diam-diam memperhatikan bokuto di samping mereka.

Iya, bokuto tidak memberikan reaksi. Ia hanya diam melihat dua orang tadi.

“Bok?” panggil oikawa.

Tidak ada jawaban dari yang bersangkutan. Kuroo dan oikawa saling menatap bingung.

“Bo?” ucap kuroo sambil menyentuh lengan bokuto pelan. Menyadarkan bokuto yang seperti kehilangan akal sehatnya.

“Eh iya? Gimana?”

“Sekarang giliran lo.” ucap kuroo.

Bokuto hanya menganggukkan kepalanya. Ia merasa kehilangan akal sehat saat melihat oikawa mencium kuroo. Meskipun tidak tepat di bibir, tapi tetap saja. Ia tidak enak hati. Ia cemburu.

“Oke gue ya...”

Sekarang giliran bokuto untuk mengambil balok. Namun hal yang tidak terduga terjadi. Saat bokuto mengambil salah satu balok berwarna hijau, susunan balok yang menjulang itu roboh. Semua balok-balok pun berceceran di lantai ruangan itu.

“Woops— sorry,” bokuto meringis.

“Kalah dong gue ya?”

“Asik bersih-bersih,” oikawa mengejek bokuto yang hanya dijawab umpatan dari orang itu.

Oikawa dan kuroo tertawa. Tentu saja bokuto kalah, karena dia telah merobohkan susunan balok itu. Mereka juga bisa melihat betul semenjak kejadian tentang jawaban kuroo dan perlakuan oikawa tadi, bokuto sudah tidak bisa fokus.

Kemudian kuroo melihat balok hijau di samping bokuto yang tadi telah diambil oleh orang itu. Dan pada saat itulah kuroo bersyukur susunan balok dirobohkan oleh bokuto sehingga bokuto tidak harus menjawab pertanyaan itu.

Whom do you love the most?

Ia bersyukur, karena kuroo tidak mau patah hati untuk yang kedua kalinya jika jawaban dari bokuto bukanlah dirinya.

Take Care


Sejujurnya kuroo tidak tahu apa yang dipikirkan bokuto saat ini. Ia hanya terlarut dalam keheningan singkat yang menyelimuti mereka berdua. Pikirannya campur aduk, namun ia sadar jika semuanya terpusat pada satu orang, bokuto koutarou.

Sejak ia membuang harga diri dan gengsinya jauh-jauh, kemudian mengutarakan perasaannya pada bokuto, ia ada di kondisi seperti itu. Bokuto tadinya sempat meragukan dan ingin membantah semua pengakuan kuroo, namun laki-laki itu mengurungkan niatnya saat pandangnya bertemu dengan kuroo.

Kuroo benar-benar serius.

Oleh karena itu bokuto pun tidak serta-merta menanggapi. Yang ia lakukan hanya diam, sesekali menghela napas pelan, berharap agar dadanya sedikit menjadi ringan sembari ia menata pikiran. Pandangannya pun sudah tidak mengarah ke kuroo, melainkan ke langit malam yang berawan itu.

“Gue—”

Bokuto memusatkan perhatiannya ke kuroo yang baru saja buka mulut.

“Gue serius, bokuto..”

“Sejak kapan?” tanya bokuto memastikan lagi.

“Gak tau,”

Bokuto mengangguk-angguk paham, tapi masih ada keraguan yang tersirat di kedua maniknya. Lantas ia biarkan kuroo melanjutkan apa yang ingin ia katakan, untuk menjawab semua keraguan itu.

“Kalo lo tanya kapan, gue gak tau pasti. Yang gue tau, gue ini telat sadar. And it was my fault.”

“Lo tau bo.. karena lo kebiasaan ada di samping gue, itu semua gak terlalu kerasa. Tapi waktu lo gak ada, hampanya baru nyiksa..”

“Tets—”

“Dengerin dulu,”

“Gue awalnya biasa aja, gue masih anggep lo temen deket sampe kaya lo bagian dari gue. Dan saat lo mulai gak ada karena kegiatan lo, gue ngerasa kosong. Waktu itu gue masih mikir kalo gue begitu bukan karena gue suka sama lo, tapi cuma kebiasaan sama lo yang selalu ada buat gue dalam kondisi apapun.”

Kuroo menghirup napas panjang setelahnya. Mengatakan ini secara gamblang benar-benar membuat energinya terkuras.

“Serius gue biasa aja, karena gue tau kalo lo bakalan balik lagi ke gue. Gue sakitin, lo balik lagi. Gue tolak, lo balik lagi buat gue. But there's this turning point, di mana ada kemungkinan lo gak bakal balik karena udah ada orang lain...”

”... di situ gue tau sesuatu, gimana sakitnya waktu liat lo ketawa sama orang lain. Dan itu cukup buat nyadarin gue, kalo gue ini suka sama lo, bokuto.”

Bokuto dan kuroo sudah melupakan minuman yang sekarang sudah mulai mendingin. Ia menatap kuroo, yang malah berpaling menghindari tatapannya. Kuroo yang sedang mengutarakan apa yang ia rasakan sambil menatap lurus ke depan. Tidak ingin terlalu terlihat gugup, padahal dadanya meletup-letup.

The day after, it felt like hell,” ucap kuroo.

“Salah gue juga dulu nolak lo, nganggep kalo rasa lo bakalan ilang seiring waktu. Gue dulu mikir gitu. Sampe akhirnya lo ilang rasa beneran, dan saat itu gue yang jadi uring-uringan.”

Bokuto masih belum membuka mulutnya, ia masih mau menyimak apa yang dikatakan oleh kuroo. Kuroo sendiri masih belum selesai. Masih banyak yang akan ia sampaikan, masih banyak yang harus diketahui oleh bokuto.

“Gue sayang sama lo, bokuto. Dan kali ini rasa sayang gue bukan cuma sebagai temen,”

“Kalau nyangkut lo, semua hal gak penting lagi buat gue. Gue gak peduli sama alisa yang tiba-tiba lo bawa ke obrolan kita. Gue gak peduli sama yang lain, it's only you...”

“Asal lo tau, beberapa hari ini gue kesiksa karena tau saat pikiran gue penuh sama lo, pikiran lo penuh sama orang lain..”

Kuroo serasa meledak. Semua yang ia pendam selama ini ia keluarkan habis-habisan. Ia tak boleh menahannya. Tak boleh lagi ada yang tersisa.

That's it. Intinya, gue sayang sama lo and i want you back.”

Bokuto yang ada di samping kuroo hanya diam. Sesaat setelah kuroo mengatakan hal itu, pandangannya kembali ke arah lain. Ia tidak tahu bagaimana cara menanggapi. Tepatnya ia tidak tahu bagaimana cara menanggapi kuroo, yang menganggapnya sudah hilang rasa. Ia tidak tahu, ia merasa bodoh.

Dalam hidup bokuto, ia tidak pernah meragu akan beberapa hal seperti ini. Tapi satu hal ini bisa membuatnya jungkir balik dalam menentukan langkah dan keputusan yang akan ia ambil. Ia masih tidak bisa memberikan tanggapan yang tepat. Oleh karena itu, ia hanya mendengarkan pengakuan kuroo tanpa menanggapinya dengan cepat.

Dada kuroo terasa berat karena melihat bokuto yang tak kunjung memberi respon. Pun dada bokuto yang sama beratnya mendapat pengakuan seperti itu dari orang di sampingnya.

Bo, say something, please?

Dan tepat saat kuroo berkata seperti itu, pintu hati bokuto serasa didobrak secara kasar dan tiba-tiba.

Demi apapun di dunia ini, jika ia bisa memeluk kuroo, maka akan ia lakukan sekarang juga. Akan ia rengkuh tubuh orang di sampingnya itu dan menenggelamkannya dalam satu dekapan.

Namun, sesuatu menahannya. There's something holding him back.

Karena sesuatu itu lah, ia tidak melakukan keinginan dari lubuk hatinya. Ia tidak menarik kuroo ke dalam dekapnya. Ia tidak menjadi miliknya seutuhnya.

“Kuroo...”

Kuroo tidak menengok ke arah bokuto. Ia masih belum mampu melihat ekspresi dari bokuto setelah ia mengungkapkan semua rahasia kotornya itu.

“Tetsu, liat gue..” ucap bokuto.

Akhirnya kuroo pun luluh, dan menatap bokuto dengan keberanian yang tersisa. Namun saat pandangan mereka bertemu, bokuto malah bungkam. Yang bokuto lakukan hanya menarik telapak tangan kuroo, dan meletakkannya di dadanya sendiri.

“Coba lo rasain.”

Kuroo merasakannya, degup jantung yang sama. Sama seperti degup jantung yang ia miliki saat ini. Degup jantung yang menggebu.

“Lo serius?”

Dari situ, sebenarnya kuroo sedikit mendapat harapan. Jujur saja, ia sekarang seperti sedang mengharapkan sesuatu yang sulit ia dapatkan.

Ia berharap bahwa bokuto masih ada rasa untuknya. Ia berharap di dalam hati bokuto, masih ada sesuatu yang menetap darinya. Ia berharap, bahwa ia dan bokuto setidaknya bisa saling merajut asa.

Namun bokuto tidak menjawab. Ia hanya memberikan hanya tatapan sedih dengan senyuman yang dipaksakan, yang membuat perut kuroo langsung mencelos saat itu juga. Sepertinya realitanya tidak sesuai dengan harapannya. Oleh karena itu, ia pastikan sekali lagi.

“Bisa gak kita kaya dulu lagi? when there’s only you and me, please?

“Lo tau tetsu, ini tuh definisi dari orang yang tepat di waktu yang salah.”

“Kalo gue bisa, gue sekarang bakalan meluk lo. Gue bakalan ngasih semua dari gue buat lo. Gue bakalan jadi sepenuhnya punya lo.” ucap bokuto.

Perut kuroo semakin tidak enak. Tenggorokannya tercekat. Matanya memanas.

Please don't, ucap kuroo dalam hati.

“Gue bertaruh demi hidup gue, gue mau ngelakuin semua itu. Tapi gue gak bisa, tetsu...”

”... 'Cause i'm already someone else's.”

Percayalah, kuroo tidak menangis. Ia hanya merasakan perutnya yang mencelos dan kepalanya yang serasa dihantam benda besar yang tumpul.

“Terus malem itu apa? kenapa lo mau ngelakuin itu ke gue kalo lo ngerasa sebersalah ini ke pacar lo sekarang?”

I told you it was a mistake. Gue ngaku gue yang sembrono, gue yang paling bisa disalahin atas kejadian itu. Dan gue janji gak bakal ngulangin itu lagi.”

Bokuto sangat menyayangkan semua yang terjadi. Kalau saja kuroo tidak telat sadar. Kalau saja ia bisa menunggu sebentar lagi, setidaknya hingga kuroo sadar. Kalau saja ia tidak gegabah. Kalau sudah begini, pilihan yang ia miliki terbatas.

“Kalau aja saat ini status gue masih kaya dulu, gue bakalan jadi orang paling bahagia malem ini, tetsu.”

Kuroo menatapnya lelah, pandangannya mulai tidak fokus.

“Gue bakal seneng banget saat tau rasa lo ke gue. Apalagi saat gue sekarang jadi seseorang yang menuhin isi kepala lo. Tapi gue rasa, gue gak berhak dapet kebahagiaan itu, setelah apa yang gue lakuin ke lo...”

“Dan gue gak bisa jadi bajingan buat semua orang, tetsu. Cukup gue jadi bajingan buat lo aja. Jangan sampe akaashi juga jadi korban dari gue.”

“Jadi maksud lo, kita ini emang gak bisa?” kuroo memastikan lagi.

“Iya, kita gak bisa, tetsu.”

“Bukan karena rasa gue ke lo udah gak ada, trust me itu bakalan terus ada. Tapi karena gue juga gak bisa nyakitin hati orang lain.” lanjut bokuto.

“Lo pikir lo gak nyakitin gue sekarang?”

“Maaf, maaf banget. Tapi lo layak dapet orang yang beneran baik buat lo. Orang yang gak nyakitin dan mainin lo terus-terusan. Orang yang gak bikin lo kepikiran sampe lupa makan. Orang yang gak ngelakuin kesalahan berulang,”

Bokuto menepuk pundak kuroo pelan, sesekali mengusapnya.

“Dan gue pikir, orang baik itu bukan gue. Gue mungkin bisa jadi temen yang baik buat lo, tapi enggak kalau yang lain. Gue gak mau nyakitin lo lagi.”

Ah, jadi begini rasanya ditolak.

Okay...” jawab kuroo sambil menggigit bibirnya, “good to know,

Kuroo tidak bisa menahan lagi. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. Ia paham sekarang. Ia paham kalau ia harus cepat-cepat pergi dari tempat itu sebelum ia sendiri meledak.

“Kalau gitu, karena semuanya udah clear, udahan aja. Gue mau pulang dulu.”

Jadilah ia berdiri dari tempatnya, membereskan barang-barang yang ia bawa tadi, kemudian beranjak untuk pergi dari balkon kamar itu.

Namun sebelum kepergiannya, sebuah tangan menahan pergelangannya. Bokuto menahannya, seolah memintanya untuk tetap tinggal.

Don't make me stay, bo. Kecuali lo emang niat buat balik ke gue,”

Sorry...” ucap bokuto sambil melepaskan genggamannya.

Please, don't be.

“Lo tenang aja, abis ini gue bakalan biasa aja kok. Karena semua udah jelas, lo nolak gue, jadi gue udah tau apa yang harus gue lakuin,” ucap kuroo final.

Bokuto tidak menjawab. Lantas kuroo menepuk pundaknya dan berkata,

“Gue pamit dulu. Take care.

The Reason


Today is the day.

Hari di mana kuroo akan bertemu dan berbicara dengan bokuto mengenai masalah yang sedang terjadi. Ia sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya, ia tak mau ambil pusing. Apapun yang ada di benaknya, mungkin akan ia utarakan. Ia ingin semuanya ini jelas.

Karena bokuto pun sudah berniat jujur kepadanya, maka ia terimalah ajakan bokuto. Ia tidak mau bokuto datang ke tempatnya, jadi ia sendiri menawarkan untuk datang ke rumah yang bersangkutan.

Alasannya? simple saja. Seandainya terjadi sesuatu yang tidak ia inginkan, ia lah yang akan angkat kaki.

Maka tibalah ia di sini, di depan rumah bokuto yang dulu selalu ia singgahi paling tidak dua kali dalam seminggu. Di kedua tangannya sudah ada dua bungkusan tas kecil. Jadi sebelum sampai tempat tujuan, kuroo berinisiatif memberikan oleh-oleh kecil untuk mama dan kakak perempuan bokuto. Setelah itu, masuklah ia ke dalam rumah itu dan disambut oleh dua orang yang ia rindukan. Kakak perempuan bokuto dan mamanya.

Terjadilah percakapan singkat antara mereka, sekadar berpelukan dan bertegur sapa, serta saling menanyakan kabar. Setelah beberapa saat mengobrol dengan dua orang itu, kuroo dipersilakan untuk menuju kamar orang yang ingin ia temui.

Jadi di sinilah ia, di depan kamar bokuto. Jantungnya serasa mau berpindah dari tempatnya, saking menggebu-gebunya. Ia kepalkan tangannya yang agak gemetar itu, lalu mengarahkannya ke pintu putih yang membatasi ruangnya dengan bokuto.

Ia ketuk pintu itu tiga kali. Tak ada jawaban untuk beberapa saat dan itu membuat kuroo semakin gusar.

“Bokuto, lo di dalem?” ucapnya sambil mengetuk pintu lagi.

“Iya, masuk aja...” jawab seseorang dari dalam kamar.

Good god, please go easy on me, batin kuroo.

Karena sudah dipersilahkan, kuroo segera masuk ke kamar tersebut dan menemukan bokuto yang sedang akan berdiri menyambutnya. Ia lihat bokuto mengeringkan rambutnya yang setengah basah. Sudah jelas bahwa orang itu baru saja selesai mandi.

Tatapan mereka bertemu, dan itu membuat kuroo membeku seketika di tempatnya.

“Masuk dulu aja, gue ambilin minum bentar..”

Bokuto melewati kuroo, sambil menepuk pundaknya pelan. Kuroo yang seolah disadarkan dari hipnotis, segera kembali ke kesadarannya. Aroma tubuh laki-laki bersurai kelabu itu memaksa masuk ke indera penciumannya. Sangat menenangkan.

Ia langkahkan kakinya masuk ke kamar itu, kamar yang menjadi saksi bisu awal mula semua hal antara ia dan bokuto bisa terjadi.

Matanya tertuju pada balkon ruangan yang menghadap ke halaman belakang rumah. Suasananya sangat sepi, cocok untuk mengobrol tanpa ada gangguan.

Lantas ia langkahkan kakinya ke balkon itu, kemudian mendudukkan dirinya di satu kursi di sana. Mematikan ponselnya, karena ia sendiri tidak mau ada interupsi. Semua harus jelas, semua harus tuntas.

Setelah beberapa saat menunggu, bokuto muncul dengan dua cangkir kopi susu di tangannya. Ia ulungkan salah satunya ke kuroo, kemudian mendudukkan dirinya di sebelah kuroo.

“Udah makan?”

Kuroo menggeleng. Memang benar ia belum makan sebelum ke sini tadi. Mana sempat? pikirnya. Ia terlalu sibuk memikirkan tentang semua ini, hingga perutnya menolak untuk diisi.

“Sip, mama masak di bawah. Nanti makan dulu ya?”

Hanya dijawab gumaman rancu oleh kuroo, antara ya dan tidak. Ia masih asik melihat halaman belakang rumah bokuto, tepatnya ke kolam ikan kecil di bawah dengan suara pancuran air yang mengisi keheningan mereka.

“Katanya kangen gue, tapi yang diliatin malah ikan koi.”

Kuroo merasa seperti tersambar petir.

“Paan sih lo bok,” kuroo salah tingkah sendiri. Bokuto malah nyengir tipis sambil tertawa.

“Tetsu...” panggil bokuto, dan hanya dijawab gumaman oleh yang lawan bicaranya.

Dan lagi. mendengar bokuto menyebut namanya seperti itu secara langsung, membuat jantungnya terpacu kembali.

“Gue ini rese ya?” tanya bokuto yang berhasil mengalihkan perhatian kuroo.

Manik mereka bertemu. Dan ekspresi yang kuroo temui adalah ekspresi yang tidak bisa ia definisikan. Air muka bokuto seolah-olah menampilkan emosi, kesedihan, dan ketakutan. Ia tidak tahu pasti.

“Tetsu, maafin gue ya. Gue minta maaf udah bohong sama lo selama ini,” ucap bokuto pelan.

Wow, bokuto langsung to the point saja. Kuroo pikir, bokuto akan basa-basi terlebih dahulu, nyatanya laki-laki itu malah langsung berbicara tepat sasaran tanpa mengulur lagi.

Sebenarnya kuroo pun ingin menjawab perkataan bokuto tadi, namun ia urungkan niatnya saat bokuto mulai meneruskan apa yang sudah mulai.

“Gue bohong ke lo tentang malem itu. Remember that night?” tanya bokuto.

“Waktu lo tanya ke gue, gue bilang kalau gak kejadian apa-apa.” ucap bokuto, “—padahal nyatanya ada. Something bad happened and i think i couldn't fix it.

Suaranya terdengar getir dan sedikit gemetar. Kuroo bisa melihat ketakutan terselip di antara kata-kata yang diucapkan oleh bokuto.

“Gue minta maaf banget, tetsu. Tolong maafin gue yang brengsek ini, walaupun gue tau itu susah...” ucap bokuto yang lebih terdengar seperti memohon.

Kuroo yang tidak segera menjawab pun membuat bokuto harap-harap cemas. Ia menggerakkan kakinya berulang. Ini adalah kebiasaan bokuto saat ia gelisah, kuroo tau betul tentang itu.

“Lo boleh kalo mau nonjok muka gue sekarang juga, i deserve it anyway,

“Bok..”

“Gak seharusnya gue ngelakuin itu ke lo—”

“Bokuto!”

Bokuto sedikit tersentak lantaran suara kuroo yang memanggil namanya dengan nada tinggi. Lantas ia angkat kepalanya yang daritadi menunduk itu untuk menemui raut wajah kuroo yang tidak dapat ia tebak.

“Kalem bok,” ucap kuroo sambil menepuk kaki bokuto pelan, mengusapnya agar setidaknya menenangkan orang di sampingnya. Ia ingin semuanya berjalan secara pelan dan jelas, tidak perlu terburu-buru.

“Gue gak keberatan,” ucap kuroo jujur. Ia mengangguk ke bokuto setelah mengucapkan itu seolah ia meyakinkan sang lawan bicara.

“Gak tetsu, lo gak tau apa yang lo omongin.”

Beginilah rasanya jika sesuatu yang kamu rasakan malah diragukan orang lain. Apapun yang kamu pertaruhkan, tidak dianggap benar-benar terjadi oleh orang lain. Ini lah yang dirasakan kuroo, dan itu membuat dirinya merasa jengkel. Berkebalikan dengan keinginannya yang tadi, yang ingin ini semua berjalan pelan dan tenang.

Padahal kuroo sudah membuang harga dirinya jauh-jauh dari sini, ia sudah meninggalkan harga dirinya entah di mana. Tapi yang ia dapat hanya rasa tidak percaya dari bokuto.

Dan apa ini? malah bokuto yang menjadi denial.

I'm sorry, it was a mistake.” ucap bokuto.

“Apa yang bikin lo mikir begitu sih bok?”

Bokuto terlihat menggigit bibirnya sekali-kali. Mengalihkan pandangannya ke arah lain. Terlihat jelas sedang berusaha mengurangi kegugupannya, padahal yang terjadi malah sebaliknya.

“Lo...”

“Gue?”

“Iya. sekarang gue balik tanya ke lo,” ucap bokuto, “Lo sadar gak sih waktu kita ngelakuin itu?”

Kuroo tidak menjawab. Kalau boleh jujur, sebenarnya kuroo tidak sepenuhnya sadar. Jika bukan karena oikawa yang memberitahunya, kemungkinan besar ia tidak akan ingat. Mungkin ingat, tapi ia hanya akan berpikir kalau itu adalah mimpi atau tidak akan mengungkit itu lagi. Ia setengah sadar, ia tidak tahu betul apa yang ia lakukan malam itu, yang ia tahu hanya ada bokuto.

Apapun yang terjadi, jika itu dengan bokuto, ia tidak keberatan.

Walaupun ia pada awalnya menyangkalnya habis-habisan, akhirnya ia bisa berdamai dengan diri sendiri. Perlu diketahui bahwa seliar-liarnya kuroo, ia tidak akan sembarangan mencium orang waktu mabuk. Jadi apapun itu, asal dengan bokuto, ia tidak masalah.

Baru saja kuroo mau membuka mulut, bokuto menyelanya. Memberikan beberapa spekulasi pribadinya yang membuat ini semua semakin runyam.

“Kalo lo gak sadar, gue yakin itu pasti kesalahan. And i'm the one to blame,” ucap bokuto.

“Kalo gue sadar gimana?” kuroo berbohong.

“Kalo lo sadar tapi lo ngelakuin itu tanpa maksud apapun, itu lo yang jahat ke gue, tetsu.”

“Gue juga mikir bisa aja waktu itu cuma lagi pas. Situasinya pas, timingnya pas, dan lo yang lagi pas 'kosong'. Bisa aja lo ngelakuin itu tanpa maksud. Bisa aja lo cuma main-main atau coba-coba,”

”....atau bisa aja lo cuma jadiin gue pelarian abis putus.”

“Bentar, lo tau dari mana gue putus?”

“Maaf, gue kemarin ketemu oikawa. Dia ngasih tau gue semuanya,”

Fuck...”

“Lo kenapa gak ngasih tau gue, tetsu?” tanya bokuto yang terkesan menuntut.

Kuroo diam sejenak sembari mengumpulkan kata-kata untuk menyampaikan sesuatu yang dari dulu memenuhi pikirannya.

“Gimana bisa gue ngasih tau lo saat lo sendiri masih asik sama gebetan lo? Saat lo suka main mata sama dia di shelter, padahal jelas-jelas ada gue di sana? Dan saat lo haha-hihi sama dia pergi entah ke mana?”

Mata bokuto melebar, namun ia tidak menjawab. Ia tahu bahwa saat itu ia memang sedang brengsek-brengseknya, tanpa ia sadari tentunya.

“Ngasih tau lo pas itu bakalan bikin gue keliatan menyedihkan, dan gue gak mau itu...”

“Lo kalo jadi gue gimana bok?” tanya kuroo.

“Gimana gue tanya?”

Semua pertanyaan-pertanyaan itu menyerang bokuto tepat di jantungnya, seolah memicu jantungnya untuk berpacu lebih cepat. Lupakan tentang pembicaraan yang tenang, karena keduanya sudah tersulut emosi.

Right, sorry...

Bokuto tidak menjawab pertanyaan kuroo. Alih-alih menjawab, ia hanya mengucap kata maaf yang repetitif. Dan hal itu membuat kuroo mulai jengah dengan keadaan ini.

Keduanya diam untuk beberapa saat, saling larut pada pikiran masing-masing. Ia sesap kopi susu yang tadi dibawakan oleh bokuto sambil menunggu dirinya sendiri tenang.

Screw it, simpen aja kata-kata maaf lo,”

“Balik lagi ke topik tadi,” ucap kuroo.

“Jadi lo mikir kalo gue ngelakuin itu tanpa sadar?” tanya kuroo.

“Atau misal gue sadar pas ngelakuin itu dan tanpa maksud apapun, itu karena gue jadiin lo pelarian?”

Bokuto mengangguk pelan. Jujur saja hal itu memenuhi isi kepala bokuto beberapa waktu ini. Bahkan tadi pagi ia sempat terpikirkan oleh hal ini lagi. Seolah-olah semua ini mengikutinya, menghantuinya, dan membekas di pikirannya.

Kuroo menghela napasnya berat. Ia harus meluruskan semuanya.

“Gue tegasin lagi, anggapan lo semua itu gak bener, Bo.”

“Terus yang bener gimana? kasih gue kejelasan tetsu, please.”

“Jujur aja gue waktu itu setengah sadar. Gue juga mesti kebawa suasana, dan pas itu gue tau kalo itu lo. Yah walaupun paginya gue lupa, tapi sekarang gue inget dan i'm totally fine with that,”

You must be joking right now...

“Bokuto, lo tuh sadar gak sih kalo gue suka sama lo?”

“Hah?”

Bokuto dikejutkan dengan pengakuan kuroo yang tiba-tiba. Memang benar jika beberapa waktu lalu oikawa sudah memberitahunya. Tapi itu tidak serta merta membuatnya percaya. Oleh karena itu ia habiskan waktunya untuk memikirkan itu semua. Dan pemikiran tentang kuroo yang menjadikannya pelarian, menggerogotinya secara perlahan.

Kuroo pun tak mengira kata-kata itu akan lolos dari bibirnya. Ia sama sekali tidak merencanakan apapun malam ini. Ia hanya akan mengikuti alur, dan alur itu membawanya ke tahap ini. Jadi karena sudah basah, ia berpikiran untuk sekalian menyelam saja. Go big or go home, pikir kuroo.

“Gue suka sama lo. Gue kangen banget sama lo. Dan gue gak masalah ngelakuin apapun, kalo itu sama lo.”

You didn't mean it, right?

No, i did. Gue sekarang sober, dan gue serius sama apa yang gue bilang barusan.”

“Gue sayang sama lo bokuto, banget...” kata kuroo sambil tertawa pelan dengan pandangan ke bawah, mengarah pada minuman yang dibawakan bokuto.

“Sesayang itu sampe gue rela ngelakuin apapun sama lo atau demi lo, bok.”

Dan di sinilah kuroo, yang akan mengutarakan semua yang ada di benaknya pada bokuto. Ia sudah terlampau lelah, ia sudah tidak mau apapun lagi. Karena yang ia inginkan hanya satu, dan siapapun pasti tau apa yang kuroo mau. He has nothing to lose anyway.

“Jadi bokuto... mau gue ngelakuin hal bejat kek, hal kotor, baik, konyol sekalipun. Mau kondisi gue sadar atau gak sadar...” ucap kuroo menggantung.

”...asal itu sama lo, gue gak akan keberatan.”

“Kenapa?”

Because you are the reason i never think twice.

Peluang


Hari berlalu begitu cepat, batin bokuto. Begitulah anggapannya saat ia kini berakhir di depan cafe yang ia tuju. Ia melangkahkan kakinya menuju satu bangunan berwarna putih di depannya. Ia buka pintu depan dan menemukan oikawa sedang duduk di pojokan, dengan segala barang-barangnya yang memenuhi meja.

Bokuto mendekat ke tempat duduk oikawa dan membuat yang bersangkutan mengalihkan perhatiannya, yang sebelumnya tertuju ke laptopnya menjadi ke dirinya.

“Lah udah sampe lo,” kata oikawa.

“Iya,” ucap bokuto sambil duduk dan meletakkan barang-barangnya.

“Abis dari latihan tadi langsung ke sini,” lanjutnya.

“Lah?”

“Santai, gue udah mandi selesai latihan tadi.” kata bokuto.

“Kok masih bau asem..”

“Sembarangan kalo ngomong,”

Oikawa tertawa lepas. Bohong kalau bokuto bau asem, yang ada kini hanya wangi yang khas dari seorang bokuto koutarou.

Setelah itu, oikawa menawarkan bokuto untuk memesan makanan atau minuman dulu ke meja resepsionis yang ada di sisi lain ruangan. Bokuto yang memang dasarnya cukup haus pun langsung mengiyakan tawaran. Ia lihat waktu di ponselnya, kemudian meletakkan ponsel tersebut di atas meja.

Oikawa menatap bokuto yang berjalan menjauhi meja mereka, namun dengan segera perhatiannya teralihkan oleh layar ponsel bokuto yang menyala dan menampilkan beberapa notifikasi pesan masuk. Karena jaraknya yang tidak jauh, ia dapat melihat dari siapa pesan tersebut. Terpampang nama yang tak asing lagi baginya, jadi ia tidak heran. Namun ada satu hal yang membuatnya heran bukan main.

Saat bokuto kembali dari tempat memesan, lantas ia mengutarakan apa yang mengganggu pikirannya dari tadi.

“Bok, sadis juga ya lo masih pasang foto sama kuroo pas lagi sayang-sayangan sama pacar lo,”

Bokuto memasang tampang bingung karena tidak paham mengapa oikawa berkata demikian.

“Ada chat masuk tuh dari akaashi, sorry tadi gak sengaja ngeliat.”

“Oh iya,” kata bokuto sambil mendudukkan dirinya.

Bokuto bungkam, tidak menjawab apa yang dikatakan oleh oikawa sebelumnya. Ia menilik layar ponselnya yang terkunci, menampilkan fotonya berdua dengan kuroo saat masih jaman-jaman jadi mahasiswa baru. Sebenarnya itu sudah lama menjadi lockscreen ponselnya, dia sendiri malas mengganti karena sudah terbiasa dengan foto itu tiap pagi saat ia membuka ponsel.

Bokuto membalas pesan dari akaashi dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak. Mereka dilanda keheningan untuk beberapa saat, hingga minuman yang bokuto pesan sudah tiba. Lantas ia ucapkan terima kasih kepada pramusaji dan segera menyesap minuman panas di depannya itu.

“Jadi gimana nasib love life lo yang payah itu bok?”

Ugh—”

Bokuto tersedak. Ia menghentikan kegiatannya sejenak dan menatap oikawa.

“Hmm...”

“Lo katanya butuh temen ngobrol, segitu desperatenya ya?” tanya oikawa sedikit mengejek agar bisa menghilangkan kecanggungan yang tiba-tiba ada di antara mereka. Bokuto yang mendengarnya hanya tertawa pelan. Ia sisir rambutnya yang jatuh itu ke belakang dengan tangan kirinya dan mengusap lehernya pelan.

“Jujur gue bingung mau mulai dari mana. Lo kan udah tau semuanya, oik?”

“Iya gue tau kok, cuman gue kan taunya dari sisi kuroo. Makanya gue ada di sini, buat dengerin dari sisi lo.” kata oikawa.

Bokuto ini seharusnya sangat bersyukur memiliki kawan seperti oikawa. Dari segala permasalahan yang ada, oikawa tidak memihak salah satu dari mereka. Ia benar-benar ada untuk keduanya. Ia teringat saat oikawa mau meemaninya berjalan-jalan pukul 1 malam, saat ia merasa kesepian karena kuroo tidak ada. Ia harusnya sangat bersyukur.

Karena hal itu lah, saat ini bokuto ingin mengutarakan semuanya pada kawannya satu itu agar ia mendapat saran. Ia mulai menceritakan semua yang terjadi secara detail antara ia dan kuroo, dari sudut pandangnya. Pertama dimulai dari ia yang mengaku kalau ia memang menyukai kuroo. Deeply and madly in love with him. Ia bilang ia sendiri tidak tahu kapan ia mulai punya rasa ke kuroo. Tapi hal yang ia tahu pasti adalah kuroo menjadi satu-satunya seseorang yang menjadi 'zona nyaman' baginya. Oleh karena itu, saat ia akan dikenalkan oleh alisa, ia tolak mentah-mentah. Ia tolak alisa karena ia masih asik dengan dunianya yang isinya hanya ia sendiri dan kuroo, yah walaupun oikawa juga sering ikut terlibat. Tapi tak dikira olehnya kuroo yang malah berbalik punggung menjauhinya.

“Kalau diliat-liat, kuroo waktu itu ngeselin juga ya bok. Gue heran sih kok lo bisa tahan.” ucap oikawa sambil memakan makanan yang telah ia pesan sebelum bokuto datang.

“Gimana ya, dia kan posisinya gak tau. Dan awalnya itu kan gue masih bingung sama perasaan sendiri.” jawab laki-laki di depan oikawa.

Kemudian diakhiri dengan kejadian kuroo yang benar-benar menolaknya, setelah berbagai permasalahan yang ada. Yah mau tidak mau bokuto harus move on, jadi ia sudah memantapkan hati saat itu. Ia sadar kalau dia sendiri yang memperumit hubungannya dengan kuroo.

“Gue tau kok kalo gue bener-bener bikin semuanya kacau dari awal. Tapi yang paling gue bikin kacau tuh beberapa hari lalu, tepatnya waktu lo minum di kosan dia.”

“Oh itu,”

“Lo tau?!” bokuto terkejut bukan main mengetahui bahwa orang lain tahu rahasia kotornya.

“Iya gue tau, gue sempet bangun tapi gak berani berdiri. Gue liat lo sama kuroo ciuman, anjing. Mana pas dia lagi mabok itu, parah lo bok..”

Yah walaupun kuroo pasti mau-mau aja kalo dicium, mau sadar atau gak sadar, batin oikawa.

“Iya makanya. Tapi lo musti tau oik, sebelum pindah ke kasur kan gue di teras sama dia, dia meluk gue. Dia ngomong hal-hal yang bikin gue banting setir, yang tadinya mau mantep move on malah gagal total,” ucap bokuto

“Di situ gue ngerasa dilema banget seumur hidup.” imbuhnya.

“Dan akhirnya lo gak bisa bohongin perasaan sendiri kan?”

“Yep...” kata bokuto.

Oikawa menganggukan kepalanya paham. Itulah missing link yang ia bingungkan hingga saat ini. Bagaimana kuroo dan bokuto berakhir di atas kasur berciuman dan saling menyentuh. Bahkan ia masih ingat bagaimana desahan pelan keluar dari mulut kuroo malam itu. Ia tidak tahu karena kuroo sendiri tidak mengingatnya hingga sekarang. Kemungkinan kedua yakni memang kuroo sudah ingat tapi ingin menyimpannya fakta itu sendiri.

“Gue kaya kebawa suasana banget waktu itu. Ya lo digituin sama orang yang lo suka, kuat banget lo kalo bisa nahan.” ucap bokuto.

“Jujur gue tuh sama sekali gak ada niatan buat mainin kuroo. Gue bukan orang yang kaya gitu, oik. apalagi sama orang yang bener-bener gue sayang,”

“Tapi gue juga gak mau malah gue yang jadi mainan, gue yang jadi simpenan, gue yang mau sama dia saat dia masih sama alisa...”

Ugh—”

Oikawa mendengarnya sangat terkejut hingga kini ia yang tersedak makanannya sendiri. Melihat itu dengan segera bokuto menyodorkan minuman oikawa agar mereda.

“Bok...”

“Ya?”

“Kuroo kan udah putus sama alisa...”

“Hah?” bokuto merasa kepalanya kosong seketika.

“Iya. Dia cerita ke gue kemarin sih pas minum, tapi dia putusnya udah lama banget. Waktu lo sering-seringnya nugas di cafe itu, kan kuroo nemenin, nah pas itu dia putus.”

“Anjing... gue baru tau? kok dia gak bilang?”

“Gak tau, mungkin karena mau ngasih tau lo. Pernah gak pas itu dia pernah bilang mau cerita apa gitu gak?”

Bokuto memutar kembali ingatannya saat itu. Ada satu ingatan muncul saat kuroo bertanya kepadanya apakah ia sedang di rumah atau tidak. Dan kuroo yang ingin mengatakan sesuatu pada bokuto. Ia kini berpikir bahwa kuroo ingin mengatakannya saat itu, and bokuto missed the opportunity.

Fuck, dia pernah. Hampir sih lebih tepatnya.”

Bokuto habis kata-kata. Ia merasa bersalah sepenuhnya kepada kuroo karena tak ada saat temannya membutuhkan teman cerita saat itu.

“Kenapa dia putus? cerita sama lo gak?”

“Lo serius gak tau?” tanya oikawa yang dijawab gelengan kepala dari bokuto.

Oikawa menatap bokuto sabar sambil menghela napasnya berat. Sesak juga memikirkan permasalahan pelik dua sahabatnya itu.

“Dia putus karena lo.”

“Maksudnya? Alisa masih suka sama gue gitu terus kuroo cemburu pas itu?”

Oikawa hampir kelepasan emosi, “Gak gitu goblok.”

“Kuroo yang suka sama lo. Dia pas itu masih belom mau ngaku. Alisa sih udah nyadarin itu, makanya dia mutusin kuroo. Yah alasan lain karena alisa juga sibuk skripsi sih, jadi keknya emang bener dia harusnya ngelakuin itu. Hubungan yang dilandasi keterpaksaan gak akan bertahan lama juga.”

“Bohong lo..” bokuto menyangkal.

“Tanya aja sama kuroo kalo gak percaya,”

Mendengarnya, bokuto mengumpat tak tertahan. Dia sempat diam beberapa menit untuk memproses semua yang oikawa katakan. Semua terasa begitu tiba-tiba. Semua berita besar itu, seakan ia terhantam satu batu besar di wajahnya.

Setelah beberapa saat, bokuto kembali ke kesadarannya dan membuka mulut.

“Jadi pas itu dia udah ada rasa ke gue, dan gue malah ngebawa dia ke shelter cuma buat liat gue flirting ke orang lain?”

Yes. Dan dia sampe sekarang masih ada rasa sama lo,”

Bokuto dibuat bungkam untuk yang kedua kalinya. Kali ini benar-benar membutuhkan waktu lama agar ia dapat memproses perkataan oikawa. Ia merasa terkejut bukan main. Dadanya terasa begitu berat karena rasa bersalah dan kekecewaan terhadap dirinya sendiri bercampur menjadi satu. Ia merasa kecewa pada dirinya sendiri karena ia yang tidak terlalu peka terhadap kondisi temannya yang satu itu.

Harusnya ia sadar. Harusnya ia sadar kalau kuroo kembali lagi di sampingnya setelah sekian lama. Harusnya bokuto sadar kalau tampang sebal yang kuroo tunjukkan waktu itu dikarenakan kuroo tidak suka saat ia flirting ke orang lain. Harusnya bokuto sadar, saat ia mencari distraksi agar dia bisa melupakan kuroo, ternyata ada kuroo di sampingnya yang sedang memupuk rasa padanya.

Oikawa melihat bokuto yang bereaksi seperti itu pun juga ikut diam sejenak. Ia tahu betul perasaan bokuto saat ini. Bokuto merasa seolah semua yang ia tahu kini dipertanyakan dan bersikap skeptis.

“Dan lo musti tau bok, kuroo udah inget apa yang lo lakuin sama dia waktu itu. Awalnya tu orang kaget banget waktu gue kasih tau, sampe bilang kalo dia ini kotor dan bejat. Gue bilang gak apa, wajar aja gitu kalo emang lo pada nafsuan.” Ucap oikawa.

“Awalnya dia nyangkal, tapi akhirnya nerima karena dia juga mikir. Dia gak sembarangan ngelakuin itu ke orang, bahkan pas dia mabok sekalipun. Jadi kata gue, dia gak keberatan selama itu sama lo...”

“Serius dia ngerasa begitu?” tanya bokuto tidak percaya akan apa yang ia dengar.

“Iya,” jawab oikawa.

“Dan gue malah berhenti, terus ninggalin dia. Paginya gue malah jemput akaashi, dan bahkan nerima dia. Wow, gue ini emang bajingan banget ya.”

Oikawa meresponnya dengan tertawa pelan. Memang iya, bokuto saat itu terlihat seperti bajingan seutuhnya. Tapi ya kembali lagi pada posisi bokuto saat itu, bokuto yang tidak mengetahui apa-apa.

“Lo kan posisinya gak tau. Kuroo pun belom bilang apapun, jadi misal gue di posisi lo kemungkinan besar gue juga ngelakuin hal yang sama.”

Kepala bokuto rasanya sangat pening. Semua informasi itu diterimanya secara bertubi-tubi. All of them really fuck his brain out. Layar ponselnya yang sedari tadi menyala tanda pesan masuk pun tidak ia hiraukan. Kini yang bokuto rasakan hanya penyesalan dan kekecewaan. Dua kata itu lah yang paling cocok untuknya saat ini.

“Jadi lo berdua sama-sama salah. Dan sekarang lo berdua sama-sama nyesel. Nih ya bok, kuroo bener-bener fucked up sampe susah diajak ngapa-ngapain sekarang.”

Bokuto membenarkan hal tersebut. Pantas saja kuroo tidak mau menemuinya. Pantas saja kuroo menyuruhnya jujur. Ia sendiri sebelumnya mengubur dalam-dalam rahasia kotornya itu agar tidak menjadi beban keduanya. Ternyata yang bersangkutan sudah mengetahui.

“Lagian lo ngapain sih nerima akaashi padahal masih sayang sama kuroo?”

Bokuto tidak langsung menjawab. Ia malah menatap layar ponselnya yang menampilkan bar notifikasi penuh dengan pesan akaashi.

“Awalnya dia confess kan terus abis itu belom gue jawab, karena emang gue belom sreg dan butuh proses. Dia bilang kalo sesuka itu sama gue, dan mau longterm relationship sama gue. Tapi karena gue sendiri ragu, gue pas itu mau tanya kuroo tapi malah kuroo ilang.”

Alasan bokuto ingin bertanya pada kuroo sebenarnya juga ingin memastikan bagaimana kuroo kalau bokuto berpacaran dengan akaashi. Bokuto tahu kalau keduanya tidak memiliki hubungan yang baik. Ia tahu dari cuitan yang mereka buat, meskipun ia sendiri jarang menggubris.

“Iya sih gue juga suka sama akaashi, tapi waktu itu sukanya masih kaya ngambang, paham gak?”

“Paham.” jawab oikawa.

“Terus abis dari kosan kuroo itu, gue ke kosan akaashi. Gue cerita semuanya ke dia, and he promised to help me to get over kuroo,”

“Dia bilang kalo dia bisa bikin gue lupa sepenuhnya sama kuroo. Karena waktu itu gue kalut, akhirnya gue ambil tindakan impulsif. Gue terima tawaran dia dengan asumsi gue bisa sayang sama dia seiring waktu, kaya sayang gue ke kuroo. Gitu singkatnya.”

“Bok, serius? demi apapun?”

Bokuto hanya meresponnya dengan anggukan kepala.

Hal itu membuat oikawa diam seribu bahasa. Kejadian itu begitu kacau hingga kata-katanya tidak mampu mendeskripsikan itu. Ini lah yang terjadi saat dua idiot saling jatuh cinta tapi tidak berkomunikasi. It fucked them up really bad.

Wah, jadi akaashi ini take advantage dari orang yang patah hati, batin oikawa.

Akaashi tetap meminta bokuto untuk menjadi pacarnya, padahal ia sendiri tahu kalau bokuto masih sangat menyayangi kuroo. Meskipun begitu, akaashi malah mengambil kesempatan. Memanipulasi bokuto agar bokuto percaya kalau ia bisa membantunya menghapus jejak kuroo dalam hati bokuto.

Oikawa hilang kata, ia kini hanya diam menatap bokuto. Akaashi keiji ini memang bajingan licik.

“Terus lo sekarang mau gimana bok?”

“Gak tau. Gue butuh mikir lagi oik,”

Keduanya menjadi hening untuk beberapa saat, hanya lantunan musik klasik yang meramaikan. Bokuto yang larut dalam pikirannya, begitu pun oikawa yang masih terkejut atas pengakuan bokuto tentang bagaimana ia dan akaashi bisa berakhir bersama.

“Kalo kata lo gimana, oik?”

“Apanya yang gimana? lo aja belom mutusin gimana gue mau ngasih pendapat.”

“Ya siapa tau lo ada saran gue harus apa gitu?”

Oikawa melipat tangannya di meja, menautkan jarinya. Setelah itu membuang napas gusar. Berulang kali ia membuang napas gusar hari ini, tepatnya saat pembicaraan ini berlangsung.

“Bokuto, gue tanya sekali lagi. Apa mau lo? biar lo tau langkah apa yang musti lo ambil. Pikirin apa yang menurut lo bener, ntar coba gue kasih pendapat.”

Bokuto terlihat memikirkan perkataan oikawa. Ia menundukkan kepalanya sehingga yang ia tatap hanyalah sepatunya sendiri.

“Gue mau ke toilet dulu.” ucap oikawa sambil berdiri. Bokuto mengangguk.

Kini hanya tinggal bokuto yang terlarut dalam pikirannya sendiri. Ia rasanya ingin menyalahkan waktu, tapi ia sendiri sadar kalau ia juga mengacaukan semuanya.

Di saat sesi renungannya itu, ponselnya sedari tadi menampilkan notifikasi pesan masuk dari pacarnya. Hal itu pun membuat bokuto buyar. Ia menjadi berpikir, banyak hal yang harus ia pertimbangkan. Banyak faktor yang terlibat dalam hal ini. Oleh karena itu, ia tidak boleh sembarang memutuskan.

Ia membuka ponselnya, dan tahu kalau akaashi menanyakan apa yang sedang dilakukan bokuto dan posisinya sekarang. Melihat itu, ia merasakan sesuatu yang membuatnya tersadar. Otaknya serasa sudah diberi pencerahan. Ia sudah memutuskan.

“Gimana?” kata oikawa saat kembali dari toilet.

“Gue udah mutusin,”

“Gue musti ambil keputusan yang sekiranya gak nyakitin orang, kalaupun ada itu harusnya gue yang sakit. Gue harus tanggung jawab sama apa yang udah gue perbuat oik,”

“Oke? jadi apa?”

“Pertama, gue bakalan ngomong dulu sama kuroo. Ngelurusin hal kemarin dan minta maaf. Demi apapun sampe sujud pun gue rela.”

Oikawa menyetujui hal itu. Ia menganggukkan kepalanya pelan.

“Terus lo bakalan balik sama kuroo, dan udahan sama akaashi?” tanya oikawa. Ia sedikit banyak berharap kalau itu yang akan dilakukan bokuto.

Nope, malah kebalikannya.” ucap bokuto.

“Gue kayanya masih stay sama akaashi. Gue baru jalan berapa hari oik,” imbuhnya.

What the fuck...

“Bok sumpah... Bok lo gak bisa gitu dong?” oikawa tersulut emosi sampai tidak sadar meninggikan suaranya.

“Ya gue harus gimana?”

“Lo tuh mikir bener gak sih?” tanya oikawa. “Lo masih sayang sama kuroo dan malah mau tetep ngejalanin sama akaashi? yang bener aja dong.”

“Akaashi tuh manfaatin lo, anjing! Logika lo tuh di mana?!”

“Gak apa-apa, gue lama-lama juga bakalan deal with it. Lagian, kalo nyangkut cinta tuh gak selalu pake logika oik. Kalo selalu pake logika, ya gak bakal jalan.”

“Gue gak tau harus nanggepin apa,” ucap oikawa.

Oikawa akhirnya membiarkan bokuto untuk sejenak. Ia biarkan agar kepalanya sendiri juga mendingin. Ia memutar otak dan mencoba memposisikan diri sebagai bokuto, meskipun demi apapun di dunia itu adalah hal yang sulit.

“Maaf, gue tadi kelepasan bok.” ucap oikawa setelah beberapa saat mendiamkan bokuto.

That's okay,” jawab bokuto, “Jadi menurut lo gimana, oik?”

“Setelah apa yang udah kejadian, ngeliat posisi gue, kuroo dan akaashi. Kata lo gimana?” tanya bokuto sekali lagi.

“Sebenernya yang jadi pertimbangan lo apa sih bok?”

“Kayaknya emang gue tuh terlalu brengsek buat kuroo, dan gue juga udah jalan sama akaashi. Mending gue ngelanjutin yang sekarang kan?”

“Meskipun lo tau kalo kuroo suka sama lo, tetep bakal lo lakuin?”

“Iya. He deserves someone better, and i think that someone is not me?

“Lo yakin ikhlas?”

“Gue bakalan berusaha. Lagian gue harus tanggung jawab sama keputusan yang udah gue buat sama akaashi. Gue gak mau jadi bajingan buat semua orang, oik. Dan gue harap lo ngerti posisi gue.”

Sudah kesekian kali oikawa menghela napas berat, tidak terhitung lagi. Kini yang dipikirkan orang itu hanya satu, ia hanya ingin kedua temannya ini bahagia.

“Yaudah, terserah lo aja bok.” ujar oikawa. “Gue cuma bisa berdoa yang terbaik buat kalian.”

“Yang gue maksud, lo sama kuroo.” imbuhnya.

You okay with that?

“Jujur aja, gue pengen lo sama kuroo aja. Kalian tuh udah paket komplit, gue juga tau kondisi kalian. Lo masih sayang sama dia, dia juga jadi goblok gara-gara saking sukanya sama lo. Makanya gue mikir, karena udah terlanjur basah kenapa gak sekalian nyelam aja ya kan?”

“Tapi ya abis gue mikir lagi, kalo gue jadi di posisi lo, keputusan lo yang itu cukup masuk akal. Lo tau apa yang terbaik buat diri lo dan kuroo, juga akaashi.”

“Yep...”

“Pesen gue cuma satu bok. Perasaan orang itu bukan mainan, dan hubungan itu bukan tempat bermain.”

“Iya, gue paham kok.”

“Lo bakal bilang ini ke kuroo?” tanya bokuto.

“Gak tau. Lo keberatan gak kalo gue bilang ke dia?”

“Gak juga sih sebenernya. Tapi mending biar gue aja yang bilang,”

“Oke.”

By the way, gue cabut dulu ya. Ini dari tadi gue dispam akaashi. Shiftnya udah selesai, terus minta gue cepet ke sana.”

“Iya, monggo. Inget kata gue pokoknya ya. Kalo lo butuh temen ngobrol lagi, gue selalu selo.”

Bokuto menjawabnya dengan anggukan dan gumaman.

“Oikawa?”

“Ya?”

“Makasih banyak.” ucap bokuto sambil menepuk bahunya.

“Yoi, santai aja.”

Bokuto kemudian membereskan barangnya, dan beranjak dari tempatnya. Berjalan menjauhi oikawa menuju ke meja resepsionis, entah untuk apa.

Sepeninggalan bokuto, oikawa kembali ke kegiatannya. Kini ia dipusingkan karena dua hal. Pertama karena tugas kuliahnya yang tak kunjung selesai. Kedua karena masalah hubungan kuroo dan bokuto, yang ia yakin bahwa akan selesai lebih lama daripada tugasnya itu.

Saat tengah berkutat dengan tugasnya, oikawa didatangi oleh pramusaji yang membawa minuman dan makanan.

“Atas nama kak oikawa ya?”

“Loh saya ngga pesen lagi kak?”

“Iya, tadi temen kakak yang pesen. Katanya buat temen kakak nugas,” ucap pramusaji itu sambil meletakkan makanan dan minuman, yang kebetulan merupakan favorit oikawa.

Bokuto fuckin koutarou.

Berapa kali oikawa dibuat speechless oleh ia malam ini? oikawa sudah tidak menghitung malam ini. Ia hanya menyinggungkan senyum tipis.

“Pantes kuroo bisa bucin tolol gitu sama lo bok,”

Oikawa sudah memantapkan hati. Meskipun ia tidak keberatan dengan keputusan bokuto, ia akan membuat semuanya menjadi seperti yang seharusnya terjadi.

Ia melihat keraguan dalam diri bokuto, dan ia akan membuat keraguan itu sebagai peluang. Peluang untuk temannya yang satu lagi.

“Liat aja lo pada.”

—fin.

Ingkar Janji


May i come in?”

Ucap bokuto di luar pintu, menatap kuroo yang masih terpaku menikmati sensasi aneh di sekujur tubuhnya.

“Kur? ngelamun lo?”

Bokuto melambaikan tangannya persis di depan wajah kuroo. Niatnya menyadarkan sang kawan dari lamunannya. Ia mengerutkan hidungnya, bau menyengat alkohol memasuki indra penciumannya.

“Lo minum ya?”

Kuroo pun akhirnya kembali ke kesadarannya yang tidak seberapa itu. Ia mengangguk dan mempersilahkan bokuto untuk masuk ke dalam kamarnya. Untung ia tadi sudah sedikit beberes, jadi kamarnya sekarang masih layak disebut kamar. Walaupun masih ada oikawa yang tepar tidak terurus.

Lantas ia melebarkan pintu kamarnya, lalu berjalan ke dalam kamar dengan sempoyongan. Tadinya ia masih bisa berdiri dan berjalan dengan benar, kenapa setelah bokuto datang malah dia menjadi seperti kucing bingung begini?

Melihat kuroo yang berjalan sambil meraba tembok, bokuto mendekatkan dirinya dan membantu kuroo untuk berdiri tegak.

Kuroo merasakan pinggangnya direngkuh oleh tangan hangat. Tangan kanannya diangkat oleh orang itu, dirangkulkan ke tubuh kekarnya.

“Lo jalan aja gak bener gini, segitu mabuknya ya?”

Bokuto mengendus kuroo, kemudian menjauh dengan cepat. Hal itu tentunya membuat jantung kuroo semakin berdebar. Apa yang dilakukan bokuto ini membuatnya semakin pening. Ia menelan ludahnya kasar. Ia masih setengah sadar, jadi bisa dikatakan kalau ia tahu apa yang terjadi saat ini. Berbicara pun masih bisa lancar. Ia pun masih bisa salah tingkah. Jadi ia alihkan pandangannya menuju balkon kamarnya, untuk menutupi hal itu.

“Kepala gue agak pusing,” ujar kuroo.

“Mau gue buatin teh hijau anget? lo ada kan?” kata bokuto sambil membantu kuroo berjalan ke dalam kamarnya.

“Gak usah,” tolak kuroo, “—ke balkon aja, cari angin.” ucapnya.

Bokuto sih hanya mengikuti permintaan kuroo.

Kuroo melepaskan rangkulan bokuto, kemudian mengambil minuman botol di kulkasnya dengan jalan terseok-seok. Bokuto sih sudah menawarkan untuk membantu lagi, tapi ditolak mentah-mentah oleh kuroo. Bersentuhan dengan bokuto pada kondisi seperti ini bukanlah hal baik. Bisa gawat, batinnya.

Kuroo menuju balkon membawa botol minuman beralkohol di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya memijat kepalanya yang sedikit pusing.

Bokuto yang baru datang hanya mengekor di belakang kuroo, jaga-jaga kalau kuroo tiba-tiba ambruk. Ia letakkan barang-barangnya di meja dekat tempat oikawa tidur.

“Ni orang udah kek pingsan,” ucap bokuto sambil terkekeh.

Saat sudah sampai balkon, keduanya mendudukkan diri di kursi yang menghadap ke arah luar. Ia tatap langit di sana, sedikit mendung. Memang pada beberapa kondisi, saat mendung atau akan turun hujan, cuaca malah menjadi panas dan membuat gerah. Dan hal itu lah yang dirasakan kuroo saat ini. Ia merasa sepertinya malam ini akan turun hujan.

Kuroo menenggak sisa minuman yang dibawa oikawa tadi dari mulut botolnya langsung. Minuman itu masih tersisa seperempatnya.

“Mau gak bok?”

Bokuto menoleh dan menatap botol bening yang ditawarkan kuroo. Ia menggeleng pelan sambil tersenyum dan menepuk pundak kuroo.

“Gak ah, kalo gue minum ntar yang jagain lo siapa?” tanyanya.

“Takut lo loncat dari balkon ntar,”

“Sembarangan,” kuroo tertawa mendengar guyonan bokuto.

Keduanya kemudian menjadi hening. Hanya suara gemuruh dari awan mendung yang menemani mereka. Kuroo masih saja asik menenggak minuman dari botol bening sedikit demi sedikit.

“Kuroo,” panggil bokuto.

“Hm?”

“Lo kemarin kenapa? gue hubungin gak bisa,” ia tatap kuroo di sampingnya dengan wajah menyiratkan kekhawatiran.

“Oh itu, maaf ya..” ucap kuroo, “kemarin lagi capek makanya off dulu.”

“Gitu?”

“Yep..” ucap kuroo sambil menyesap rasa cairan di bibirnya.

“Jangan gitu lagi ya,”

“Kenapa?”

“Gak apa sih, gue cuma takut aja lo kenapa-kenapa dan gue gak tau..”

Hati kuroo menghangat. Siapa yang tidak merasakan begitu jika diperlakukan begini? Bokuto dan semua sikapnya yang membuat kuroo panas dingin tidak karuan. Akhirnya kuroo menganggukkan kepalanya untuk merespon perkataan bokuto. Hal ini membuat bokuto sedikit merasa lega.

Kuroo menyandarkan dirinya ke kursi yang mereka duduki. Saat ini ia hanya menggunakan kaos pendek satu lapis, sehingga membuat lengannya bersentuhan langsung dengan lengan bokuto. Pun juga pahanya yang bergesekan dengan fabrik celana yang dikenakan bokuto, saat ia sendiri hanya mengenakan celana pendek rumahan.

Kuroo menikmati sensasi itu. Sensasi saat kulitnya lengannya bersentuhan dengan kulit bokuto. Itu membuat jantungnya ingin melompat dari tempatnya. Tanpa ia sadari, wajahnya mulai memanas.

Kalau dulu sekali, berada di posisi ini dengan bokuto bukanlah masalah yang besar baginya. Namun karena sekarang kondisinya sudah berbanding terbalik, tentu ini akan menjadi bibit masalah jika dibiarkan begitu saja. Anehnya, meskipun mengetahui hal itu, kuroo tidak keberatan. Serius, dia tidak keberatan. Sesuai dengan perkataan yang ia lontarkan pada oikawa, bahwa ia ingin bokuto kembali. Dan dengan berada di dekat bokuto seperti ini, ia merasa bahwa ada sesuatu yang dapat mengembalikan bokuto padanya.

Bokuto awalnya tidak menyadari. Namun kian lama, bokuto merasakan kulit lengannya yang bergesekan dengan lengan kuroo. Ia melihat telinga kuroo yang memerah. Ia tidak mengerti mengapa kuroo menjadi seperti itu. Bokuto dengan sifat protektifnya yang masih melekat, menjadi tergerak. Lantas ia ulurkan tangannya untuk menyentuh telinga kuroo pelan.

“Telinga lo merah banget, kur. Udahan aja sih minumnya, ya?”

Bokuto sialan, batin kuroo.

Penyebab telinganya memerah bukanlah minuman itu, melainkan bersentuhan skin-to-skin dengan bokuto. Dan sekarang hal itu menjadi lebih parah dengan bokuto yang menyentuh telinganya lembut.

Bokuto tidak tahu, kalau kuroo sangat sensitif di bagian belakang telinganya. Kuroo saja sering merasa geli saat ditiup, apalagi dielus seperti itu. Bisa gila kuroo kalau lama-lama.

Oleh karena itu, ia letakkan botol kaca yang tadinya ia pegang di sembarang tempat. Kemudian ia raih tangan bokuto yang tadinya mengusap telinganya, dan melepaskannya pelan.

“Muka lo juga merah banget, sialan. Masih sadar gak lo?” Ucap bokuto lagi. Kini tangannya menangkup wajah kuroo.

Tangan kokoh itu kini menyangga pipinya. Hangat. Membuat kuroo semakin ingin memejamkan matanya dan lelap saat itu juga. Dia merasa ada di rumah. Berada dalam genggam bokuto adalah rumah baginya.

“Masih, santai.” jawab kuroo.

“Gue masih bisa perkalian sama pembagian, kalo lo mau bukti,”

Bokuto terkekeh mendengar tutur kuroo. Ia jadi ingat saat ia sendiri mabuk waktu itu. Saat ia dijemput kuroo di taman. Saat dirinya membuktikan bahwa ia masih sadar dengan melakukan pertambahan, seperti satu ditambah satu sama dengan dua. What a silly moment, batinnya.

Kuroo masih setengah sadar, ia tidak sepenuhnya ambruk seperti oikawa di dalam sana. Dengan matanya yang sayu dan manik yang berkilau, ia menatap bokuto dengan posisi seperti itu. Cukup lama, dengan posisi tangan hangat bokuto yang masih menopang wajahnya.

Suasana di sekeliling mereka sepi. Hawanya panas dan dingin bercampur menjadi satu, membuat gerah siapapun yang ada di situ.

Mereka terlarut dalam jerat masing-masing. Bokuto semakin lama semakin sadar kalau dirinya tenggelam dalam tatapan kuroo. Dan kuroo, dengan kondisinya seperti itu, sadar tidak sadar mendekatkan wajahnya ke wajah bokuto. Dekat sekali hingga ia bisa mencium wangi parfum bokuto yang menyeruak masuk.

Bokuto diam. Ia bingung dengan perlakuan kuroo. Namun ia sendiri tidak bisa menolak hal itu. Ia masih mencerna apa yang terjadi, ia ingin bergerak bebas namun kuroo memegang tangannya seolah-olah meyakinkannya bahwa mereka akan baik-baik saja.

Namun sayangnya, kegiatan itu diinterupsi oleh suara seseorang di dalam sana. Suara melengking memecah keheningan dua insan yang ada di balkon kamar.

“AC nya dingin yaaa, kasian kamu. Kuroo!! AC-nya dingin!! Haaaa—”

“Nih aku kasih baju biar anget,” ucap seseorang di dalam kamar kuroo sambil melemparkan kaosnya ke atas hingga menyangkut ke AC.

Setelah oikawa meneriakkan itu, terdengar suara orang ambruk di lantai. Setelah beberapa saat, suara orang itu tidak lagi terdengar. Kembali ke hening malam yang menyisakan suara angin dan gemuruh awan di luar sana.

What the hell is going on inside?

Hal itu tentu mengejutkan kuroo dan bokuto. Bokuto yang sadar akan posisinya seperti ini, segera menarik tubuhnya menjauhi kuroo. Ia melepas tangannya dari wajah yang memanas itu, kemudian berdiri dan berjalan menjauh menuju pagar balkon.

Kuroo yang nampaknya bingung seketika pun bereaksi hal yang sama.

Sorry,” ucap bokuto yang membelakangi kuroo.

Kuroo melihat punggung bokuto yang membelakanginya itu. Ia sangat menyayangkan kehangatan yang beberapa waktu lalu sempat ia rasakan.

Ia ingin darahnya berdesir lagi, seperti sesaat yang lalu di mana wajah bokuto hanya berjarak beberapa inci dengannya. Ia bahkan tak keberatan telinganya memerah lagi jika itu dapat membuat bokuto kembali ke posisinya semula. Ia ingin berada di dekat bokuto. Ia ingin berada di genggaman bokuto. Ia juga ingin menyentuh bokuto.

Jadi karena kuroo sendiri mulai diselimuti nafsu yang entah datang dari mana, ia melangkah mendekati bokuto.

Bokuto yang membelakanginya tentu saja tidak mengetahui hal itu. Yang ia lakukan hanya mendongak ke atas, menatap ke langit yang sudah mulai meloloskan rintikan air kecil.

Malam yang tadinya gerah, berubah menjadi dingin. Sepoi angin membuat rambut bokuto bergerak mengikuti arah angin. Pun juga kuroo yang berada di belakangnya.

Tiba di belakang bokuto persis, kuroo menghela napasnya pelan. Ia mengumpulkan niatnya saat itu. Lantas ia ulurkan tangannya untuk mengelilingi pinggang orang di depannya.

Bokuto terperanjat kaget saat merasakan lengan yang tadi bersentuhan dengannya, sekarang melingkar dengan erat di pinggangnya.

Lalu ia sadar, kuroo tetsurou memeluknya dari belakang. Untuk yang ke sekian kalinya. Yang aneh adalah kini jantung bokuto kembali berdebar dibuatnya. Tidak seperti waktu lalu saat kuroo berada di motornya. Saat itu juga posisinya seperti ini, namun bokuto berhasil mengendalikan dirinya.

Namun saat ini, jantungnya seolah mengkhianatinya. Ia kembali bereaksi saat kuroo melakukan hal itu kepadanya. Tubuhnya membeku, jantungnya berpacu, namun ia paham kalau ini akan menjadi belenggu. Oleh karena itu, ia harus secepatnya mengatasi hal ini.

“Kuroo,”

“Bentar aja...” ucap kuroo.

“Gue kangen lo...banget,” imbuhnya.

Fuckity fucking fuck, batin bokuto meronta-ronta.

“Kur, jangan gini..” ucap bokuto sambil berusaha melepaskan tangan kuroo secara perlahan. Namun hal itu malah membuat tautan antar jari kuroo semakin mengerat.

Please,” ucap kuroo lirih.

Hancur sudah pertahanan bokuto. Ia luluh kembali dalam pesona kuroo tetsurou. Kuroo sialan.

Akhirnya bokuto membiarkan kuroo memeluknya dari belakang. Ia usap tangan kuroo dari depan. Hal ini tentu saja diartikan kuroo sebagai lampu hijau.

Ia merindukan bokuto. Ia merindukan wanginya. Ia merindukan canda tawa yang hanya dilontarkan pada dirinya seorang. Ia merindukan perlakuan bokuto yang begitu manis padanya. Ia merindukan usapan bokuto. Ia merindukan segala jenis sentuhan bokuto.

Intinya, ia merindukan bokuto habis-habisan.

Ia ingin malam ini hanya ada dia dan bokuto. Tidak ada yang lain. Tidak ada akaashi. Tidak ada interupsi.

Pada posisi seperti itu, kuroo perlahan mendekatkan dirinya ke tengkuk bokuto. Hal itu didukung dengan badannya yang sedikit lebih tinggi dari bokuto, meskipun badan kawannya itu lebih bulky dibanding dirinya. Jadi dengan mudah ia menyandarkan wajahnya ke pundak bokuto, kemudian menghirup ceruk leher bokuto. Wanginya parfumnya menguar kemana-mana, yang mana masih sama yakni wangi kesukaan kuroo.

Bokuto yang diperlakukan seperti itu oleh kuroo menjadi tegang sekujur tubuhnya. He's freezing! Terlebih saat kuroo mulai menyusuri lehernya pelan, menghirup aroma tubuhnya.

Pikirannya mulai kacau. Bokuto tidak boleh diam saja saat diperlakukan begini oleh orang yang ia sukai. Oleh karena itu, ia membalikkan badannya dan menemukan kuroo dengan tatapan yang berbeda dari biasanya.

Kuroo dengan wajah yang memerah, entah itu karena alkohol atau hal lain. Kuroo dengan mata sayu yang menyiratkan sesuatu. Bokuto paham betul kalau tatapan itu bukan tatapan biasa. Itu tatapan penuh nafsu, seperti ingin menyiratkan pesan 'aku menginginkanmu'.

“Kuroo?”

Alih-alih menjawab, kuroo malah mendekatkan badannya ke bokuto. Ia merengkuh badan bokuto, kali ini dari depan. Bokuto gusar. Dipeluk kuroo dengan kondisi seperti ini tentu membuat sesuatu di dalam dirinya menggebu-gebu.

Pelukan itu tidak seerat pelukan tadi. Ditambah kuroo yang hanya diam dan bergerak pelan. Bokuto merasakan wajah kuroo di perpotongan lehernya. Kuroo menenggelamkan wajahnya di sisi itu dan menggerakkan bibirnya pelan. Ia kecup pelan leher temannya itu.

“Kuroo, please sadar!”

Bokuto tidak tahan. Ia tidak bisa membiarkan hal itu terus-terusan dilakukan kuroo. Bisa meledak dia lama-lama. Jantung bokuto berpacu, bahkan suaranya dapat menyaingi dentingan jarum di jam tangannya. Oleh karena itu, didorong lah kuroo perlahan. Melepaskan bibir kuroo dari lehernya agar tidak melangkah terlalu jauh. Ia harus tahu batasan.

Goddamit,” bokuto mengumpat keras.

Kuroo menatap bokuto, kemudian menunduk. Ia tahu ia melewati batasan hingga membuat bokuto seperti itu.

“Maafin gue,” ucapnya setengah sadar.

It's okay, it’s a mistake,”

What if it isn't?” ujar kuroo mendongakkan wajahnya.

“Kuroo...”

“Gue tanya!” kuroo sedikit meninggikan suara.

“Lo mabok dan lo gak sepenuhnya sadar, of course it is!” bokuto meyakinkan kuroo.

Bo, don't you want me anymore?” tanya kuroo.

Hal itu membuat hati bokuto terenyuh. Ia merasa hatinya diremas habis-habisan. Hanya rasa ngilu yang ia rasakan. Ia lihat kuroo yang menundukkan kepalanya kembali. Hal itu membuat pertahanan bokuto yang selama ini ia miliki hancur sudah. Tembok tinggi yang sengaja ia bangun dihancurkan kuroo dengan sebegitu mudahnya.

Bokuto mengangkat wajah kuroo pelan dengan tangannya. Ia lihat ekspresi kuroo saat itu. Matanya masih sayu dan tersirat nafsu. Bibirnya ranum dan basah, serta tercium bau alkohol bercampur citrus samar dari sana.

Bokuto mendorong kuroo pelan hingga tubuhnya menyentuh tembok dekat pintu balkon. Kuroo menatapnya dalam. Bokuto pun begitu. Laki-laki dengan surai kelabu terang itu mendekatkan dirinya ke wajah kuroo.

“Kuroo tetsurou sialan,” umpat bokuto sebelum mengikis jarak mereka.

Kuroo yang melihat bokuto seperti itu pun diam-diam bersyukur dalam hati. Ia lihat tatapan bokuto yang tak jauh beda dengan dirinya, tertutup kabut nafsu. Pada saat ini ia masih setengah sadar, tapi ia tahu apa yang ia lakukan. Ia pun tahu kalau bokuto kini tengah menatap bibirnya seraya mendekatkan diri. Ia pun tahu itu, sehingga ia memejamkan matanya. Menunggu milik bokuto bertemu dengan miliknya.

Namun sekian detik setelahnya, yang ia rasakan bukanlah bibir bokuto di bibirnya sendiri. Melainkan wajah bokuto yang sudah singgah di ceruk lehernya. Lengkap dengan hembusan napasnya yang berat yang terasa hingga ke telinga kuroo, membuat kulitnya meremang dan napasnya sendiri tercekat.

Semakin turun, semakin berulah, semakin membuatnya pasrah. Bokuto hirup tiap inci leher jenjang kuroo. Aroma yang ia sukai pun sama, meskipun sedikit bercampur dengan alkohol dan citrus yang makin lama makin pudar. Ia kecup perlahan, persis seperti apa yang dilakukan kuroo padanya.

Bokuto telah sepenuhnya kalut. Kuroo sendiri malah dengan sengaja mendongakan kepalanya, seolah memberi akses lancar untuk bokuto. Dengan perlakuan kecil itu saja, ia berhasil dibuat gemetar hingga ia meloloskan lenguhan kecil.

“—mmhh,”

Bagaimana kabar bokuto melihat kuroo seperti itu? tentu saja ia sepenuhnya turn on. Siapapun pasti akan bereaksi yang sama saat ditempatkan di posisi ini. Mungkin hanya orang yang mati rasa saja lah yang tidak akan memberikan respon yang sama.

Kuroo pun tidak jauh beda, karena memang dari awal ia menginginkan bokuto. Ia menginginkan bokuto sepenuhnya. Hati, jiwa, dan raganya. Jadi saat ia berada di posisi ini, tentu saja ini menjadi sebuah kesempatan emas untuk yang tak boleh ia sia-siakan. Oleh sebab itu, dengan kesadarannya yang tidak seberapa itu, ditarik lah bokuto menuju kamarnya. Lebih tepatnya, ke arah kasurnya.

Persetan dengan oikawa yang ada di lantai. Toh orang itu pasti akan terlelap dan tidak sadar saat terjadi sesuatu. Ini semua memang gila.

Bokuto yang ditarik kuroo pun mengikuti saja. Kini keduanya tengah terduduk di atas kasur kuroo. Keduanya saling berhadapan. Belum ada yang ingin melanjutkan kegiatan mereka tadi.

“Bok?” panggil kuroo.

Bokuto tak kunjung menjawab. Ia malah mendekatkan wajahnya ke wajah kuroo, dan menyandarkannya ke bahu sang kawan.

Hembusan napasnya yang berat terasa dekat hingga membuat kuroo bergidik. Ia ulurkan tangannya untuk menyentuh bibir bokuto. Setelah itu, hal terakhir yang kuroo lihat sebelum menutup matanya adalah bokuto yang memangkas jarak di antara mereka. Ia merasakan bokuto yang membiarkan bibirnya bertemu dengan bibir kuroo. Membiarkan apa yang mereka dambakan selama ini menjadi kenyataan.

Bokuto koutarou menciumnya.

Awalnya itu hanyalah sebuah kecupan ringan. Namun semakin lama menjadi lumatan kecil. Hal itu sukses membuat perut kuroo dihinggapi ribuan kupu-kupu. Nafsu dalam dirinya pun ikut menggebu.

Berciuman dengan seseorang tidak pernah terasa sehebat ini.

Bokuto tanpa melepas pagutan itu, merengkuh pinggang kuroo dan membawanya ke bagian tengah kasur. Bokuto sendiri menyandarkan dirinya di headboard kasur dengan kuroo yang bersandar padanya. Bedsheet putih kasur kuroo yang berantakan itu seolah menjadi saksi bisu kegiatan mereka.

Lengan kokoh bokuto mengukung tubuh kuroo dari belakang. Masih terpagut bibir mereka dengan segala kecupan liarnya itu. Laki-laki dengan surai hitam pun hanya menyandarkan punggungnya di dada lebar bokuto. Ia tidak melakukan banyak hal, hanya mengikuti arus saja.

Setelah itu bokuto beralih dari bibir kuroo, menyesap tengkuk yang bersangkutan. Bergantian dengan mengecup pundak kuroo membuat yang orang di depannya menggelinjang dan gemetar tak tertahan.

Holy merde! batin bokuto. Entah itu benar-benar umpatan atau sebuah metafora yang menggambarkan rasa syukurnya karena dibiarkan ada pada posisi ini.

Don't stop...” ucap kuroo saat bokuto memberi jeda sejenak.

Kuroo merasakan sesuatu meraba tubuhnya di balik kaos hitam yang ia kenakan. Tangan bokuto membelai perutnya pelan. Merasakan otot perut yang kian menegang karena perlakuan itu. Kemudian tangan itu naik, menyusuri tulang dada kuroo hingga atas, kembali lagi ke bawah dengan pelan.

Menyentuh tulang rusuk di dada kuroo yang tidak terlalu ketara. Mengabsen satu persatu. Ditambah dengan napas bokuto yang menderu, memberikan sensasi geli di telinga kuroo. Sentuhan itu memporak-porandakan isi kepala keduanya. Pun juga isi hatinya.

Aroma tubuh mereka seolah bercampur menjadi satu. Wangi tubuh kuroo yang bokuto sukai, dan wangi tubuh bokuto yang kuroo sukai.

Shit, kuroo!” ucap bokuto terkaget sambil menghentikan kegiatannya.

Bokuto tiba-tiba melepaskan tangannya dari badan kuroo. Kepalanya seolah dihantam batu besar saat sekelebat memori melintas di kepalanya. Sekelebat memori yang mampu membuatnya menghentikan kegiatan mereka. Sekelebat memori tentang kakaknya yang berkata bahwa ia tidak mau adiknya menjadi orang ketiga.

Bokuto merasa menjadi orang terburuk di sini. Ia yang terlalu mudah terjerat godaan, saat bokuto sendiri tidak tahu apa yang dipikirkan laki-laki di depannya ini. Ia yang tidak bisa mengendalikan diri, saat kuroo sudah jelas-jelas tidak sepenuhnya sadar.

Ia tidak bisa membiarkan ini semua terjadi begitu saja. Bagaimana dengan dirinya? ia tidak bisa dipermainkan seperti itu, pikirnya.

Ia tidak bisa. Saat ia sendiri tidak tahu apa yang kuroo rasakan terhadapnya. Tidak bisa, saat ia beranggapan bahwa kuroo masih bersama alisa. Tidak bisa, saat ia tahu bahwa ada seseorang nun jauh di sana yang menunggu pesan darinya.

Bokuto tidak tahu kalau hubungan antara kuroo dan alisa sudah kandas beberapa waktu yang lalu. Yang ia tahu, kuroo masih baik-baik saja dengan kekasihnya itu. Oleh karena itu, ia beranjak dari posisi tersebut. Meninggalkan kuroo yang bingung bukan main di atas kasurnya.

“Gue mau ke toilet dulu,” ucap bokuto sambil membelakangi kuroo.

Tentu saja ia berbohong. Ia tidak ingin melangkah terlalu jauh. Hubungan mereka benar-benar sudah diujung tanduk. Kuroo sendiri tidak menjawab. Sedari tadi ia sudah tidak banyak bicara. Ia merasa ini semua seperti halusinasi, walaupun sentuhan fisik yang ia dapatkan terasa sangat nyata. Maka dari itu bisa dikatakan bahwa ia ada pada kondisi sadar tidak sadar.

Beberapa waktu setelah itu, bokuto kembali. Ia menghabiskan sekitar tiga puluh menit di toilet kuroo. Ia sengaja mengulur waktu. Saat ia kembali, yang ia temukan bukan lah kuroo yang masih terjaga. Melainkan kuroo yang sudah tidur lelap dengan posisi tanpa selimut dan kaosnya yang tersibak. Ia mendekat, dan duduk di dekat orang itu.

“Maafin gue, kuroo.” Ucap bokuto saat melihat kuroo.

Matanya sedikit memanas, tanpa ia sadar satu tetes air mata jatuh membasahi pipinya sendiri.

“Padahal gue udah janji buat move on dari lo, tapi nyatanya malah gue sekarang yang ngelanggar janji gue sendiri..”

“Lo lagi mabok gini malah gue malah ngambil kesempatan. Padahal gue tau kita sendiri udah punya orang lain,”

“Gue ngerasa bejat banget,”

Dan rasa bersalah itu kian menyerang bokuto saat ia tahu, bahwa kuroo kemungkinan besar tidak akan mengingat hal itu esok hari saat ia terbangun. Ia tahu kebiasaan kuroo yang ini. Ia tahu bahwa akhirnya hanya ia sendiri yang mengetahui kejadian ini. Oleh karena itu, ia mantapkan hati untuk tidak akan mengungkit hal ini. Pun kalau ditanya, ia tidak akan mengungkapkan fakta.

“Maaf,” ucap bokuto sekali lagi.

Bokuto mengusap kening kuroo, merapikan rambut orang yang ⁠—sialnya⁠— masih ia sayangi. Masih sangat ia sayangi. Setelah itu ia kecup kening orang yang terlelap itu, tidak menunjukkan reaksi. Akhirnya ia mulai beranjak, membereskan barangnya dan mengangkat kaki dari kamar itu.

Ia meninggalkan kamar kuroo sambil berjanji. Ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ini terakhir kali ia mengingkari janji.

May I Come In?


Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat kuroo mendengar suara ketukan pintu kamarnya. Lantas ia buka dan menemukannya oikawa dengan bungkusan makanan yang banyak. Jangan lupa cengirannya yang lebar itu.

“Minumannya?” tanya kuroo saat keduanya sudah duduk santai menghadap televisi. Dinyalakan televisi itu agar sedikit ada suara yang meramaikan kegiatan senang-senang malam mereka.

Oikawa senyum tipis, kemudian membuka tas ranselnya. Kuroo kira, oikawa akan membawa minuman yang normal-normal saja. Seperti es boba, milktea, atau minuman soda botol mungkin? Tapi di sini yang ia terima adalah satu botol kaca bening bertuliskan 'Iceland' besar berwarna biru dengan tutup kuning. Tak lupa kadar alkohol yang terpampang jelas di botol tersebut.

What the fuck?

Jujur saja kuroo tidak habis pikir.

“Apa?”

“Serius? mendadak banget?” tanya kuroo.

“Ya gimana dong? kan tadi udah gue bilang mau bawa minum,” kata oikawa tak acuh.

“Lo ngide banget asli..”

Mendengar itu, oikawa hanya mengedikan bahunya santai. Dikeluarkan gelas sloki kecil dari tasnya, kemudian membuka beberapa makanan yang sudah dibeli sebelum ke kos kuroo tadi.

“Mau gak? toh besok libur,”

Kuroo terlihat memikirkan tawaran oikawa. Benar-benar kawannya satu ini. Mungkin ia akan belajar hidup seperti oikawa nantinya.

“Yaudah sih, dibuang sayang..”

Kuroo awalnya tidak berniat untuk getting drunk. Percayalah, sebenarnya kuroo jarang melakukannya. Ia agak membatasi karena saat ia sudah tipsy, ia tidak akan ingat apapun saat sepenuhnya sadar. Seringkali kuroo melakukan hal yang di luar nalar saat ada pada kondisi itu. Meskipun pada saat setelah minum kesadarannya masih setengah, tapi ingatannya tidak sinkron dengan kesadarannya. Hal tersebut akan membuatnya malu bukan main dan terkadang menjadi bahan ejekan tongkrongannya. Oleh karena itu, ia sangat membatasi.

Tapi berbeda dengan malam ini. Karena sudah dibawakan oleh oikawa, ia pun akhirnya menyetujui ide sinting oikawa. Seperti yang ia bilang sebelumnya, dibuang sayang.

“Lo gimana? udah mendingan?” tanya oikawa pada kuroo sambil menenggak gelas keduanya.

“Iya mungkin,” jawab kuroo yang kemudian ikut menenggak gelasnya, “Heartbreak sucks,” lanjutnya.

Yeah, i know

Beberapa waktu setelah itu, makanan yang tersisa hanyalah remahan. Bahkan minuman yang mereka tegak pun agaknya tercecer ke lantai karena tumpah saat menuangkan. Bau alkohol yang cukup menyengat tercampur dengan aroma citrus menguar. Membuat siapapun yang mencium bau itu tau kalau minuman itu bukan minuman coba-coba.

Oikawa yang menuangkan cairan itu ke gelas sloki di depan mereka, kuroo sih tinggal menerima. Kata oikawa, itu menjadi tanggung jawab dia untuk menghibur orang yang patah hati. Oleh karena itu, ia dengan kesadaran yang sangat terbatas tetap nekat menuangkan minuman ke gelas kuroo.

“Lo sekarang mau apa?” tanya oikawa.

Kuroo mengalihkan pandangannya dari televisi ke arah oikawa. ia tatap wajah temannya itu sebentar, kemudian berpaling lagi sambil tertawa pelan. Hal ini tentunya membuat laki-laki dengan surai coklat itu heran bukan main.

Alih-alih menjawab pertanyaan oikawa, kuroo malah bertanya balik. Dan pertanyaan yang kuroo lontarkan tentu membuat oikawa terheran lebih dari sebelumnya.

“Oik, kalo gue pengen bokuto balik ke gue, gue egois gak sih?”

Oikawa tidak kunjung menjawab, tapi ia hanya menatap kuroo bingung.

“Jawab anjir,”

“Terus lo sama alisa gimana goblok?” oikawa mulai terpancing emosi sedikit.

Doesn't matter. Udah putus dari lama juga,”

Ucapan kuroo membuat oikawa menghentikan kegiatannya dan meletakkan gelasnya ke lantai.

“Anjing, kur?”

Oikawa auto marah-marah mengetahui temannya yang satu itu memendam semuanya sendirian.

“Kapan? Siapa yang mutusin?” tanya oikawa.

“Udah lama sih, dia yang mutusin..” jawab kuroo sambil tertawa.

“Cerita dari awal,”

Keduanya tahu malam itu akan menjadi malam yang panjang.

Kuroo mulai berceloteh bagaimana ia berakhir diputuskan oleh alisa. Berawal dari dirinya yang mulai susah dalam menghubungi alisa, yang kemudian asyik dengan bokuto. Pun alisa yang sibuk mengurusi tanggungannya saat itu. Berakhir dengan kuroo yang secara tidak sadar jatuh hati pada bokuto. Padahal faktanya, ia sudah jatuh hati sejak jauh-jauh waktu sebelum itu tetapi ia sendiri menyangkalnya. Ia juga menyangkal bagaimana alisa menuduhnya menyukai bokuto.

Ia bercerita berentet tanpa celah. Dan tanpa disangka, hal itu malah membuat oikawa dan kuroo tertawa secara bersamaan.

“Lagian bukannya alisa bener ya?”

“Yah pas itu gue masih goblok sih, jadi ya nyangkal terus..” jawab kuroo.

Dan benar saja, kuroo sekarang menyadari bahwa apa yang dikatakan alisa benar adanya. Mungkin saat itu masih ada alisa di hati dan pikirannya, namun urutan alisa jauh di bawah satu orang yang kini menjadi pusat perhatiannya yang mana adalah bokuto koutarou.

“Jadi sekarang gimana?”

“Gimana apanya?”

“Ya lo mau apa sekarang?”

“Mau bokuto,”

Oikawa sukses dibuat bungkam. Kuroo kalau sudah mode begini susah diubah pemikirannya. Tekadnya bahkan lebih keras daripada kepalanya sendiri.

“Bukannya bokuto deket sama itu ya, si kashi siapa itu?”

Oh that motherfucker,” ucap kuroo.

“Gak tau ya, tapi gue mau bokuto. Apapun rela gue lakuin deh,” lanjutnya.

Oikawa tertawa mendengar perkataan kuroo. Serius? setelah apapun yang kuroo lakuin ke bokuto, kuroo masih bisa berharap seperti itu?

“Emang bokuto masih mau sama lo?”

“Brengsek oikawa..” kuroo memukul oikawa dengan bantal sofa tempat mereka bersandar.

“Dukung gue dong, masa gitu lo sama temen sendiri..”

Oikawa malah tertawa lebih keras daripada sebelumnya.

“Oke-oke, apapun yang lo lakuin bakal gue dukung.”

“Sekarang mendingan kita seneng-seneng aja, oke?” tanya oikawa.

“Deal,” jawab kuroo.

Kuroo menjawabnya dengan sumringah. Dilanjutkan lah kegiatan mereka yang diinterupsi oleh pernyataan kuroo tadi.

Beberapa saat kemudian, jarum jam sudah menunjukkan hampir pukul satu. Kuroo jadi teringat kalau hari ini bokuto ingin menyusul ke sini setelah bertemu dengan akaashi. Tapi yang bersangkutan tak juga menampakkan batang hidungnya.

Kondisinya sekarang sudah benar-benar tidak karuan, walaupun ia masih setengah sadar. Ia berada di kondisi itu setelah menenggak lima atau enam shot, ia sendiri lupa. Sebenarnya ia cukup tahan dengan minuman beralkohol, padahal ia jarang minum minuman seperti ini. Oleh karena itu, ia masih bisa melakukan sesuatu walaupun ia yakin esok hari ia tidak akan ingat.

Lain halnya dengan oikawa yang meminum jumlah shot yang sama, namun kini sudah terkapar tidak berdaya di lantai tanpa alas itu. Toleransi orang itu terhadap alkohol jauh lebih rendah di bawah kuroo. Buktinya, kini ia terkapar seperti orang pingsan.

Bungkus makanan berceceran, minuman yang mereka minum pun masih tersisa sedikit di botol yang tergeletak di samping oikawa. Dengan kesadarannya yang tidak seberapa itu, kuroo membereskan botol dan sampah-sampah yang ada.

Untung saja oikawa setelah menenggak beberapa shot langsung tepar. Ia tidak mau kejadian itu terulang lagi. Kejadian saat oikawa mabuk dan bercerita tentang space dan segala jenisnya.

Setelah selesai, kuroo berdiri dengan meraih pinggiran sofa, berharap itu bisa membantunya berdiri dengan benar. Dan berhasil, ia masih bisa mengontrol keseimbangan tubuhnya walaupun tidak sepenuhnya.

“Oik, masih idup gak lo?” ucap kuroo sambil menendang-nendang kaki oikawa pelan.

“Hnggg...”

Balasan oikawa juga sudah menandakan bahwa orang itu tidak sadar sepenuhnya. Setelah itu ia beralih berjalan pelan ke arah meja belajarnya untuk mengambil ponselnya. Pandangannya sedikit kabur. Kepalanya agak pusing.

Saat berhasil meraih ponselnya, segera ia cari nomor bokuto dan memanggilnya.

“Bok, jadi ke sini gak?”

'Iya, ini udah sampe. Bukain dong?'

Setelah menanyakan hal itu, kuroo terdiam. Bersamaan dengan ketukan pintu kamarnya, menandakan orang yang ia tunggu daritadi sudah tiba.

Benar saja, saat kuroo membuka pintu kamarnya, sosok bokuto benar ada di depannya. Menghela napasnya dan menyunggingkan senyum.

May i come in?”

Kuroo merasa darahnya semakin berdesir. Ia juga merasa seolah-olah belasan kupu-kupu hinggap di perutnya. Entah itu karena efek alkohol, atau efek orang di depannya ini. Yang jelas ia sangat menyukai sensasi ini.

Jawaban


Tujuan kuroo malam ini adalah menemukan jawaban. Ia sudah bertekad bulat untuk mencoba berkata ke bokuto apa yang ia rasakan. Ia berharap dengan memberitahu sang kawan, ia akan mengetahui dengan jelas apa kemauannya sendiri.

Jadi setelah sesi ngobrol dan makan berdua di foodcourt tadi, kuroo segera mengajak bokuto berpindah tempat ke bangku taman dekat gor tempat bokuto berlatih.

Kini mereka duduk bersantai menghadap lapangan di luar gor. Ditemani cahaya remang-remang dari lampu jalanan. Semuanya di sekeliling mereka terasa sepi dan sunyi, untungnya masih ada suara klakson kendaraan yang berlalu lalang.

Suara klakson yang meredamkan suara degup jantung kuroo yang berpacu. Degup yang mendadak kencang karena adanya friksi antara lengannya dan lengan bokuto saat tidak sengaja bergesekan menyamankan posisi duduk. Atau memang degup jantung yang terpacu karena ia bersama bokuto.

“Kur,” panggil bokuto yang hanya dijawab gumaman oleh kuroo.

“Jujur lo ngapain sampe ke sini?”

“Gak papa sih, iseng aja,” kuroo berbohong.

Bokuto tertawa pelan sambil memainkan rambutnya. Ia putar posisinya hingga menghadap kuroo sepenuhnya.

“Kuroo tetsurou, gue temen lo dari kapan sih?” ucap bokuto.

“Gue tau lo bukan orang yang segabut itu sampe kebetulan lewat, terus iseng nyamperin. Mesti lo ada alasan nih..”

Kuroo dibuat bungkam lagi. Ah bokuto sialan, kenapa sih dia harus tau kebiasaan kuroo?

Akhirnya kuroo akan memulai aksinya, setelah dari tadi meragu.

“Bok gue—” “Shit! gue hampir lupa,”

Ucap keduanya bersamaan.

Kuroo yang dibuat bingung bokuto. Dan bokuto yang malah melirik jam tangannya. Keduanya menjadi diam.

“Lo duluan, mau ngomong apa tadi?” tanya bokuto.

“Gak, lo duluan aja..”

Belum-belum hati kuroo mencelos. Perasaannya tidak enak sama sekali.

“Yaudah,”

Akhirnya bokuto mengalah dan mengatakan hal yang akan ia katakan tadi. Ia tatap bokuto, dilihatnya mata bokuto tertuju ke arah jam tujuh kuroo.

Sorry banget nih kur, tapi gue lupa ada janji jam delapan.”

“Lah, janji apaan? ini kan masih jam delapan kurang...”

“Iya sih, tapi orang yang janjian sama gue udah jemput tuh..”

Bokuto berucap sambil melirik ke arah jam tujuh kuroo. Kuroo mau tak mau menolehkan kepalanya ke arah belakang dan menemukan seseorang berjalan pelan ke arah mereka. Meskipun masih jauh, orang itu masih bisa terlihat dengan jelas.

Seseorang dengan tas selempang dan kacamata yang khas. Seseorang yang kuroo ingat perawakannya dengan jelas. Seseorang yang akhir-akhir ini membuat kuroo mencak-mencak dan menjadi bringas.

Siapa lagi, kalau bukan akaashi keiji.

Pikirannya buyar, pecah habis-habisan. Matanya berair. Ia pikir baru saja takdir memihaknya tadi, namun apa-apaan ini? Hatinya serasa dipermainkan. Perasaannya tercampur aduk. Ia tidak menyangka kalau di saat-saat seperti ini pun, takdir tidak memihaknya.

“Lo tadi mau ngomong apa?”

Bagaimana mungkin kuroo ingin memastikan perasaannya kalau kondisinya seperti ini?

“Gak jadi,”

“Lah..”

“Besok aja kapan-kapan,”

“Bener?”

“Iya...”

Kuroo sudah mati-matian menahan dirinya agar tidak mengekspresikan kesedihannya.

Karena respon kuroo yang begitu, bokuto jadi tidak enak hati ingin meninggalkan kuroo. Jadi ia tawarkan ke kuroo untuk ikut pergi bersamanya dan akaashi.

Bokuto tahu kok kalau kuroo dan akaashi sedang ada konflik, tahu persis malah. Dan karena hal itu lah, bokuto mengajak kuroo ikut bersamanya. Bokuto ingin menengahi mereka dan segala permasalahan yang ada.

Namun bagi kuroo, semua itu malah memperumit keadaan. Hubungan dengan akaashi yang sedang panas-panasnya pun semakin tidak karuan.

Oleh karena itu, ditolak lah tawaran bokuto.

“Gue balik aja,”

Ia juga menyuruh bokuto agar menghampiri akaashi, agar mereka tidak diharuskan bertemu di satu titik. Ia tidak sanggup.

Sorry ya bok, gue jadi ganggu acara ngedate lo,”

“Ngedate apaan, orang baru janjian tadi...”

Kuroo menatap bokuto sendu.

“Abis lo ngechat gak jelas tadi, akaashi ngechat gue minta ditemenin nugas. Makanya gue langsung mandi di gor,”

Ah, itu alasan bokuto merapikan diri. Jadi karena ia ada janji dengan akaashi, bukan karena ia diberitahu temannya kalau kuroo menunggunya.

“Gue kira lo cuma tanya gak jelas.. taunya lo ke sini beneran,”

“Coba aja lo bilang duluan, kan jadinya gue sama lo...”

Rentetan kalimat yang diucapkan bokuto itu benar-benar menohok hatinya. Dua hingga tiga kalimat yang mampu merepresentasikan semua kejadian yang mereka alami.

Kuroo dengan ketidak jelasannya. Yang sayangnya tidak peka dengan keadaan mereka sebelum ini. Yang tidak menyadari perasaannya sendiri. Dan yang tidak mau berkomunikasi secara intens dengan bokuto.

Padahal kalau dipikir-pikir, bokuto sudah menyiapkan diri dari dulu. Tapi kuroo membuang kesempatan berharga itu. Kini ia hanya bisa melihat bokuto pergi, berpaling darinya.

“Gue pergi ya?”

Tak kunjung mendapat jawaban dari kuroo, akhirnya bokuto berpamitan.

Namun sebelum beranjak, bokuto melepaskan jaket yang ia kenakan. Ia pakaikan jaket itu ke tubuh kuroo yang hanya memakai baju satu lapis.

“Biar lo gak dingin,” ucap bokuto setelah itu, “—hati-hati pulangnya,” lanjutnya.

Ia tepuk pundak kuroo, kemudian berjalan menjauhinya.

Kuroo terdiam. Lidahnya kelu. Matanya yang panas itu mengikuti arah jalan bokuto, menghampiri akaashi yang menunggunya. Samar-samar, kuroo bisa melihat akaashi menatapnya.

Menatapnya, kemudian menyunggingkan senyum kemenangan.

Ah, kuroo sudah kalah. Kalah telak.

Bahkan saat akaashi tidak bermaksud melakukan apapun, akaashi sudah menang kali ini.

Napasnya memberat. Dadanya sakit tiada ampun.

Dadanya terasa sakit saat ia melihat dua punggung yang menjauhi dirinya. Dan rasa sakit itu semakin menjadi-jadi saat melihat bokuto tertawa bersama dengan akaashi. Tawa dengan senyuman yang terpampang jelas hingga bisa ia lihat dari jarak yang cukup jauh.

Semakin lama ia lihat dua punggung yang mengecil itu, matanya semakin panas. Dadanya semakin bergemuruh. Ia merasa dirinya seolah-olah akan terjatuh.

Tanpa ia sadari, air matanya sudah mengalir membasahi pipinya. Ia menahan isakannya. Memukul-mukul dadanya, berharap bahwa rasa sakit itu segera menghilang.

Dan saat itu, dengan segera ia menyadari. Ia sudah mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Jawaban dari pertanyaan yang beberapa waktu lalu mengusik pikirannya.

Jadi dengan terburu-buru ia menelpon oikawa.

“Wik, tolong ke gor FIK sekarang..” ucap kuroo saat panggilannya tersambung.

Oikawa yang mengangkat panggilan kuroo pun dibuat panik lataran suara kuroo yang sumbang dan pecah.

“Gue udah dapet jawaban..”

Malam itu, kuroo yang berniat menemui bokuto untuk mencari jawaban pun mendapatkan apa yang ia mau. Ia dapatkan dua jawaban sekaligus dalam satu waktu.

Pertama, ia menyadari bahwa perasaannya terhadap bokuto memang benar adanya. Ia benar-benar menyukai bokuto. Baik itu perlakuannya, perawakannya, maupun semuanya.

Intinya, ia jatuh cinta pada bokuto.

Dan kini ia yakin bahwa hatinya benar-benar tertuju pada satu orang itu.

Kedua, kuroo menyadari bahwa ini adalah patah hati terhebatnya.

Prioritas


Sesuai dengan saran dari oikawa, akhirnya kuroo mengumpulkan niatnya untuk memberitahu bokuto. Sejujurnya, tujuan utama ia ingin menemui bokuto bukanlah untuk mengutarakan perasaannya. Perasaannya saja masih belum pasti, bagaimana ia ingin memberi tahu orang yang bersangkutan?

Dan karena hal itu lah ia di sini, mencari jawaban atas pertanyaan yang semalaman tadi memenuhi isi kepalanya.

Ia tatap gedung olah raga milik fakultas bokuto dari tempat parkiran motor dan mobil. Ada mobil putih bokuto yang terparkir dengan rapi di sana. Ya, bokuto belum pulang. Perkiraannya tepat, karena ini masih pukul tujuh. Ia beranikan diri untuk mengambil langkah menuju tempat bokuto melakukan latihan rutin bersama timnya.

Sesampainya di gedung itu, masih terdengar suara pelatih bokuto yang lantang. Ternyata tim mereka belum selesai berlatih, lebih lama daripada perkiraan bokuto yang diberitahu ke kuroo.

Kuroo mengintip ke dalam, dan terlihat anggota tim yang masih cooling down, beberapa ada yang dievaluasi oleh pelatih, dan beberapa ada yang memberesi bola serta net yang mereka pakai.

“Bokuto.. udah berapa bola yang kamu ilangin hari ini?”

“Yang terakhir tadi kayanya balik kok coach,” sayup-sayup kuroo dengar bokuto yang membela diri dimarahi pak wasi, yang mana adalah pelatih bokuto.

“Ngawur, orang saya hitung ini beda sama jumlah awal. Lama-lama abis uang kas tim buat ganti bola yang kamu ilangin...”

“Iya, maaf coach..” bokuto menunduk sambil cengengesan.

Kuroo mendengar itu jadi menahan tawa, tapi ia tak mau tawanya terdengar dari dalam. Akhirnya kuroo putuskan untuk menunggu di luar gedung, tepatnya di dudukan dekat pintu keluar. Ia mainkan ponselnya, kemudian ia kirimkan pesan kepada oikawa untuk meminta —yang katanya—doa agar tidak terganggu rencananya pada hari ini.

Kira-kira setelah lima belas menit berlalu, kuroo masih menunggu dengan memainkan ponselnya. Namun kegiatannya diinterupsi oleh salah satu orang yang keluar dan tidak sengaja melihat kuroo duduk di sana.

“Temennya bokuto ya?”

Kuroo heran, kenapa orang di depannya ini bisa tau. Ia memasang wajah heran.

“Ah, bokuto dulu kan sering bikin story bareng lo...”

Oh. Keheranan kuroo terjawab.

“Bentar ya,” orang itu masuk lagi ke dalam, kemudian memanggil bokuto yang rupanya tidak ada di tempatnya semula.

“Tunggu bentar ya, bokuto baru mandi,” ucap orang tadi saat kembali menghadap kuroo.

Setelah semua orang keluar, bokuto pun muncul dan menemukan kuroo yang berdiri menyambutnya dari pintu keluar.

“Lah kur, lo ngapain di sini?” tanya bokuto saat melihat kuroo berdiri di depannya.

Kuroo yang bingung mau menjawab apa pun akhirnya hanya mengarang alasan.

“Kebetulan lewat sih, terus keinget lo baru latihan yaudah gue samperin,”

Bokuto memasang tampang heran. Seperti menanyakan alasan kuroo melakukan itu, karena jujur saja, siapapun bisa melihat kuroo bergelagat aneh malam ini.

By the way, lo belum makan kan? makan lah ayo?”

Karena tak mau terlalu lama ada di situasi ini, kuroo akhirnya mengajak bokuto untuk pergi mencari makan.

Sebenarnya ia sendiri juga sedang mengulur waktu. Padahal ia tidak tahu mengulur waktu untuk apa. Ia tidak tahu tujuan ke mari, selain untuk memastikan perasaannya sendiri. Tapi ia tidak tahu bagaimana cara melakukan hal itu.

Bokuto melihat jam yang melingkar di tangannya, kemudian mengiyakan ajakan kuroo untuk mencari makan. Bokuto sendiri menawarkan untuk membeli makan di foodcourt dekat dengan gedung olah raga tempatnya berlatih, yang kemudian disetujui oleh kuroo.


“Kur, serius lo?” tanya bokuto, “Itu sampe merah banget warnanya...”

Kuroo mencoba melihat makanannya, “Apa gue tadi salah tulis ya?”

Karena telah disepakati, kuroo dan bokuto akhirnya membeli makanan di foodcourt dekat fakultas bokuto.

Jadi kuroo ini niatnya membeli nasi ayam geprek tanpa cabe atau level nol. Sedangkan bokuto makan nasi goreng favoritnya. Tapi yang datang ke meja mereka bukanlah nasi ayam geprek tanpa cabe, melainkan nasi ayam geprek yang bahkan isinya seperti cabe diberi ayam.

“Ibunya salah baca kali ya dari nol jadi enam..” ucap bokuto.

“Udah gak usah dimakan, sini biar gue minta tuker.”

“Eh, gak usah,” kata kuroo mencegah bokuto.

“Gak usah gimana?” bokuto mempertanyakan isi kepala kuroo.

Karena tak kunjung mendapat pertanyaan dari kuroo, ia mengambil inisiatif.

“Gini aja deh,” katanya.

Bokuto dengan segera menukarkan nasi gorengnya dengan ayam geprek setan yang kuroo —salah—pesan tadi.

Hal ini tentu membuat kuroo bungkam.

Dua kali. Dua kali bokuto membuat kuroo merasa seperti ini. Sebenarnya sudah berulang kali bokuto bersikap perhatian begini ke kuroo, namun ini kali kedua kuroo mengaku dibuat menghangat hatinya oleh perlakuan kecil bokuto yang mengalah.

Bokuto melakukan itu lantaran ia tahu banyak hal tentang kuroo.

Bokuto tahu kuroo tidak suka makan pedas. Kuroo pun tahu kalau bokuto sangat menyukai nasi goreng yang ada di depan mereka saat ini. Bisa dilihat dari matanya yang berbinar saat pesanan mereka tadi datang.

Bokuto tahu jika kuroo memakan itu, nantinya perut kuroo akan melilit dan membuat kuroo berakhir terkapar lemas di kamarnya. Oleh karena itu, ia rela menukarkan makanan favoritnya demi kuroo.

Satu hal yang tidak diketahui bokuto malam itu adalah, kuroo yang sengaja salah memesan makanan. Kuroo yang ingin melihat bagaimana respon bokuto jika mereka berada di kondisi seperti itu. Kuroo yang sedikit berharap kalau bokuto masih peduli padanya.

Dan fakta bahwa bokuto rela menukarkan makanan favoritnya demi kuroo, membuatnya ingin menangis. Hatinya terasa teriris dan menghangat secara bersamaan. Mungkin takdir saat ini memang sedang berpihak padanya dengan mengabulkan harapannya.

Rupanya bokuto masih memprioritaskan kuroo dibanding dirinya sendiri.

Kalau sudah begini, bolehkah kuroo berharap kalau perasaan bokuto terhadapnya belum pudar?

Bolehkah kuroo berharap kalau masih ada sedikit dari dirinya tertinggal di hati bokuto?

Bolehkah kuroo berharap?

Meskipun ia tahu bahwa itu terlalu tabu.

Karakter Sampingan


Jadi setelah sesi perkenalan singkat yang dilakukan bokuto, semuanya kembali bersikap seperti biasa. Mereka menerima kehadiran akaashi sebagai orang baru di tempat itu. Akaashi sendiri orangnya sopan, tidak banyak tingkah, dan bisa dibilang cukup ramah. Itulah yang membuat mereka tidak masalah saat akaashi, yang mana adalah orang luar, dibawa masuk ke sekber mereka.

“Serius bang lo mau traktir kita semua?” tanya atsumu.

“Santai tsum, dia mah duitnya susah abis..” timpal oikawa.

Yang lain buru-buru berebutan ponsel yang digunakan untuk memesan makanan delivery. Hari ini hari ulang tahun bokuto, dan mereka beramai-ramai merayakannya di sekber. Niat hati mereka ingin memberi kejutan dan hadiah kepada bokuto, namun malah bokuto yang membawa 'hadiah' ke mereka. Ya, hadiah itu adalah akaashi.

Jadi sebelum ke sekber tadi, urusan yang dimaksud bokuto adalah menjemput akaashi karena orang itu telah selesai shift sore di cafe milik salah satu temannya. Dan di sinilah mereka, merayakan ulang tahun bokuto dengan nongkrong bersama. Karena yang ada di ruangan itu hanyalah kue dan beberapa minuman, maka bokuto sebagai 'bos besar' hari ini menawarkan untuk membelikan makanan ke semua teman-temannya tanpa terkecuali.

“Kur, lo mau pesen apa?”

Kuroo yang sedari tadi diam, mendadak dibuyarkan oleh pertanyaan bokuto.

“Samain kek lo aja,” ucap kuroo tidak mau ribet.

“Oke. Kalo akaashi mau apa?”

“Pilihin dong kak, surprise me...” ucap akaashi.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan ucapan akaashi, namun hal itu dengan mudah bisa membuat kuroo mengernyit dan alisnya berkedut.

Aneh banget, batin kuroo. Pikiran itu buru-buru ditepis kuroo, ia tidak mau dendam kesumat ke akaashi padahal orang itu tidak melakukan sedikitpun salah ke kuroo.

“Coba gue liat menunya dong kak..” kata akaashi sambil mendekati bokuto yang tengah memilih menu makanan.

Anjing, katanya suruh surprise. Sekarang malah mau liat, gimana sih ni orang. batin kuroo menggebu-gebu.

Kuroo secara tidak sadar menatap akaashi dengan ekspresi kesal. Alisnya menukik dan air mukanya tidak enak. Oikawa yang menyadari hal itu segera berdehem dan membuat akaashi menjauhkan tubuhnya dari bokuto.

Bokuto sih cuek, tetap menatap layar ponselnya sambil scrolling menu di salah satu aplikasi online. Kuroo masih menunjukkan ekspresi jengkel, dan saat matanya bertemu dengan akaashi, akaashi melemparkan senyum tipis padanya.

Kuroo yang awalnya tidak mau berprasangka buruk terhadap akaashi pun kini seakan dipancing. Akaashi memancing emosinya.

“Gue ke toilet bentar ya kak..” ucap akaashi yang dijawab anggukan oleh bokuto.

Setelah itu, kuroo beranjak dari tempat duduknya hendak berjalan menuju salah satu sofa di sudut ruangan.

“Bok sini bentar deh..” ucapnya ke bokuto.

“Bentar gue lagi ngurusin ini makanan,” ucap bokuto.

Mendengar itu, kuroo langsung memberi sinyal ke oikawa. Oikawa yang paham akan tatapan kuroo pun segera menawarkan untuk mengambil alih kegiatan bokuto. Bokuto pun mengiyakan kemudian memberikan ponselnya ke oikawa.

“Apaan kur?” kata bokuto sambil mengekor di belakang kuroo.

Alih-alih menjawab, kuroo malah menggeledah tasnya sendiri kemudian memberikan suatu kotak kecil ke bokuto. Bokuto bingung sambil menahan tawa. Meskipun telah berteman sejak lama—enam tahun— bokuto jarang bertukar kado dengan kuroo saat ulang tahun. Hanya dua kali, termasuk sekarang. Daripada memberikan suatu hadiah, mereka sebelumnya lebih suka menghabiskan waktu bersama di tempat salah satunya.

“Selamat ulang tahun bok...” ucap kuroo.

Diterimalah kotak kecil dari kuroo itu, kemudian dibuka. Menampilkan satu jam tangan berwarna hitam. Bokuto menatap kuroo, namun yang ditatap malah membuang pandangan ke arah lain. Ia menahan malu hingga telinganya sedikit memerah.

“Wow...” ucap bokuto. Begitu saja sudah membuat kuroo menggigit bibir sambil curi-curi pandang ke bokuto.

“Kenapa?”

“Gak apa. Seneng aja gue dapet dua hadiah yang sama hari ini, mana bagus semua..”

“Dua?”

“Iya, tadi akaashi juga ngasih jam tangan.” kata bokuto, “Kok bisa samaan ya kalian..” lanjutnya sambil tertawa.

Bagaikan dihantam sesuatu, kuroo terdiam seketika. Dia dan akaashi? memberikan hadiah yang sama?

Sial. Dari sekian jenis hadiah, mengapa sesuatu yang ia berikan kepada bokuto harus sama dengan yang akaashi berikan. Dadanya bergemuruh, jantungnya berpacu, napasnya pun sedikit memberat.

Ia tidak suka situasi ini.


Setelah insiden itu, kuroo terdiam seribu bahasa. Ia sama sekali tidak ingin mengeluarkan suara. Biarlah orang di sekelilingnya bercanda bersama, ia tidak peduli. Sebenarnya sejak ada keberadaan akaashi di sini, ia sudah ingin pulang. Namun ia urungkan niatnya, yah karena hari ini ulang tahun bokuto. Ia tidak enak hati kalau pulang tanpa alasan sepele. Apalagi alasannya hanya kehadiran seseorang.

Mereka kini hanya mengobrol santai di ruang tengah sekber. Makanan yang dibelikan bokuto sudah ludes dimakan mereka tanpa menyisakan sedikitpun. Bokuto pasti senang karena semuanya menikmati kegiatan malam ini. Terkecuali satu orang tentunya. Sedangkan akaashi sudah dapat membaur dengan orang-orang di sana, ditunjukkan dengan ia yang kini bermain permainan kartu dengan hinata, atsumu, dan oikawa.

“Kur, mau cari angin gak?” ajak bokuto secara tiba-tiba saat kuroo tengah menenggak minumannya.

Kuroo mendongak dan mendapati bokuto mengedikkan kepalanya, menandakan mengajak keluar. Lantas ia berkata, “Boleh,”

Akhirnya dua orang itu menghilang dari ruang tengah, berpindah ke teras depan. Meninggalkan kerumunan yang tak sadar akan ketidakhadiran mereka. Kecuali sepasang mata yang setia mengawasi. Yang tidak mereka tahu, selepas kepergian dua orang itu, hawa di dalam ruangan menjadi berubah. Bahkan oikawa saja sampai merasa canggung setelah menyadari apa yang terjadi.

“Udah tua ya lo...” ucap kuroo basa-basi sambil mendudukkan diri di kursi teras. Disusul dengan bokuto yang duduk di depannya.

Bokuto menimpali, “Lo juga anjir...”

“Masih dua bulan lagi. Sekarang gue lebih muda dari lo..”

Keduanya tertawa. Bercerita hal-hal random yang tengah mereka alami akhir-akhir ini. Seperti Leo—kucing kuroo— yang ternyata menghamili kucing betina ibu kos kuroo. Atau tentang pelatih bokuto yang kemarin memarahinya lantaran bokuto kerap menghilangkan bola voli milik klub mereka.

“Yah gimana ya bok, orang kalo kena spike lo kayanya langsung pingsan deh.. apalagi bola gitu, mental ke mana-mana,”

“Ah lebay lo, kagak ah. Kebetulan aja bolanya susah ditemuin abis gue spike..”

“Spike lo kenceng banget anjir. Fyi aja nih tangan gue sempet sakit waktu pertama kali nge-block lo...”

Begitu seterusnya, hingga suara ketukan pintu dari seseorang menghentikan gelak tawa mereka.

Seseorang itu berdehem lalu berkata,

“Kak, perut gue agak sakit. Di dalem katanya gak ada pain killer, boleh minta tolong beliin?” ucapnya sambil memegang perutnya.

Bokuto panik dan kalut. Ia takut orang yang ia bawa kemari kenapa-kenapa. Lantas ia berdiri dan mendekati akaashi yang muncul di dekat pintu. Kuroo, walaupun sempat kesal tak beralasan dengan akaashi, juga menjadi panik dibuatnya.

Karena akaashi yang datang dengan kondisi seperti itu, dengan cepat ia bergegas untuk keluar membeli obat yang diminta akaashi.

“Pake motor gue aja nih,” ucap kuroo sambil memberikan kunci motornya ke bokuto.


Setelah suara motor kuroo yang ditunggangi bokuto menghilang, kuroo menyuruh akaashi untuk duduk dulu di salah satu kursi teras.

Melihat akaashi yang masih memegangi perutnya, kuroo menjadi sedikit kasihan. “Perut lo kenapa? Mau gue buatin teh anget?” tanyanya.

Setelah kuroo menanyakan hal itu, hal yang terduga terjadi. Akaashi yang tadinya memegangi perutnya sendiri mendadak duduk dengan santai. Ekspresinya biasa saja, kalem dan tidak menunjukkan rasa sakit sama sekali.

“Gak usah kak, perut gue gak apa.” ucap akaashi santai.

“Lah? terus ngapain minta obat?” tanya kuroo yang hanya dibalas endikan bahu oleh orang yang ditanya.

What the actual fuck is going on here, batin kuroo. Ia menatap akaashi bingung, ia tidak habis pikir. Sebenarnya apa mau orang di depannya ini. Sengaja menginterupsi kegiatannya dengan bokuto?

“Kak...” panggil akaashi.

Kuroo menoleh, namun tidak menjawab panggilan itu.

“Hmm gimana ya ngomongnya...”

Kuroo yang greget melihat akaashi tak segera mengutarakan pikirannya, “Ngomong aja,” ucapnya.

“Maaf banget nih misal nyinggung lo, tapi bisa enggak kalo lo ngetreat gue biasa aja?”

“Maksud lo?” kuroo dibuat bungkam oleh pertanyaan akaashi. Jadi dia pura-pura tidak tahu.

“Gue liat-liat dari tadi sejak gue dateng, lo tuh ketus ke gue, di saat yang lain welcome banget. Kerasa dari cara lo ngeliat gue kak,” ucapnya.

“Gue ada salah sama lo?” tanya akaashi lagi saat kuroo tak kunjung menanggapi.

“Hah apaan, orang enggak,” jawab kuroo.

Well, sebenarnya kuroo mengakui hal itu. Tapi tidak mungkin kan kalau ia akan berkata seperti apa adanya kepada akaashi?

Lagian memang akaashi kok yang tingkahnya membuat kuroo jengah. Ia sendiri sadar sudah dibuat jengkel dengan tingkah laku orang di depannya ini, terutama saat kejadian di Shelter itu.

“Sayangnya iya kak..” akaashi kembali berbicara, “—sadar gak sadar lo begitu ke gue,”

“Lo bersikap kaya keberadaan gue di sini bikin lo gak nyaman, keliatan kok. Tapi sorry, kak bokuto sendiri yang ngajakin gue ke sini.”

Kuroo mendengus, kemudian tersenyum miris kepada akaashi.

Kalau ditanya apakah kuroo ingin kabur? tentu saja ia ingin kabur. Ia tidak ingin menghadapi situasi yang membuatnya resah ini. Terlebih ia dari tadi merasa diserang oleh kata-kata akaashi. Tapi karena telah terselimuti kabut emosi dan gengsinya yang tiba-tiba meniggi, kuroo mau tidak mau tetap tinggal. Ia tekadkan diri untuk menanggapi semua celotehan akaashi.

Kata-kata yang dilontarkan akaashi pun turut membuat darahnya berdesir, dadanya bergemuruh hebat, napasnya memendek. Jadi ia tanggapilah kata-kata akaashi yang membuatnya naik pitam itu.

“Udah ngerasa deket banget ya lo sama bokuto sampe mau diajakin ke mana-mana?”

“Lumayan sih,” ucap akaashi sambil balik tersenyum.

By the way, gue tau semuanya loh kak..” lanjutnya. Kuroo menaikkan satu alisnya, meminta penjelasan lanjut atas ucapan akaashi.

“Tentang lo sama kak bo,” ucap akaashi. Ia sandarkan badannya ke sandaran kursi teras. Mendongakkan kepalanya ke langit-langit.

“Kak bokuto cerita semuanya. Well, awalnya dia gak mau cerita sih dan malah nutupin. Jadi bisa dibilang itu hasil gue gali informasi...”

Kuroo benar-benar tidak habis pikir. What a busybody. Kenapa akaashi ini mengorek informasi tentang ia dan bokuto, saat ia sendiri bahkan ingin menghapus kenangan buruk yang akhir-akhir ini terjadi. Come on, gue baru aja baikan sama bokuto. Tapi sekarang malah diungkit lagi, batin kuroo.

“Dan kenapa lo ngelakuin itu? emang apa yang lo dapetin?” kata kuroo.

“Loh, bukannya wajar ya kak kalo lo tertarik sama seseorang, terus lo pengen cari tau tentang orang itu?”

Akaashi bercerita kepada kuroo, bagaimana awal mulanya mengenal bokuto. Bagaimana laki-laki supel itu mengajaknya mengobrol saat memesan salah satu menu minuman. Bagaimana ia yang sering diberi gombalan murah oleh bokuto terkait kopi yang minder karena manisnya sudah diambil oleh pembuatnya, yang mana adalah akaashi.

Dan hal itu membuat kuroo mencelos. Ternyata waktu itu, bokuto tidaklah iseng. Tweet itu bukanlah keisengan semata.

Semua kata-kata yang keluar dari bibir akashi membuat kuroo semakin pening. Emosinya memuncak.

“Dan waktu itu dia keliatan lagi down banget, jadi gue tanyain tentang love life dia waktu itu..”

And turned out that you're his biggest heartbreak..

“Dia terlalu baik buat lo kak,”

Akaashi tertawa, tawa yang mampu membuat siapapun kesal jika mendengarnya. Perlu diketahui kalau kuroo sekarang mati-matian menahan amarahnya.

“Atas dasar apa lo ngomong kaya gitu?”

“Sikap lo ke dia, kak. Gue tau apa yang lo lakuin itu bener-bener jahat sih,”

“Kak bo cerita semuanya ke gue, dan perlu diinget dia cerita tanpa ngejelekin lo sama sekali. Bahkan dia sempet muji-muji lo di antara curhatannya yang berentet itu..”

“Dari situ gue tau kak, sorry to say tapi menurut gue lo gak worth banget buat dia, even as a friend.”

Ia diberi tahu tentang bokuto yang bercerita tentang dirinya dan segala yang terjadi di antara mereka. Kata akaashi, bokuto bercerita apa adanya dan malah cenderung menyalahkan dirinya sendiri.

Don't you feel ashamed staying by his side after all you did to him?”

Kuroo tidak bisa berkata apapun. Mulutnya serasa dibungkam habis-habisan. Ia tidak tahu bagaimana menanggapi kata-kata akaashi yang menurutnya omong kosong ini. Demi apapun, dari tadi tangannya sudah terkepal.

“Lo dan sikap sok tau lo...” tanpa sadar suara kuroo meninggi.

Ia membuang napasnya gusar sembari memijat pelipisnya.

“Sabar gue ada batesnya ya, akaashi.” lanjutnya.

Akaashi tersenyum santai sambil meminum minuman yang tadinya milik bokuto. Hal itu tentunya membuat kuroo semakin merasa terbakar. Dari tadi ia menahan dirinya, namun ia tidak tahu apa yang akan terjadi di depannya kalau orang yang bersamanya kini terus-terusan membuka mulut.

“Maaf ya kak, gue jadi ngomong banyak banget. Tapi ada beberapa hal yang mau gue sampein ke lo sebelum gue pulang,”

“Lo gak perlu ngetreat gue kaya karakter sampingan yang ngerebut kak bokuto dari lo, karena dia sendiri yang dateng ke gue. Dan sekarang giliran gue yang ambil alih peran lo,”

“Anjing, peran apaan sih?” kuroo tidak sadar menggebrak meja di depannya. Ia sendiri sudah mulai kehilangan kendali.

“Gue sekarang yang nyembuhin dia, dengerin dia, nyenengin dia. Seharusnya lo sebagai temen yang ngelakuin itu, tapi yang ada malah lo nyakitin dia...”

You become the main source of his pain,” ucapnya.

“Dan satu yang perlu gue tekanin lagi, kak. Lo tuh masa lalu kak bokuto. Gue kasian banget ngeliat posisi dia sekarang,”

Akaashi menghela napas, kemudian menatap kuroo tajam tepat di manik matanya. Dibalas tatapan nyalang dari kuroo.

“Jadi please kak, kalo lo masih punya hati, biarin kak bokuto nemu kebahagiaannya sendiri,” kata akaashi.

“—dan gue yang bakal bantuin dia nemuin kebahagiaan itu.”