Take Care
Sejujurnya kuroo tidak tahu apa yang dipikirkan bokuto saat ini. Ia hanya terlarut dalam keheningan singkat yang menyelimuti mereka berdua. Pikirannya campur aduk, namun ia sadar jika semuanya terpusat pada satu orang, bokuto koutarou.
Sejak ia membuang harga diri dan gengsinya jauh-jauh, kemudian mengutarakan perasaannya pada bokuto, ia ada di kondisi seperti itu. Bokuto tadinya sempat meragukan dan ingin membantah semua pengakuan kuroo, namun laki-laki itu mengurungkan niatnya saat pandangnya bertemu dengan kuroo.
Kuroo benar-benar serius.
Oleh karena itu bokuto pun tidak serta-merta menanggapi. Yang ia lakukan hanya diam, sesekali menghela napas pelan, berharap agar dadanya sedikit menjadi ringan sembari ia menata pikiran. Pandangannya pun sudah tidak mengarah ke kuroo, melainkan ke langit malam yang berawan itu.
“Gue—”
Bokuto memusatkan perhatiannya ke kuroo yang baru saja buka mulut.
“Gue serius, bokuto..”
“Sejak kapan?” tanya bokuto memastikan lagi.
“Gak tau,”
Bokuto mengangguk-angguk paham, tapi masih ada keraguan yang tersirat di kedua maniknya. Lantas ia biarkan kuroo melanjutkan apa yang ingin ia katakan, untuk menjawab semua keraguan itu.
“Kalo lo tanya kapan, gue gak tau pasti. Yang gue tau, gue ini telat sadar. And it was my fault.”
“Lo tau bo.. karena lo kebiasaan ada di samping gue, itu semua gak terlalu kerasa. Tapi waktu lo gak ada, hampanya baru nyiksa..”
“Tets—”
“Dengerin dulu,”
“Gue awalnya biasa aja, gue masih anggep lo temen deket sampe kaya lo bagian dari gue. Dan saat lo mulai gak ada karena kegiatan lo, gue ngerasa kosong. Waktu itu gue masih mikir kalo gue begitu bukan karena gue suka sama lo, tapi cuma kebiasaan sama lo yang selalu ada buat gue dalam kondisi apapun.”
Kuroo menghirup napas panjang setelahnya. Mengatakan ini secara gamblang benar-benar membuat energinya terkuras.
“Serius gue biasa aja, karena gue tau kalo lo bakalan balik lagi ke gue. Gue sakitin, lo balik lagi. Gue tolak, lo balik lagi buat gue. But there's this turning point, di mana ada kemungkinan lo gak bakal balik karena udah ada orang lain...”
”... di situ gue tau sesuatu, gimana sakitnya waktu liat lo ketawa sama orang lain. Dan itu cukup buat nyadarin gue, kalo gue ini suka sama lo, bokuto.”
Bokuto dan kuroo sudah melupakan minuman yang sekarang sudah mulai mendingin. Ia menatap kuroo, yang malah berpaling menghindari tatapannya. Kuroo yang sedang mengutarakan apa yang ia rasakan sambil menatap lurus ke depan. Tidak ingin terlalu terlihat gugup, padahal dadanya meletup-letup.
“The day after, it felt like hell,” ucap kuroo.
“Salah gue juga dulu nolak lo, nganggep kalo rasa lo bakalan ilang seiring waktu. Gue dulu mikir gitu. Sampe akhirnya lo ilang rasa beneran, dan saat itu gue yang jadi uring-uringan.”
Bokuto masih belum membuka mulutnya, ia masih mau menyimak apa yang dikatakan oleh kuroo. Kuroo sendiri masih belum selesai. Masih banyak yang akan ia sampaikan, masih banyak yang harus diketahui oleh bokuto.
“Gue sayang sama lo, bokuto. Dan kali ini rasa sayang gue bukan cuma sebagai temen,”
“Kalau nyangkut lo, semua hal gak penting lagi buat gue. Gue gak peduli sama alisa yang tiba-tiba lo bawa ke obrolan kita. Gue gak peduli sama yang lain, it's only you...”
“Asal lo tau, beberapa hari ini gue kesiksa karena tau saat pikiran gue penuh sama lo, pikiran lo penuh sama orang lain..”
Kuroo serasa meledak. Semua yang ia pendam selama ini ia keluarkan habis-habisan. Ia tak boleh menahannya. Tak boleh lagi ada yang tersisa.
“That's it. Intinya, gue sayang sama lo and i want you back.”
Bokuto yang ada di samping kuroo hanya diam. Sesaat setelah kuroo mengatakan hal itu, pandangannya kembali ke arah lain. Ia tidak tahu bagaimana cara menanggapi. Tepatnya ia tidak tahu bagaimana cara menanggapi kuroo, yang menganggapnya sudah hilang rasa. Ia tidak tahu, ia merasa bodoh.
Dalam hidup bokuto, ia tidak pernah meragu akan beberapa hal seperti ini. Tapi satu hal ini bisa membuatnya jungkir balik dalam menentukan langkah dan keputusan yang akan ia ambil. Ia masih tidak bisa memberikan tanggapan yang tepat. Oleh karena itu, ia hanya mendengarkan pengakuan kuroo tanpa menanggapinya dengan cepat.
Dada kuroo terasa berat karena melihat bokuto yang tak kunjung memberi respon. Pun dada bokuto yang sama beratnya mendapat pengakuan seperti itu dari orang di sampingnya.
“Bo, say something, please?“
Dan tepat saat kuroo berkata seperti itu, pintu hati bokuto serasa didobrak secara kasar dan tiba-tiba.
Demi apapun di dunia ini, jika ia bisa memeluk kuroo, maka akan ia lakukan sekarang juga. Akan ia rengkuh tubuh orang di sampingnya itu dan menenggelamkannya dalam satu dekapan.
Namun, sesuatu menahannya. There's something holding him back.
Karena sesuatu itu lah, ia tidak melakukan keinginan dari lubuk hatinya. Ia tidak menarik kuroo ke dalam dekapnya. Ia tidak menjadi miliknya seutuhnya.
“Kuroo...”
Kuroo tidak menengok ke arah bokuto. Ia masih belum mampu melihat ekspresi dari bokuto setelah ia mengungkapkan semua rahasia kotornya itu.
“Tetsu, liat gue..” ucap bokuto.
Akhirnya kuroo pun luluh, dan menatap bokuto dengan keberanian yang tersisa. Namun saat pandangan mereka bertemu, bokuto malah bungkam. Yang bokuto lakukan hanya menarik telapak tangan kuroo, dan meletakkannya di dadanya sendiri.
“Coba lo rasain.”
Kuroo merasakannya, degup jantung yang sama. Sama seperti degup jantung yang ia miliki saat ini. Degup jantung yang menggebu.
“Lo serius?”
Dari situ, sebenarnya kuroo sedikit mendapat harapan. Jujur saja, ia sekarang seperti sedang mengharapkan sesuatu yang sulit ia dapatkan.
Ia berharap bahwa bokuto masih ada rasa untuknya. Ia berharap di dalam hati bokuto, masih ada sesuatu yang menetap darinya. Ia berharap, bahwa ia dan bokuto setidaknya bisa saling merajut asa.
Namun bokuto tidak menjawab. Ia hanya memberikan hanya tatapan sedih dengan senyuman yang dipaksakan, yang membuat perut kuroo langsung mencelos saat itu juga. Sepertinya realitanya tidak sesuai dengan harapannya. Oleh karena itu, ia pastikan sekali lagi.
“Bisa gak kita kaya dulu lagi? when there’s only you and me, please?”
“Lo tau tetsu, ini tuh definisi dari orang yang tepat di waktu yang salah.”
“Kalo gue bisa, gue sekarang bakalan meluk lo. Gue bakalan ngasih semua dari gue buat lo. Gue bakalan jadi sepenuhnya punya lo.” ucap bokuto.
Perut kuroo semakin tidak enak. Tenggorokannya tercekat. Matanya memanas.
Please don't, ucap kuroo dalam hati.
“Gue bertaruh demi hidup gue, gue mau ngelakuin semua itu. Tapi gue gak bisa, tetsu...”
”... 'Cause i'm already someone else's.”
Percayalah, kuroo tidak menangis. Ia hanya merasakan perutnya yang mencelos dan kepalanya yang serasa dihantam benda besar yang tumpul.
“Terus malem itu apa? kenapa lo mau ngelakuin itu ke gue kalo lo ngerasa sebersalah ini ke pacar lo sekarang?”
“I told you it was a mistake. Gue ngaku gue yang sembrono, gue yang paling bisa disalahin atas kejadian itu. Dan gue janji gak bakal ngulangin itu lagi.”
Bokuto sangat menyayangkan semua yang terjadi. Kalau saja kuroo tidak telat sadar. Kalau saja ia bisa menunggu sebentar lagi, setidaknya hingga kuroo sadar. Kalau saja ia tidak gegabah. Kalau sudah begini, pilihan yang ia miliki terbatas.
“Kalau aja saat ini status gue masih kaya dulu, gue bakalan jadi orang paling bahagia malem ini, tetsu.”
Kuroo menatapnya lelah, pandangannya mulai tidak fokus.
“Gue bakal seneng banget saat tau rasa lo ke gue. Apalagi saat gue sekarang jadi seseorang yang menuhin isi kepala lo. Tapi gue rasa, gue gak berhak dapet kebahagiaan itu, setelah apa yang gue lakuin ke lo...”
“Dan gue gak bisa jadi bajingan buat semua orang, tetsu. Cukup gue jadi bajingan buat lo aja. Jangan sampe akaashi juga jadi korban dari gue.”
“Jadi maksud lo, kita ini emang gak bisa?” kuroo memastikan lagi.
“Iya, kita gak bisa, tetsu.”
“Bukan karena rasa gue ke lo udah gak ada, trust me itu bakalan terus ada. Tapi karena gue juga gak bisa nyakitin hati orang lain.” lanjut bokuto.
“Lo pikir lo gak nyakitin gue sekarang?”
“Maaf, maaf banget. Tapi lo layak dapet orang yang beneran baik buat lo. Orang yang gak nyakitin dan mainin lo terus-terusan. Orang yang gak bikin lo kepikiran sampe lupa makan. Orang yang gak ngelakuin kesalahan berulang,”
Bokuto menepuk pundak kuroo pelan, sesekali mengusapnya.
“Dan gue pikir, orang baik itu bukan gue. Gue mungkin bisa jadi temen yang baik buat lo, tapi enggak kalau yang lain. Gue gak mau nyakitin lo lagi.”
Ah, jadi begini rasanya ditolak.
“Okay...” jawab kuroo sambil menggigit bibirnya, “good to know,“
Kuroo tidak bisa menahan lagi. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. Ia paham sekarang. Ia paham kalau ia harus cepat-cepat pergi dari tempat itu sebelum ia sendiri meledak.
“Kalau gitu, karena semuanya udah clear, udahan aja. Gue mau pulang dulu.”
Jadilah ia berdiri dari tempatnya, membereskan barang-barang yang ia bawa tadi, kemudian beranjak untuk pergi dari balkon kamar itu.
Namun sebelum kepergiannya, sebuah tangan menahan pergelangannya. Bokuto menahannya, seolah memintanya untuk tetap tinggal.
“Don't make me stay, bo. Kecuali lo emang niat buat balik ke gue,”
“Sorry...” ucap bokuto sambil melepaskan genggamannya.
“Please, don't be.“
“Lo tenang aja, abis ini gue bakalan biasa aja kok. Karena semua udah jelas, lo nolak gue, jadi gue udah tau apa yang harus gue lakuin,” ucap kuroo final.
Bokuto tidak menjawab. Lantas kuroo menepuk pundaknya dan berkata,
“Gue pamit dulu. Take care.“