Ingkar Janji
“May i come in?”
Ucap bokuto di luar pintu, menatap kuroo yang masih terpaku menikmati sensasi aneh di sekujur tubuhnya.
“Kur? ngelamun lo?”
Bokuto melambaikan tangannya persis di depan wajah kuroo. Niatnya menyadarkan sang kawan dari lamunannya. Ia mengerutkan hidungnya, bau menyengat alkohol memasuki indra penciumannya.
“Lo minum ya?”
Kuroo pun akhirnya kembali ke kesadarannya yang tidak seberapa itu. Ia mengangguk dan mempersilahkan bokuto untuk masuk ke dalam kamarnya. Untung ia tadi sudah sedikit beberes, jadi kamarnya sekarang masih layak disebut kamar. Walaupun masih ada oikawa yang tepar tidak terurus.
Lantas ia melebarkan pintu kamarnya, lalu berjalan ke dalam kamar dengan sempoyongan. Tadinya ia masih bisa berdiri dan berjalan dengan benar, kenapa setelah bokuto datang malah dia menjadi seperti kucing bingung begini?
Melihat kuroo yang berjalan sambil meraba tembok, bokuto mendekatkan dirinya dan membantu kuroo untuk berdiri tegak.
Kuroo merasakan pinggangnya direngkuh oleh tangan hangat. Tangan kanannya diangkat oleh orang itu, dirangkulkan ke tubuh kekarnya.
“Lo jalan aja gak bener gini, segitu mabuknya ya?”
Bokuto mengendus kuroo, kemudian menjauh dengan cepat. Hal itu tentunya membuat jantung kuroo semakin berdebar. Apa yang dilakukan bokuto ini membuatnya semakin pening. Ia menelan ludahnya kasar. Ia masih setengah sadar, jadi bisa dikatakan kalau ia tahu apa yang terjadi saat ini. Berbicara pun masih bisa lancar. Ia pun masih bisa salah tingkah. Jadi ia alihkan pandangannya menuju balkon kamarnya, untuk menutupi hal itu.
“Kepala gue agak pusing,” ujar kuroo.
“Mau gue buatin teh hijau anget? lo ada kan?” kata bokuto sambil membantu kuroo berjalan ke dalam kamarnya.
“Gak usah,” tolak kuroo, “—ke balkon aja, cari angin.” ucapnya.
Bokuto sih hanya mengikuti permintaan kuroo.
Kuroo melepaskan rangkulan bokuto, kemudian mengambil minuman botol di kulkasnya dengan jalan terseok-seok. Bokuto sih sudah menawarkan untuk membantu lagi, tapi ditolak mentah-mentah oleh kuroo. Bersentuhan dengan bokuto pada kondisi seperti ini bukanlah hal baik. Bisa gawat, batinnya.
Kuroo menuju balkon membawa botol minuman beralkohol di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya memijat kepalanya yang sedikit pusing.
Bokuto yang baru datang hanya mengekor di belakang kuroo, jaga-jaga kalau kuroo tiba-tiba ambruk. Ia letakkan barang-barangnya di meja dekat tempat oikawa tidur.
“Ni orang udah kek pingsan,” ucap bokuto sambil terkekeh.
Saat sudah sampai balkon, keduanya mendudukkan diri di kursi yang menghadap ke arah luar. Ia tatap langit di sana, sedikit mendung. Memang pada beberapa kondisi, saat mendung atau akan turun hujan, cuaca malah menjadi panas dan membuat gerah. Dan hal itu lah yang dirasakan kuroo saat ini. Ia merasa sepertinya malam ini akan turun hujan.
Kuroo menenggak sisa minuman yang dibawa oikawa tadi dari mulut botolnya langsung. Minuman itu masih tersisa seperempatnya.
“Mau gak bok?”
Bokuto menoleh dan menatap botol bening yang ditawarkan kuroo. Ia menggeleng pelan sambil tersenyum dan menepuk pundak kuroo.
“Gak ah, kalo gue minum ntar yang jagain lo siapa?” tanyanya.
“Takut lo loncat dari balkon ntar,”
“Sembarangan,” kuroo tertawa mendengar guyonan bokuto.
Keduanya kemudian menjadi hening. Hanya suara gemuruh dari awan mendung yang menemani mereka. Kuroo masih saja asik menenggak minuman dari botol bening sedikit demi sedikit.
“Kuroo,” panggil bokuto.
“Hm?”
“Lo kemarin kenapa? gue hubungin gak bisa,” ia tatap kuroo di sampingnya dengan wajah menyiratkan kekhawatiran.
“Oh itu, maaf ya..” ucap kuroo, “kemarin lagi capek makanya off dulu.”
“Gitu?”
“Yep..” ucap kuroo sambil menyesap rasa cairan di bibirnya.
“Jangan gitu lagi ya,”
“Kenapa?”
“Gak apa sih, gue cuma takut aja lo kenapa-kenapa dan gue gak tau..”
Hati kuroo menghangat. Siapa yang tidak merasakan begitu jika diperlakukan begini? Bokuto dan semua sikapnya yang membuat kuroo panas dingin tidak karuan. Akhirnya kuroo menganggukkan kepalanya untuk merespon perkataan bokuto. Hal ini membuat bokuto sedikit merasa lega.
Kuroo menyandarkan dirinya ke kursi yang mereka duduki. Saat ini ia hanya menggunakan kaos pendek satu lapis, sehingga membuat lengannya bersentuhan langsung dengan lengan bokuto. Pun juga pahanya yang bergesekan dengan fabrik celana yang dikenakan bokuto, saat ia sendiri hanya mengenakan celana pendek rumahan.
Kuroo menikmati sensasi itu. Sensasi saat kulitnya lengannya bersentuhan dengan kulit bokuto. Itu membuat jantungnya ingin melompat dari tempatnya. Tanpa ia sadari, wajahnya mulai memanas.
Kalau dulu sekali, berada di posisi ini dengan bokuto bukanlah masalah yang besar baginya. Namun karena sekarang kondisinya sudah berbanding terbalik, tentu ini akan menjadi bibit masalah jika dibiarkan begitu saja. Anehnya, meskipun mengetahui hal itu, kuroo tidak keberatan. Serius, dia tidak keberatan. Sesuai dengan perkataan yang ia lontarkan pada oikawa, bahwa ia ingin bokuto kembali. Dan dengan berada di dekat bokuto seperti ini, ia merasa bahwa ada sesuatu yang dapat mengembalikan bokuto padanya.
Bokuto awalnya tidak menyadari. Namun kian lama, bokuto merasakan kulit lengannya yang bergesekan dengan lengan kuroo. Ia melihat telinga kuroo yang memerah. Ia tidak mengerti mengapa kuroo menjadi seperti itu. Bokuto dengan sifat protektifnya yang masih melekat, menjadi tergerak. Lantas ia ulurkan tangannya untuk menyentuh telinga kuroo pelan.
“Telinga lo merah banget, kur. Udahan aja sih minumnya, ya?”
Bokuto sialan, batin kuroo.
Penyebab telinganya memerah bukanlah minuman itu, melainkan bersentuhan skin-to-skin dengan bokuto. Dan sekarang hal itu menjadi lebih parah dengan bokuto yang menyentuh telinganya lembut.
Bokuto tidak tahu, kalau kuroo sangat sensitif di bagian belakang telinganya. Kuroo saja sering merasa geli saat ditiup, apalagi dielus seperti itu. Bisa gila kuroo kalau lama-lama.
Oleh karena itu, ia letakkan botol kaca yang tadinya ia pegang di sembarang tempat. Kemudian ia raih tangan bokuto yang tadinya mengusap telinganya, dan melepaskannya pelan.
“Muka lo juga merah banget, sialan. Masih sadar gak lo?” Ucap bokuto lagi. Kini tangannya menangkup wajah kuroo.
Tangan kokoh itu kini menyangga pipinya. Hangat. Membuat kuroo semakin ingin memejamkan matanya dan lelap saat itu juga. Dia merasa ada di rumah. Berada dalam genggam bokuto adalah rumah baginya.
“Masih, santai.” jawab kuroo.
“Gue masih bisa perkalian sama pembagian, kalo lo mau bukti,”
Bokuto terkekeh mendengar tutur kuroo. Ia jadi ingat saat ia sendiri mabuk waktu itu. Saat ia dijemput kuroo di taman. Saat dirinya membuktikan bahwa ia masih sadar dengan melakukan pertambahan, seperti satu ditambah satu sama dengan dua. What a silly moment, batinnya.
Kuroo masih setengah sadar, ia tidak sepenuhnya ambruk seperti oikawa di dalam sana. Dengan matanya yang sayu dan manik yang berkilau, ia menatap bokuto dengan posisi seperti itu. Cukup lama, dengan posisi tangan hangat bokuto yang masih menopang wajahnya.
Suasana di sekeliling mereka sepi. Hawanya panas dan dingin bercampur menjadi satu, membuat gerah siapapun yang ada di situ.
Mereka terlarut dalam jerat masing-masing. Bokuto semakin lama semakin sadar kalau dirinya tenggelam dalam tatapan kuroo. Dan kuroo, dengan kondisinya seperti itu, sadar tidak sadar mendekatkan wajahnya ke wajah bokuto. Dekat sekali hingga ia bisa mencium wangi parfum bokuto yang menyeruak masuk.
Bokuto diam. Ia bingung dengan perlakuan kuroo. Namun ia sendiri tidak bisa menolak hal itu. Ia masih mencerna apa yang terjadi, ia ingin bergerak bebas namun kuroo memegang tangannya seolah-olah meyakinkannya bahwa mereka akan baik-baik saja.
Namun sayangnya, kegiatan itu diinterupsi oleh suara seseorang di dalam sana. Suara melengking memecah keheningan dua insan yang ada di balkon kamar.
“AC nya dingin yaaa, kasian kamu. Kuroo!! AC-nya dingin!! Haaaa—”
“Nih aku kasih baju biar anget,” ucap seseorang di dalam kamar kuroo sambil melemparkan kaosnya ke atas hingga menyangkut ke AC.
Setelah oikawa meneriakkan itu, terdengar suara orang ambruk di lantai. Setelah beberapa saat, suara orang itu tidak lagi terdengar. Kembali ke hening malam yang menyisakan suara angin dan gemuruh awan di luar sana.
What the hell is going on inside?
Hal itu tentu mengejutkan kuroo dan bokuto. Bokuto yang sadar akan posisinya seperti ini, segera menarik tubuhnya menjauhi kuroo. Ia melepas tangannya dari wajah yang memanas itu, kemudian berdiri dan berjalan menjauh menuju pagar balkon.
Kuroo yang nampaknya bingung seketika pun bereaksi hal yang sama.
“Sorry,” ucap bokuto yang membelakangi kuroo.
Kuroo melihat punggung bokuto yang membelakanginya itu. Ia sangat menyayangkan kehangatan yang beberapa waktu lalu sempat ia rasakan.
Ia ingin darahnya berdesir lagi, seperti sesaat yang lalu di mana wajah bokuto hanya berjarak beberapa inci dengannya. Ia bahkan tak keberatan telinganya memerah lagi jika itu dapat membuat bokuto kembali ke posisinya semula. Ia ingin berada di dekat bokuto. Ia ingin berada di genggaman bokuto. Ia juga ingin menyentuh bokuto.
Jadi karena kuroo sendiri mulai diselimuti nafsu yang entah datang dari mana, ia melangkah mendekati bokuto.
Bokuto yang membelakanginya tentu saja tidak mengetahui hal itu. Yang ia lakukan hanya mendongak ke atas, menatap ke langit yang sudah mulai meloloskan rintikan air kecil.
Malam yang tadinya gerah, berubah menjadi dingin. Sepoi angin membuat rambut bokuto bergerak mengikuti arah angin. Pun juga kuroo yang berada di belakangnya.
Tiba di belakang bokuto persis, kuroo menghela napasnya pelan. Ia mengumpulkan niatnya saat itu. Lantas ia ulurkan tangannya untuk mengelilingi pinggang orang di depannya.
Bokuto terperanjat kaget saat merasakan lengan yang tadi bersentuhan dengannya, sekarang melingkar dengan erat di pinggangnya.
Lalu ia sadar, kuroo tetsurou memeluknya dari belakang. Untuk yang ke sekian kalinya. Yang aneh adalah kini jantung bokuto kembali berdebar dibuatnya. Tidak seperti waktu lalu saat kuroo berada di motornya. Saat itu juga posisinya seperti ini, namun bokuto berhasil mengendalikan dirinya.
Namun saat ini, jantungnya seolah mengkhianatinya. Ia kembali bereaksi saat kuroo melakukan hal itu kepadanya. Tubuhnya membeku, jantungnya berpacu, namun ia paham kalau ini akan menjadi belenggu. Oleh karena itu, ia harus secepatnya mengatasi hal ini.
“Kuroo,”
“Bentar aja...” ucap kuroo.
“Gue kangen lo...banget,” imbuhnya.
Fuckity fucking fuck, batin bokuto meronta-ronta.
“Kur, jangan gini..” ucap bokuto sambil berusaha melepaskan tangan kuroo secara perlahan. Namun hal itu malah membuat tautan antar jari kuroo semakin mengerat.
“Please,” ucap kuroo lirih.
Hancur sudah pertahanan bokuto. Ia luluh kembali dalam pesona kuroo tetsurou. Kuroo sialan.
Akhirnya bokuto membiarkan kuroo memeluknya dari belakang. Ia usap tangan kuroo dari depan. Hal ini tentu saja diartikan kuroo sebagai lampu hijau.
Ia merindukan bokuto. Ia merindukan wanginya. Ia merindukan canda tawa yang hanya dilontarkan pada dirinya seorang. Ia merindukan perlakuan bokuto yang begitu manis padanya. Ia merindukan usapan bokuto. Ia merindukan segala jenis sentuhan bokuto.
Intinya, ia merindukan bokuto habis-habisan.
Ia ingin malam ini hanya ada dia dan bokuto. Tidak ada yang lain. Tidak ada akaashi. Tidak ada interupsi.
Pada posisi seperti itu, kuroo perlahan mendekatkan dirinya ke tengkuk bokuto. Hal itu didukung dengan badannya yang sedikit lebih tinggi dari bokuto, meskipun badan kawannya itu lebih bulky dibanding dirinya. Jadi dengan mudah ia menyandarkan wajahnya ke pundak bokuto, kemudian menghirup ceruk leher bokuto. Wanginya parfumnya menguar kemana-mana, yang mana masih sama yakni wangi kesukaan kuroo.
Bokuto yang diperlakukan seperti itu oleh kuroo menjadi tegang sekujur tubuhnya. He's freezing! Terlebih saat kuroo mulai menyusuri lehernya pelan, menghirup aroma tubuhnya.
Pikirannya mulai kacau. Bokuto tidak boleh diam saja saat diperlakukan begini oleh orang yang ia sukai. Oleh karena itu, ia membalikkan badannya dan menemukan kuroo dengan tatapan yang berbeda dari biasanya.
Kuroo dengan wajah yang memerah, entah itu karena alkohol atau hal lain. Kuroo dengan mata sayu yang menyiratkan sesuatu. Bokuto paham betul kalau tatapan itu bukan tatapan biasa. Itu tatapan penuh nafsu, seperti ingin menyiratkan pesan 'aku menginginkanmu'.
“Kuroo?”
Alih-alih menjawab, kuroo malah mendekatkan badannya ke bokuto. Ia merengkuh badan bokuto, kali ini dari depan. Bokuto gusar. Dipeluk kuroo dengan kondisi seperti ini tentu membuat sesuatu di dalam dirinya menggebu-gebu.
Pelukan itu tidak seerat pelukan tadi. Ditambah kuroo yang hanya diam dan bergerak pelan. Bokuto merasakan wajah kuroo di perpotongan lehernya. Kuroo menenggelamkan wajahnya di sisi itu dan menggerakkan bibirnya pelan. Ia kecup pelan leher temannya itu.
“Kuroo, please sadar!”
Bokuto tidak tahan. Ia tidak bisa membiarkan hal itu terus-terusan dilakukan kuroo. Bisa meledak dia lama-lama. Jantung bokuto berpacu, bahkan suaranya dapat menyaingi dentingan jarum di jam tangannya. Oleh karena itu, didorong lah kuroo perlahan. Melepaskan bibir kuroo dari lehernya agar tidak melangkah terlalu jauh. Ia harus tahu batasan.
“Goddamit,” bokuto mengumpat keras.
Kuroo menatap bokuto, kemudian menunduk. Ia tahu ia melewati batasan hingga membuat bokuto seperti itu.
“Maafin gue,” ucapnya setengah sadar.
“It's okay, it’s a mistake,”
“What if it isn't?” ujar kuroo mendongakkan wajahnya.
“Kuroo...”
“Gue tanya!” kuroo sedikit meninggikan suara.
“Lo mabok dan lo gak sepenuhnya sadar, of course it is!” bokuto meyakinkan kuroo.
“Bo, don't you want me anymore?” tanya kuroo.
Hal itu membuat hati bokuto terenyuh. Ia merasa hatinya diremas habis-habisan. Hanya rasa ngilu yang ia rasakan. Ia lihat kuroo yang menundukkan kepalanya kembali. Hal itu membuat pertahanan bokuto yang selama ini ia miliki hancur sudah. Tembok tinggi yang sengaja ia bangun dihancurkan kuroo dengan sebegitu mudahnya.
Bokuto mengangkat wajah kuroo pelan dengan tangannya. Ia lihat ekspresi kuroo saat itu. Matanya masih sayu dan tersirat nafsu. Bibirnya ranum dan basah, serta tercium bau alkohol bercampur citrus samar dari sana.
Bokuto mendorong kuroo pelan hingga tubuhnya menyentuh tembok dekat pintu balkon. Kuroo menatapnya dalam. Bokuto pun begitu. Laki-laki dengan surai kelabu terang itu mendekatkan dirinya ke wajah kuroo.
“Kuroo tetsurou sialan,” umpat bokuto sebelum mengikis jarak mereka.
Kuroo yang melihat bokuto seperti itu pun diam-diam bersyukur dalam hati. Ia lihat tatapan bokuto yang tak jauh beda dengan dirinya, tertutup kabut nafsu. Pada saat ini ia masih setengah sadar, tapi ia tahu apa yang ia lakukan. Ia pun tahu kalau bokuto kini tengah menatap bibirnya seraya mendekatkan diri. Ia pun tahu itu, sehingga ia memejamkan matanya. Menunggu milik bokuto bertemu dengan miliknya.
Namun sekian detik setelahnya, yang ia rasakan bukanlah bibir bokuto di bibirnya sendiri. Melainkan wajah bokuto yang sudah singgah di ceruk lehernya. Lengkap dengan hembusan napasnya yang berat yang terasa hingga ke telinga kuroo, membuat kulitnya meremang dan napasnya sendiri tercekat.
Semakin turun, semakin berulah, semakin membuatnya pasrah. Bokuto hirup tiap inci leher jenjang kuroo. Aroma yang ia sukai pun sama, meskipun sedikit bercampur dengan alkohol dan citrus yang makin lama makin pudar. Ia kecup perlahan, persis seperti apa yang dilakukan kuroo padanya.
Bokuto telah sepenuhnya kalut. Kuroo sendiri malah dengan sengaja mendongakan kepalanya, seolah memberi akses lancar untuk bokuto. Dengan perlakuan kecil itu saja, ia berhasil dibuat gemetar hingga ia meloloskan lenguhan kecil.
“—mmhh,”
Bagaimana kabar bokuto melihat kuroo seperti itu? tentu saja ia sepenuhnya turn on. Siapapun pasti akan bereaksi yang sama saat ditempatkan di posisi ini. Mungkin hanya orang yang mati rasa saja lah yang tidak akan memberikan respon yang sama.
Kuroo pun tidak jauh beda, karena memang dari awal ia menginginkan bokuto. Ia menginginkan bokuto sepenuhnya. Hati, jiwa, dan raganya. Jadi saat ia berada di posisi ini, tentu saja ini menjadi sebuah kesempatan emas untuk yang tak boleh ia sia-siakan. Oleh sebab itu, dengan kesadarannya yang tidak seberapa itu, ditarik lah bokuto menuju kamarnya. Lebih tepatnya, ke arah kasurnya.
Persetan dengan oikawa yang ada di lantai. Toh orang itu pasti akan terlelap dan tidak sadar saat terjadi sesuatu. Ini semua memang gila.
Bokuto yang ditarik kuroo pun mengikuti saja. Kini keduanya tengah terduduk di atas kasur kuroo. Keduanya saling berhadapan. Belum ada yang ingin melanjutkan kegiatan mereka tadi.
“Bok?” panggil kuroo.
Bokuto tak kunjung menjawab. Ia malah mendekatkan wajahnya ke wajah kuroo, dan menyandarkannya ke bahu sang kawan.
Hembusan napasnya yang berat terasa dekat hingga membuat kuroo bergidik. Ia ulurkan tangannya untuk menyentuh bibir bokuto. Setelah itu, hal terakhir yang kuroo lihat sebelum menutup matanya adalah bokuto yang memangkas jarak di antara mereka. Ia merasakan bokuto yang membiarkan bibirnya bertemu dengan bibir kuroo. Membiarkan apa yang mereka dambakan selama ini menjadi kenyataan.
Bokuto koutarou menciumnya.
Awalnya itu hanyalah sebuah kecupan ringan. Namun semakin lama menjadi lumatan kecil. Hal itu sukses membuat perut kuroo dihinggapi ribuan kupu-kupu. Nafsu dalam dirinya pun ikut menggebu.
Berciuman dengan seseorang tidak pernah terasa sehebat ini.
Bokuto tanpa melepas pagutan itu, merengkuh pinggang kuroo dan membawanya ke bagian tengah kasur. Bokuto sendiri menyandarkan dirinya di headboard kasur dengan kuroo yang bersandar padanya. Bedsheet putih kasur kuroo yang berantakan itu seolah menjadi saksi bisu kegiatan mereka.
Lengan kokoh bokuto mengukung tubuh kuroo dari belakang. Masih terpagut bibir mereka dengan segala kecupan liarnya itu. Laki-laki dengan surai hitam pun hanya menyandarkan punggungnya di dada lebar bokuto. Ia tidak melakukan banyak hal, hanya mengikuti arus saja.
Setelah itu bokuto beralih dari bibir kuroo, menyesap tengkuk yang bersangkutan. Bergantian dengan mengecup pundak kuroo membuat yang orang di depannya menggelinjang dan gemetar tak tertahan.
Holy merde! batin bokuto. Entah itu benar-benar umpatan atau sebuah metafora yang menggambarkan rasa syukurnya karena dibiarkan ada pada posisi ini.
“Don't stop...” ucap kuroo saat bokuto memberi jeda sejenak.
Kuroo merasakan sesuatu meraba tubuhnya di balik kaos hitam yang ia kenakan. Tangan bokuto membelai perutnya pelan. Merasakan otot perut yang kian menegang karena perlakuan itu. Kemudian tangan itu naik, menyusuri tulang dada kuroo hingga atas, kembali lagi ke bawah dengan pelan.
Menyentuh tulang rusuk di dada kuroo yang tidak terlalu ketara. Mengabsen satu persatu. Ditambah dengan napas bokuto yang menderu, memberikan sensasi geli di telinga kuroo. Sentuhan itu memporak-porandakan isi kepala keduanya. Pun juga isi hatinya.
Aroma tubuh mereka seolah bercampur menjadi satu. Wangi tubuh kuroo yang bokuto sukai, dan wangi tubuh bokuto yang kuroo sukai.
“Shit, kuroo!” ucap bokuto terkaget sambil menghentikan kegiatannya.
Bokuto tiba-tiba melepaskan tangannya dari badan kuroo. Kepalanya seolah dihantam batu besar saat sekelebat memori melintas di kepalanya. Sekelebat memori yang mampu membuatnya menghentikan kegiatan mereka. Sekelebat memori tentang kakaknya yang berkata bahwa ia tidak mau adiknya menjadi orang ketiga.
Bokuto merasa menjadi orang terburuk di sini. Ia yang terlalu mudah terjerat godaan, saat bokuto sendiri tidak tahu apa yang dipikirkan laki-laki di depannya ini. Ia yang tidak bisa mengendalikan diri, saat kuroo sudah jelas-jelas tidak sepenuhnya sadar.
Ia tidak bisa membiarkan ini semua terjadi begitu saja. Bagaimana dengan dirinya? ia tidak bisa dipermainkan seperti itu, pikirnya.
Ia tidak bisa. Saat ia sendiri tidak tahu apa yang kuroo rasakan terhadapnya. Tidak bisa, saat ia beranggapan bahwa kuroo masih bersama alisa. Tidak bisa, saat ia tahu bahwa ada seseorang nun jauh di sana yang menunggu pesan darinya.
Bokuto tidak tahu kalau hubungan antara kuroo dan alisa sudah kandas beberapa waktu yang lalu. Yang ia tahu, kuroo masih baik-baik saja dengan kekasihnya itu. Oleh karena itu, ia beranjak dari posisi tersebut. Meninggalkan kuroo yang bingung bukan main di atas kasurnya.
“Gue mau ke toilet dulu,” ucap bokuto sambil membelakangi kuroo.
Tentu saja ia berbohong. Ia tidak ingin melangkah terlalu jauh. Hubungan mereka benar-benar sudah diujung tanduk. Kuroo sendiri tidak menjawab. Sedari tadi ia sudah tidak banyak bicara. Ia merasa ini semua seperti halusinasi, walaupun sentuhan fisik yang ia dapatkan terasa sangat nyata. Maka dari itu bisa dikatakan bahwa ia ada pada kondisi sadar tidak sadar.
Beberapa waktu setelah itu, bokuto kembali. Ia menghabiskan sekitar tiga puluh menit di toilet kuroo. Ia sengaja mengulur waktu. Saat ia kembali, yang ia temukan bukan lah kuroo yang masih terjaga. Melainkan kuroo yang sudah tidur lelap dengan posisi tanpa selimut dan kaosnya yang tersibak. Ia mendekat, dan duduk di dekat orang itu.
“Maafin gue, kuroo.” Ucap bokuto saat melihat kuroo.
Matanya sedikit memanas, tanpa ia sadar satu tetes air mata jatuh membasahi pipinya sendiri.
“Padahal gue udah janji buat move on dari lo, tapi nyatanya malah gue sekarang yang ngelanggar janji gue sendiri..”
“Lo lagi mabok gini malah gue malah ngambil kesempatan. Padahal gue tau kita sendiri udah punya orang lain,”
“Gue ngerasa bejat banget,”
Dan rasa bersalah itu kian menyerang bokuto saat ia tahu, bahwa kuroo kemungkinan besar tidak akan mengingat hal itu esok hari saat ia terbangun. Ia tahu kebiasaan kuroo yang ini. Ia tahu bahwa akhirnya hanya ia sendiri yang mengetahui kejadian ini. Oleh karena itu, ia mantapkan hati untuk tidak akan mengungkit hal ini. Pun kalau ditanya, ia tidak akan mengungkapkan fakta.
“Maaf,” ucap bokuto sekali lagi.
Bokuto mengusap kening kuroo, merapikan rambut orang yang —sialnya— masih ia sayangi. Masih sangat ia sayangi. Setelah itu ia kecup kening orang yang terlelap itu, tidak menunjukkan reaksi. Akhirnya ia mulai beranjak, membereskan barangnya dan mengangkat kaki dari kamar itu.
Ia meninggalkan kamar kuroo sambil berjanji. Ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ini terakhir kali ia mengingkari janji.