Sunrise


Sudah berhari-hari kuroo memikirkan tentang hubungannya dengan bokuto, juga tentang hal yang membuatnya merasa ada yang mengganjal. Pikirannya tersita akan hal itu. Niat hatinya ingin menanyakan hal tersebut pada orang yang bersangkutan, namun waktu tak kunjung memihaknya.

Hingga malam—pagi— ini, bokuto tiba-tiba mengajaknya untuk jalan-jalan. Tepat pukul dua pagi saat ia bergelut dengan pikirannya setelah terbangun dari tidurnya. Entah ke mana bokuto akan membawanya kali ini, ia tidak ambil pusing. Ia hanya butuh berbicara dengan bokuto. Jadi saat orang itu mengatakan bahwa ia sudah ada di luar kos, dengan segera kuroo mengambil jaketnya dan menemui bokuto.

“Laper kan? makan dulu yuk?”

“Ke mana? emang ada yang buka jam segini?”

Drive Thru biasanya,” bokuto mengedipkan satu matanya ke kuroo.

Kuroo pun langsung mengiyakan tawaran bokuto. Mereka menuju tempat makanan cepat saji yang dimaksud bokuto, memesan banyak makanan dan melanjutkan perjalanan mereka.

Sebenarnya kuroo tidak tahu bokuto akan membawanya ke mana. Tapi ia ikut saja, tidak peduli ke arah mana mereka melaju. Ke mana pun tujuannya dan apapun tempatnya, jika kamu bersama orang yang tepat, maka akan terasa benar.

Hingga tibalah mereka di suatu tempat. Seperti lokasi untuk layar tancap. Serius bokuto mengajak menonton film di pagi hari begini? Ia heran pada awalnya. Namun setelah dipikir-pikir lagi, keheranannya sirna. Alasannya sudah jelas, karena itu bokuto.

Dua setengah jam mereka menghabiskan waktu dengan menonton film di tempat itu. Film komedi lama yang diputar kembali. Sekeliling mereka adalah orang-orang entah dari mana, yang ikut menonton sesekali terbahak karena adegan lucu dari film itu.

“Lo dapet ide ginian dari mana sih, bo? random tau.”

“Temen gue anak perfilman ngasih tau event ini,” ucap bokuto. “Tuh anaknya lagi jaga di sebelah tenda sound system.”

Bokuto menunjuk orang jauh di sana.

Kuroo tidak habis pikir.

“Jam segini banget?”

“Ini film terakhir, emang sengaja diputer sampe pagi.”

“Oh gitu,” kuroo mengangguk paham. “Konsep dekornya bagus juga,”

“Iya, temanya nostalgia.” ucap bokuto.

Sial. Cocok sekali dengan keadaan mereka kali ini kan? Nostalgia. Mengingat kenangan masa lalu. Tiba-tiba kuroo jadi mellow sendiri.

Kemudian keduanya melanjutkan menonton film, sesekali melahap makanan yang sebelumnya mereka beli itu.

Tak jarang kuroo ikut terlarut dalam film yang ditayangkan, mengesampingkan fakta bahwa jantungnya berpacu kencang karena ada di tempat seperti ini bersama bokuto, orang yang ia sayangi.

Laki-laki bersurai hitam itu juga kerap meledakkan tawa tatkala ada adegan lucu yang membuat perutnya geli. Dan menyunggingkan senyum saat ada adegan yang dianggapnya menarik.

Kemudian perhatiannya teralih ke bokuto, yang juga mendengus geli sambil menatap kuroo dalam dan lembut.

“Kenapa kok ngeliatin gue gitu?” tanya kuroo.

“Gue lebih menarik dari filmnya ya?”

“Iya.” ucap bokuto lugas.

“Kalo gue senyum dan ketawa kaya gitu, gue bakal semanis lo gak ya?”

Bangsat, bokuto bangsat. batin kuroo.

“Paan sih lo.” kuroo mengalihkan perhatiannya.

Sudah berapa kali ia dibuat salah tingkah begini oleh bokuto? banyak. Ia sendiri sudah kehilangan hitungan saking banyaknya. Meskipun banyak begitu, pipinya tak akan bosan untuk memerah dan perutnya tetap tak berhenti mendapat sensasi seperti dihinggapi ribuan kupu-kupu.

Bokuto tertawa pelan, kemudian melanjutkan menonton filmnya. Lain dengan kuroo yang memainkan ponselnya sembari menata detak jantungnya, berharap agar orang di sampingnya ini tidak menyadarinya.


Setelah film berakhir dan menampilkan kredit di bagian akhir, akhirnya keduanya memutuskan untuk berpindah pergi dari tempat itu. Mereka melanjutkan perjalanan dengan iringan lagu yang diputar oleh bokuto. Kali ini, kuroo juga tidak tahu akan dibawa kemana oleh bokuto. Namun ia tetap tidak keberatan. Ke manapun, asal dengan bokuto.

Keduanya membicarakan tentang kehidupan perkuliahannya. Seperti kuroo yang sebentar lagi akan sibuk piket di laboratorium. Atau tugasnya yang menumpuk dan membuatnya hampir gila. Bokuto pun juga turut menanggapi dan sesekali mengatakan sesuatu tentang perkuliahannya sendiri.

By the way, lo kemarin diomongin cewek-cewek di angkatan gue,”

“Widih, asik dong? orang ganteng wajar kalo diomongin..”

“Dih, besok gue kasih topi baru ya soalnya kepala lo makin hari makin besar..”

Tawa bokuto meledak. Kemudian ia tersenyum dan menggelengkan kepalanya pelan.

“Gue gak tertarik kok, tenang aja.”

Dengan kalimat sederhana itu pun diam-diam kuroo merasa tenang. Seperti membuatnya yakin kalau bokuto ini miliknya sepenuhnya. Padahal tidak juga.

Ia menyandarkan badannya ke jendela, diam-diam mengulum senyum. Ah, jadi begini rasanya punya waktu dengan orang yang disukai. Quality time dengan seseorang yang bukan milik orang lain. Menghabiskan waktu dengan bokuto bisa jadi opsi pertama yang ia inginkan saat diberi kesempatan.

Ia mengedarkan pandangannya ke jalanan luar yang menanjak. Kuroo mengira bokuto akan membawanya ke puncak gunung. Ia sempat akan protes karena ia tidak terlalu suka gunung, karena dingin dan membuat telinganya sakit. Namun ia tidak segera mengeluarkan suaranya. Ia membiarkan bokuto membawanya ke manapun mereka pergi.

Setelah beberapa saat, mobil mereka berhenti di suatu area. Bukan area puncak seperti dugaan kuroo. Area ini lebih seperti pinggiran tebing, yang diberi batas aman dari alumunium, seperti area yang memang dibuat khusus untuk menikmati pemandangan di daerah itu.

Bokuto keluar dari mobil, kemudian membukakan pintu untuk kuroo. Mengisyaratkan agar laki-laki bersurai hitam itu beranjak dari posisinya.

“Kenapa kok berhenti di sini?” tanya kuroo saat keduanya sudah berada di luar mobil. Keduanya bersandar di mobil bokuto, menghadap pemandangan kota di bawah sana dengan gemerlap lampu yang terang.

Namun bokuto tidak menjawab pertanyaan kuroo dengan segera. Yang ada ia hanya menarik napas pelan sambil menggaruk bagian belakang kepalanya yang tertutup hoodie.

“Tetsu...”

Bokuto memanggil kuroo lembut.

“Ya?”

“Gue mau ngomong. Dengerin baik-baik ya karena gue malu banget buat ngulangin ini dua kali. Mungkin agak cringe sih, tapi bodo amat lah, gue tetep pengen ngomong ini ke lo.”

Kuroo diam seribu bahasa. Ia mengerti ke mana arah pembicaraan ini. Jika bokuto sudah mode begini, pastinya ia akan membahas tentang hubungan di antara mereka. Jadi kuroo juga mempersiapkan dirinya. Ternyata bokuto juga memikirkan itu akhir-akhir ini, tidak hanya ia sendiri.

“Jangan ketawa ya,”

Kuroo mengangguk, mengisyaratkan akan menyimak bokuto dengan seksama.

“Tetsu, lo tau kan kita udah bareng-bareng dari jaman SMA? enam tahun lebih kalo dihitung. Gue udah tau lo orangnya gimana, lo juga udah tau gue orangnya gimana. Baik buruknya gue, lo tau dan lo bisa nerima. Selama ini gue juga begitu ke lo.”

“Dari dulu sampe sekarang, lo temen gue yang paling bisa ngertiin gue.”

Bokuto memainkan jarinya pelan. Tatapannya tertuju ke depan, menatap kemerlip lampu kendaraan di bawah sana.

“Dan kebetulan, akhir-akhir ini gue sadar kalo lo udah gak bisa dianggep temen lagi. I want you more than that. Gue juga tau lo ngerasain hal yang sama.” ucap bokuto.

Bokuto menarik napasnya pelan sebelum melanjutkan perkataannya.

“Banyak hal yang bikin kita berantem, marahan, saling ngatain, dan hal lain yang gak bisa gue sebutin satu per satu. Tapi itu semua udah lewat sampe kita ada di tahap ini sekarang. Jadi daripada buang-buang waktu lagi...”

“Lo mau gak lanjutin ini sama gue sampe nanti? lanjutin hubungan ini ke tingkat lebih dari temen. Lo sebagai orang yang gue miliki seutuhnya dan sebagai orang yang gue sayangi. 'Cause i'm completely in love with you.”

Kuroo terdiam. Pandangannya tertuju pada bokuto yang terlihat gugup dan berusaha menutupinya dengan mengepalkan tangannya.

“Gue bakalan jadi orang paling bahagia kalo lo terima tawaran gue dan mau sama gue.” Bokuto menolehkan kepalanya menghadap kuroo, dan melemparkan senyum tipis.

“Bo...” kuroo terenyuh.

“Lo sama gue aja ya, biar lo gak usah cari orang lain yang suka jemput lo waktu abis ngelab. Lo sama gue aja biar lo gak susah-susah jelasin ke orang kalo lo suka bangun siang.” ucap bokuto.

“Sama gue aja, biar lo gak usah ngasih tau orang tentang diri lo lagi. Lo sama gue aja, yang udah tau kebiasaan lo kalo minum suka lupa diri.”

Bokuto tertawa sesaat. Membuat kuroo teringat kebiasaannya kalau minum dan tidak ingat apapun paginya.

“Lo sama gue aja, biar lo gak usah repot-repot ngasih tau ke orang lain kalo lo gak tahan dingin.” lanjut orang itu.

“Jadi, lo sama gue aja ya? jangan cari orang lain. Cukup gue aja, yang siap lahir batin sama lo.” ucap bokuto final.

Bokuto mengatakan begitu banyak hal tentang perasaannya pada kuroo. Dan hal itu membuat kuroo ingin menangis saat itu juga. Wajahnya memanas, mungkin pipi dan telinganya sudah terlihat memerah sekarang.

Ia tidak menyangka bahwa bokuto bisa berkata hal-hal seperti itu padanya. Karena setahu kuroo, bokuto itu bukanlah tipe orang yang sering mengekspresikan perasaan sayangnya melalui kata-kata. Tapi malam ini, tepat saat ia sendiri ingin membicarakan hal itu dengan bokuto, orang itu malah membuatnya kehabisan kata sendiri dengan tutur manisnya.

Badan dan pikiran kuroo tak kunjung merespon perkataan bokuto. Terlebih saat bokuto mendekatkan badannya ke kuroo, hingga ia bisa merasakan hangatnya badan itu. Ia membeku, bukan karena hawa dingin saat itu, tapi karena wangi bokuto yang seperti candu.

Ia merasakan telapak tangan kanan bokuto menyentuh pipi kirinya perlahan, mengusapnya sayang dengan ibu jari. Ia juga bisa merasakan napas bokuto yang tenang bersamaan dengan wajahnya yang mendekat.

Push me away if you hate it,” bisik bokuto.

Dan hal terakhir yang ia lihat adalah bokuto yang turut memejamkan matanya seraya memangkas jarak di antara mereka. Menyatukan bibir mereka perlahan.

Setelah itu, yang ia rasakan adalah bibir bokuto mengecupnya secara pelan dan pasti. Tidak terlalu menuntut, namun dengan mudah membawanya larut dalam lumatan kecil yang manis dan hangat.

Bokuto menciumnya. Untuk yang kedua kalinya. Kali ini dengan kesadaran penuh. Dan kuroo tidak bisa lebih berterima kasih akan hal itu.

Kenyataan bahwa ia tidak mendorong bokuto, membuatnya tak ambil ragu-ragu. Maka ia balas pagutan bokuto dan semakin memperdalam ciuman mereka. Bokuto mendekatkan badan mereka dengan menarik pinggangnya. Kuroo yang menikmatinya pun mengulurkan kedua tangannya, mengusap rahang tegas bokuto pelan.

Hangat dan manis, pikir kuroo.

Bokuto mencium kuroo dengan tenang dalam durasi yang cukup panjang, hingga ciuman panjang itu berakhir dengan kecupan kecil.

Setelah itu kuroo pun memeluk bokuto, menempatkan dirinya dalam dekapan orang itu. Menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher dan bahu kokoh itu. Sesekali menyesap wangi parfum bokuto yang enggan pergi dari ingatannya.

“Lo harus tau sepengen apa gue ngelakuin hal ini sama lo dari dulu,” ucap kuroo yang masih ada dalam pelukan bokuto.

Mendengar itu bokuto tertawa pelan, sesekali mengusap punggung dan tengkuk kuroo. Rengkuhan itu kemudian dilonggarkan, memaksa kuroo lepas dari badan orang itu. Kuroo pun merasa bokuto memandangnya tepat di maniknya, membuatnya mengangkat alis bingung.

“Jadi gimana? tawaran gue tadi diterima gak?”

Kali ini giliran kuroo yang tertawa pelan, yang dilempari tatapan heran dari laki-laki bersurai kelabu itu.

“Lo ngajak gue pacaran udah kaya ngasih tawaran asuransi anjir,” ucap kuroo.

It sounds promising,”

Bokuto tersenyum tipis. Ia bersandar di mobilnya dengan satu tangan sambil memandangi kuroo.

Kuroo pun teringat bahwasanya ia juga ingin membicarakan hal ini dengan bokuto. Namun bahkan sebelum ia sempat bicara, bokuto sudah memulai topik ini terlebih dahulu.

“Jujur gue juga mau ngomongin ini sama lo tapi malah keduluan lo,”

“Curi start dong gue?” bokuto tertawa pelan.

“Iya..”

“Jadi gimana?”

Kuroo menggigit bibirnya pelan, menahan senyumnya saat memandangi wajah bokuto. Kemudian ia mengalihkan pandangannya ke depan.

“Enggak sekarang, bo.”

“Lah?”

Kuroo beranjak dari posisinya, kemudian berjalan menjauhi bokuto sehingga terdapat sedikit jarak di antara mereka. Ia mengedarkan pandangannya untuk melihat suasana kota di bawah sana.

“Jujur aja gue masih ada yang ganjel,” kata kuroo.

“Kaya ada sesuatu yang nahan gue buat bisa sama lo, dan itu bener-bener bikin gue kepikiran. Kalo ditanya gue mau sama lo? mau lah, gak usah diraguin lagi. Tapi gue belum bisa lega, semacem ada sesuatu yang belum selesai... dan gue kira itu karena masalah kita sama akaashi.”

Kuroo menekankan kata 'kita' di ucapannya.

Bokuto tak kunjung menjawab, dan itu membuat kuroo menolehkan kepalanya ke belakang menghadap orang itu.

“Maaf ya gue malah jadi mikirin akaashi di waktu begini.” ucap kuroo.

Bokuto kemudian juga ikut beranjak dari posisinya, menjauhi mobilnya dan mendekati kuroo. Ia rangkul pelan pundak kuroo dan mengusapnya. “Iya gue paham kok, gak papa..”

Kalau bokuto boleh jujur, ia sendiri sebenarnya sudah tidak ada masalah dengan akaashi. Ia merasa pertemuan mereka terakhir kali sudah membuat semuanya menjadi jelas. Tidak ada perasaan mengganjal sama sekali. Namun jika kuroo begini, mau tak mau ia juga harus bertindak kan?

“Mau ketemu akaashi?”

“Becanda lo?”

“Enggak, serius..” bokuto menyunggingkan senyumnya pelan. “Biar masalah clear, dan lo gak ada hard feeling sama dia.”

Kuroo memandang bokuto skeptis.

“Misal nanti lo disiram air, tenang yang basah bukan cuma lo aja, tapi gue juga. Oke?” bokuto meyakinkan kuroo.

“Lagian udah lumayan lama juga kan?”

Kuroo yang merasa sedikit tenang pun mengangguk, menyetujui penawaran bokuto barusan. Bokuto pun memberitahunya kalau ia yang akan menghubungi akaashi terlebih dahulu sebelum merencanakan pertemuan mereka bertiga.

Setelah itu, bokuto menarik pergelangan tangan kuroo untuk mendekat ke mobilnya. Kemudian mengambil selimut yang entah bagaimana sudah ada di bagasi mobil bokuto. Setelah itu mengajak kuroo untuk menduduki bangku di dekat sana, menghadap ke arah timur.

“Buat sekarang, fokus ke kita dulu. Jawaban lo bisa dipending kapan-kapan.”

Kuroo mengangguk, menuruti perkataan bokuto. Ia sandarkan kepalanya ke pundak bokuto usai laki-laki itu memasangkan selimut untuk mereka berdua.

Kenapa kita gak kaya gini aja dari dulu sih? batin kuroo menggebu. Seandainya saja ia lebih jujur sebelumnya. Andai ia jujur ke bokuto dan dirinya sendiri, ia tidak akan melalui proses panjang dan melelahkan itu.

Namun ia kemudian juga sadar, bahwa proses itu lah yang membuat semuanya berarti. Semua proses jatuh bangun itulah yang membuat ia menyadari arti penting kehadiran orang ini. Ia tertawa pelan saat menyadari kebodohannya sendiri.

“Kenapa kok ketawa?” tanya bokuto yang hanya dijawab gelengan oleh kuroo.

“Bo,” panggil kuroo.

“Iya?”

“Pulangnya mampir ke bubur yang dulu itu ya? ngangenin juga ternyata.”

“Oke..”

Bokuto duduk sambil mengeratkan rengkuhannya di pundak kuroo. Baik selimut dan rengkuhan bokuto, keduanya membuat badan kuroo menghangat. Juga matahari yang mulai menampakkan dirinya di ujung sana.

What a beautiful sunrise.

. . .

© caessonia