The Reason


Today is the day.

Hari di mana kuroo akan bertemu dan berbicara dengan bokuto mengenai masalah yang sedang terjadi. Ia sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya, ia tak mau ambil pusing. Apapun yang ada di benaknya, mungkin akan ia utarakan. Ia ingin semuanya ini jelas.

Karena bokuto pun sudah berniat jujur kepadanya, maka ia terimalah ajakan bokuto. Ia tidak mau bokuto datang ke tempatnya, jadi ia sendiri menawarkan untuk datang ke rumah yang bersangkutan.

Alasannya? simple saja. Seandainya terjadi sesuatu yang tidak ia inginkan, ia lah yang akan angkat kaki.

Maka tibalah ia di sini, di depan rumah bokuto yang dulu selalu ia singgahi paling tidak dua kali dalam seminggu. Di kedua tangannya sudah ada dua bungkusan tas kecil. Jadi sebelum sampai tempat tujuan, kuroo berinisiatif memberikan oleh-oleh kecil untuk mama dan kakak perempuan bokuto. Setelah itu, masuklah ia ke dalam rumah itu dan disambut oleh dua orang yang ia rindukan. Kakak perempuan bokuto dan mamanya.

Terjadilah percakapan singkat antara mereka, sekadar berpelukan dan bertegur sapa, serta saling menanyakan kabar. Setelah beberapa saat mengobrol dengan dua orang itu, kuroo dipersilakan untuk menuju kamar orang yang ingin ia temui.

Jadi di sinilah ia, di depan kamar bokuto. Jantungnya serasa mau berpindah dari tempatnya, saking menggebu-gebunya. Ia kepalkan tangannya yang agak gemetar itu, lalu mengarahkannya ke pintu putih yang membatasi ruangnya dengan bokuto.

Ia ketuk pintu itu tiga kali. Tak ada jawaban untuk beberapa saat dan itu membuat kuroo semakin gusar.

“Bokuto, lo di dalem?” ucapnya sambil mengetuk pintu lagi.

“Iya, masuk aja...” jawab seseorang dari dalam kamar.

Good god, please go easy on me, batin kuroo.

Karena sudah dipersilahkan, kuroo segera masuk ke kamar tersebut dan menemukan bokuto yang sedang akan berdiri menyambutnya. Ia lihat bokuto mengeringkan rambutnya yang setengah basah. Sudah jelas bahwa orang itu baru saja selesai mandi.

Tatapan mereka bertemu, dan itu membuat kuroo membeku seketika di tempatnya.

“Masuk dulu aja, gue ambilin minum bentar..”

Bokuto melewati kuroo, sambil menepuk pundaknya pelan. Kuroo yang seolah disadarkan dari hipnotis, segera kembali ke kesadarannya. Aroma tubuh laki-laki bersurai kelabu itu memaksa masuk ke indera penciumannya. Sangat menenangkan.

Ia langkahkan kakinya masuk ke kamar itu, kamar yang menjadi saksi bisu awal mula semua hal antara ia dan bokuto bisa terjadi.

Matanya tertuju pada balkon ruangan yang menghadap ke halaman belakang rumah. Suasananya sangat sepi, cocok untuk mengobrol tanpa ada gangguan.

Lantas ia langkahkan kakinya ke balkon itu, kemudian mendudukkan dirinya di satu kursi di sana. Mematikan ponselnya, karena ia sendiri tidak mau ada interupsi. Semua harus jelas, semua harus tuntas.

Setelah beberapa saat menunggu, bokuto muncul dengan dua cangkir kopi susu di tangannya. Ia ulungkan salah satunya ke kuroo, kemudian mendudukkan dirinya di sebelah kuroo.

“Udah makan?”

Kuroo menggeleng. Memang benar ia belum makan sebelum ke sini tadi. Mana sempat? pikirnya. Ia terlalu sibuk memikirkan tentang semua ini, hingga perutnya menolak untuk diisi.

“Sip, mama masak di bawah. Nanti makan dulu ya?”

Hanya dijawab gumaman rancu oleh kuroo, antara ya dan tidak. Ia masih asik melihat halaman belakang rumah bokuto, tepatnya ke kolam ikan kecil di bawah dengan suara pancuran air yang mengisi keheningan mereka.

“Katanya kangen gue, tapi yang diliatin malah ikan koi.”

Kuroo merasa seperti tersambar petir.

“Paan sih lo bok,” kuroo salah tingkah sendiri. Bokuto malah nyengir tipis sambil tertawa.

“Tetsu...” panggil bokuto, dan hanya dijawab gumaman oleh yang lawan bicaranya.

Dan lagi. mendengar bokuto menyebut namanya seperti itu secara langsung, membuat jantungnya terpacu kembali.

“Gue ini rese ya?” tanya bokuto yang berhasil mengalihkan perhatian kuroo.

Manik mereka bertemu. Dan ekspresi yang kuroo temui adalah ekspresi yang tidak bisa ia definisikan. Air muka bokuto seolah-olah menampilkan emosi, kesedihan, dan ketakutan. Ia tidak tahu pasti.

“Tetsu, maafin gue ya. Gue minta maaf udah bohong sama lo selama ini,” ucap bokuto pelan.

Wow, bokuto langsung to the point saja. Kuroo pikir, bokuto akan basa-basi terlebih dahulu, nyatanya laki-laki itu malah langsung berbicara tepat sasaran tanpa mengulur lagi.

Sebenarnya kuroo pun ingin menjawab perkataan bokuto tadi, namun ia urungkan niatnya saat bokuto mulai meneruskan apa yang sudah mulai.

“Gue bohong ke lo tentang malem itu. Remember that night?” tanya bokuto.

“Waktu lo tanya ke gue, gue bilang kalau gak kejadian apa-apa.” ucap bokuto, “—padahal nyatanya ada. Something bad happened and i think i couldn't fix it.

Suaranya terdengar getir dan sedikit gemetar. Kuroo bisa melihat ketakutan terselip di antara kata-kata yang diucapkan oleh bokuto.

“Gue minta maaf banget, tetsu. Tolong maafin gue yang brengsek ini, walaupun gue tau itu susah...” ucap bokuto yang lebih terdengar seperti memohon.

Kuroo yang tidak segera menjawab pun membuat bokuto harap-harap cemas. Ia menggerakkan kakinya berulang. Ini adalah kebiasaan bokuto saat ia gelisah, kuroo tau betul tentang itu.

“Lo boleh kalo mau nonjok muka gue sekarang juga, i deserve it anyway,

“Bok..”

“Gak seharusnya gue ngelakuin itu ke lo—”

“Bokuto!”

Bokuto sedikit tersentak lantaran suara kuroo yang memanggil namanya dengan nada tinggi. Lantas ia angkat kepalanya yang daritadi menunduk itu untuk menemui raut wajah kuroo yang tidak dapat ia tebak.

“Kalem bok,” ucap kuroo sambil menepuk kaki bokuto pelan, mengusapnya agar setidaknya menenangkan orang di sampingnya. Ia ingin semuanya berjalan secara pelan dan jelas, tidak perlu terburu-buru.

“Gue gak keberatan,” ucap kuroo jujur. Ia mengangguk ke bokuto setelah mengucapkan itu seolah ia meyakinkan sang lawan bicara.

“Gak tetsu, lo gak tau apa yang lo omongin.”

Beginilah rasanya jika sesuatu yang kamu rasakan malah diragukan orang lain. Apapun yang kamu pertaruhkan, tidak dianggap benar-benar terjadi oleh orang lain. Ini lah yang dirasakan kuroo, dan itu membuat dirinya merasa jengkel. Berkebalikan dengan keinginannya yang tadi, yang ingin ini semua berjalan pelan dan tenang.

Padahal kuroo sudah membuang harga dirinya jauh-jauh dari sini, ia sudah meninggalkan harga dirinya entah di mana. Tapi yang ia dapat hanya rasa tidak percaya dari bokuto.

Dan apa ini? malah bokuto yang menjadi denial.

I'm sorry, it was a mistake.” ucap bokuto.

“Apa yang bikin lo mikir begitu sih bok?”

Bokuto terlihat menggigit bibirnya sekali-kali. Mengalihkan pandangannya ke arah lain. Terlihat jelas sedang berusaha mengurangi kegugupannya, padahal yang terjadi malah sebaliknya.

“Lo...”

“Gue?”

“Iya. sekarang gue balik tanya ke lo,” ucap bokuto, “Lo sadar gak sih waktu kita ngelakuin itu?”

Kuroo tidak menjawab. Kalau boleh jujur, sebenarnya kuroo tidak sepenuhnya sadar. Jika bukan karena oikawa yang memberitahunya, kemungkinan besar ia tidak akan ingat. Mungkin ingat, tapi ia hanya akan berpikir kalau itu adalah mimpi atau tidak akan mengungkit itu lagi. Ia setengah sadar, ia tidak tahu betul apa yang ia lakukan malam itu, yang ia tahu hanya ada bokuto.

Apapun yang terjadi, jika itu dengan bokuto, ia tidak keberatan.

Walaupun ia pada awalnya menyangkalnya habis-habisan, akhirnya ia bisa berdamai dengan diri sendiri. Perlu diketahui bahwa seliar-liarnya kuroo, ia tidak akan sembarangan mencium orang waktu mabuk. Jadi apapun itu, asal dengan bokuto, ia tidak masalah.

Baru saja kuroo mau membuka mulut, bokuto menyelanya. Memberikan beberapa spekulasi pribadinya yang membuat ini semua semakin runyam.

“Kalo lo gak sadar, gue yakin itu pasti kesalahan. And i'm the one to blame,” ucap bokuto.

“Kalo gue sadar gimana?” kuroo berbohong.

“Kalo lo sadar tapi lo ngelakuin itu tanpa maksud apapun, itu lo yang jahat ke gue, tetsu.”

“Gue juga mikir bisa aja waktu itu cuma lagi pas. Situasinya pas, timingnya pas, dan lo yang lagi pas 'kosong'. Bisa aja lo ngelakuin itu tanpa maksud. Bisa aja lo cuma main-main atau coba-coba,”

”....atau bisa aja lo cuma jadiin gue pelarian abis putus.”

“Bentar, lo tau dari mana gue putus?”

“Maaf, gue kemarin ketemu oikawa. Dia ngasih tau gue semuanya,”

Fuck...”

“Lo kenapa gak ngasih tau gue, tetsu?” tanya bokuto yang terkesan menuntut.

Kuroo diam sejenak sembari mengumpulkan kata-kata untuk menyampaikan sesuatu yang dari dulu memenuhi pikirannya.

“Gimana bisa gue ngasih tau lo saat lo sendiri masih asik sama gebetan lo? Saat lo suka main mata sama dia di shelter, padahal jelas-jelas ada gue di sana? Dan saat lo haha-hihi sama dia pergi entah ke mana?”

Mata bokuto melebar, namun ia tidak menjawab. Ia tahu bahwa saat itu ia memang sedang brengsek-brengseknya, tanpa ia sadari tentunya.

“Ngasih tau lo pas itu bakalan bikin gue keliatan menyedihkan, dan gue gak mau itu...”

“Lo kalo jadi gue gimana bok?” tanya kuroo.

“Gimana gue tanya?”

Semua pertanyaan-pertanyaan itu menyerang bokuto tepat di jantungnya, seolah memicu jantungnya untuk berpacu lebih cepat. Lupakan tentang pembicaraan yang tenang, karena keduanya sudah tersulut emosi.

Right, sorry...

Bokuto tidak menjawab pertanyaan kuroo. Alih-alih menjawab, ia hanya mengucap kata maaf yang repetitif. Dan hal itu membuat kuroo mulai jengah dengan keadaan ini.

Keduanya diam untuk beberapa saat, saling larut pada pikiran masing-masing. Ia sesap kopi susu yang tadi dibawakan oleh bokuto sambil menunggu dirinya sendiri tenang.

Screw it, simpen aja kata-kata maaf lo,”

“Balik lagi ke topik tadi,” ucap kuroo.

“Jadi lo mikir kalo gue ngelakuin itu tanpa sadar?” tanya kuroo.

“Atau misal gue sadar pas ngelakuin itu dan tanpa maksud apapun, itu karena gue jadiin lo pelarian?”

Bokuto mengangguk pelan. Jujur saja hal itu memenuhi isi kepala bokuto beberapa waktu ini. Bahkan tadi pagi ia sempat terpikirkan oleh hal ini lagi. Seolah-olah semua ini mengikutinya, menghantuinya, dan membekas di pikirannya.

Kuroo menghela napasnya berat. Ia harus meluruskan semuanya.

“Gue tegasin lagi, anggapan lo semua itu gak bener, Bo.”

“Terus yang bener gimana? kasih gue kejelasan tetsu, please.”

“Jujur aja gue waktu itu setengah sadar. Gue juga mesti kebawa suasana, dan pas itu gue tau kalo itu lo. Yah walaupun paginya gue lupa, tapi sekarang gue inget dan i'm totally fine with that,”

You must be joking right now...

“Bokuto, lo tuh sadar gak sih kalo gue suka sama lo?”

“Hah?”

Bokuto dikejutkan dengan pengakuan kuroo yang tiba-tiba. Memang benar jika beberapa waktu lalu oikawa sudah memberitahunya. Tapi itu tidak serta merta membuatnya percaya. Oleh karena itu ia habiskan waktunya untuk memikirkan itu semua. Dan pemikiran tentang kuroo yang menjadikannya pelarian, menggerogotinya secara perlahan.

Kuroo pun tak mengira kata-kata itu akan lolos dari bibirnya. Ia sama sekali tidak merencanakan apapun malam ini. Ia hanya akan mengikuti alur, dan alur itu membawanya ke tahap ini. Jadi karena sudah basah, ia berpikiran untuk sekalian menyelam saja. Go big or go home, pikir kuroo.

“Gue suka sama lo. Gue kangen banget sama lo. Dan gue gak masalah ngelakuin apapun, kalo itu sama lo.”

You didn't mean it, right?

No, i did. Gue sekarang sober, dan gue serius sama apa yang gue bilang barusan.”

“Gue sayang sama lo bokuto, banget...” kata kuroo sambil tertawa pelan dengan pandangan ke bawah, mengarah pada minuman yang dibawakan bokuto.

“Sesayang itu sampe gue rela ngelakuin apapun sama lo atau demi lo, bok.”

Dan di sinilah kuroo, yang akan mengutarakan semua yang ada di benaknya pada bokuto. Ia sudah terlampau lelah, ia sudah tidak mau apapun lagi. Karena yang ia inginkan hanya satu, dan siapapun pasti tau apa yang kuroo mau. He has nothing to lose anyway.

“Jadi bokuto... mau gue ngelakuin hal bejat kek, hal kotor, baik, konyol sekalipun. Mau kondisi gue sadar atau gak sadar...” ucap kuroo menggantung.

”...asal itu sama lo, gue gak akan keberatan.”

“Kenapa?”

Because you are the reason i never think twice.