Prioritas
Sesuai dengan saran dari oikawa, akhirnya kuroo mengumpulkan niatnya untuk memberitahu bokuto. Sejujurnya, tujuan utama ia ingin menemui bokuto bukanlah untuk mengutarakan perasaannya. Perasaannya saja masih belum pasti, bagaimana ia ingin memberi tahu orang yang bersangkutan?
Dan karena hal itu lah ia di sini, mencari jawaban atas pertanyaan yang semalaman tadi memenuhi isi kepalanya.
Ia tatap gedung olah raga milik fakultas bokuto dari tempat parkiran motor dan mobil. Ada mobil putih bokuto yang terparkir dengan rapi di sana. Ya, bokuto belum pulang. Perkiraannya tepat, karena ini masih pukul tujuh. Ia beranikan diri untuk mengambil langkah menuju tempat bokuto melakukan latihan rutin bersama timnya.
Sesampainya di gedung itu, masih terdengar suara pelatih bokuto yang lantang. Ternyata tim mereka belum selesai berlatih, lebih lama daripada perkiraan bokuto yang diberitahu ke kuroo.
Kuroo mengintip ke dalam, dan terlihat anggota tim yang masih cooling down, beberapa ada yang dievaluasi oleh pelatih, dan beberapa ada yang memberesi bola serta net yang mereka pakai.
“Bokuto.. udah berapa bola yang kamu ilangin hari ini?”
“Yang terakhir tadi kayanya balik kok coach,” sayup-sayup kuroo dengar bokuto yang membela diri dimarahi pak wasi, yang mana adalah pelatih bokuto.
“Ngawur, orang saya hitung ini beda sama jumlah awal. Lama-lama abis uang kas tim buat ganti bola yang kamu ilangin...”
“Iya, maaf coach..” bokuto menunduk sambil cengengesan.
Kuroo mendengar itu jadi menahan tawa, tapi ia tak mau tawanya terdengar dari dalam. Akhirnya kuroo putuskan untuk menunggu di luar gedung, tepatnya di dudukan dekat pintu keluar. Ia mainkan ponselnya, kemudian ia kirimkan pesan kepada oikawa untuk meminta —yang katanya—doa agar tidak terganggu rencananya pada hari ini.
Kira-kira setelah lima belas menit berlalu, kuroo masih menunggu dengan memainkan ponselnya. Namun kegiatannya diinterupsi oleh salah satu orang yang keluar dan tidak sengaja melihat kuroo duduk di sana.
“Temennya bokuto ya?”
Kuroo heran, kenapa orang di depannya ini bisa tau. Ia memasang wajah heran.
“Ah, bokuto dulu kan sering bikin story bareng lo...”
Oh. Keheranan kuroo terjawab.
“Bentar ya,” orang itu masuk lagi ke dalam, kemudian memanggil bokuto yang rupanya tidak ada di tempatnya semula.
“Tunggu bentar ya, bokuto baru mandi,” ucap orang tadi saat kembali menghadap kuroo.
Setelah semua orang keluar, bokuto pun muncul dan menemukan kuroo yang berdiri menyambutnya dari pintu keluar.
“Lah kur, lo ngapain di sini?” tanya bokuto saat melihat kuroo berdiri di depannya.
Kuroo yang bingung mau menjawab apa pun akhirnya hanya mengarang alasan.
“Kebetulan lewat sih, terus keinget lo baru latihan yaudah gue samperin,”
Bokuto memasang tampang heran. Seperti menanyakan alasan kuroo melakukan itu, karena jujur saja, siapapun bisa melihat kuroo bergelagat aneh malam ini.
“By the way, lo belum makan kan? makan lah ayo?”
Karena tak mau terlalu lama ada di situasi ini, kuroo akhirnya mengajak bokuto untuk pergi mencari makan.
Sebenarnya ia sendiri juga sedang mengulur waktu. Padahal ia tidak tahu mengulur waktu untuk apa. Ia tidak tahu tujuan ke mari, selain untuk memastikan perasaannya sendiri. Tapi ia tidak tahu bagaimana cara melakukan hal itu.
Bokuto melihat jam yang melingkar di tangannya, kemudian mengiyakan ajakan kuroo untuk mencari makan. Bokuto sendiri menawarkan untuk membeli makan di foodcourt dekat dengan gedung olah raga tempatnya berlatih, yang kemudian disetujui oleh kuroo.
“Kur, serius lo?” tanya bokuto, “Itu sampe merah banget warnanya...”
Kuroo mencoba melihat makanannya, “Apa gue tadi salah tulis ya?”
Karena telah disepakati, kuroo dan bokuto akhirnya membeli makanan di foodcourt dekat fakultas bokuto.
Jadi kuroo ini niatnya membeli nasi ayam geprek tanpa cabe atau level nol. Sedangkan bokuto makan nasi goreng favoritnya. Tapi yang datang ke meja mereka bukanlah nasi ayam geprek tanpa cabe, melainkan nasi ayam geprek yang bahkan isinya seperti cabe diberi ayam.
“Ibunya salah baca kali ya dari nol jadi enam..” ucap bokuto.
“Udah gak usah dimakan, sini biar gue minta tuker.”
“Eh, gak usah,” kata kuroo mencegah bokuto.
“Gak usah gimana?” bokuto mempertanyakan isi kepala kuroo.
Karena tak kunjung mendapat pertanyaan dari kuroo, ia mengambil inisiatif.
“Gini aja deh,” katanya.
Bokuto dengan segera menukarkan nasi gorengnya dengan ayam geprek setan yang kuroo —salah—pesan tadi.
Hal ini tentu membuat kuroo bungkam.
Dua kali. Dua kali bokuto membuat kuroo merasa seperti ini. Sebenarnya sudah berulang kali bokuto bersikap perhatian begini ke kuroo, namun ini kali kedua kuroo mengaku dibuat menghangat hatinya oleh perlakuan kecil bokuto yang mengalah.
Bokuto melakukan itu lantaran ia tahu banyak hal tentang kuroo.
Bokuto tahu kuroo tidak suka makan pedas. Kuroo pun tahu kalau bokuto sangat menyukai nasi goreng yang ada di depan mereka saat ini. Bisa dilihat dari matanya yang berbinar saat pesanan mereka tadi datang.
Bokuto tahu jika kuroo memakan itu, nantinya perut kuroo akan melilit dan membuat kuroo berakhir terkapar lemas di kamarnya. Oleh karena itu, ia rela menukarkan makanan favoritnya demi kuroo.
Satu hal yang tidak diketahui bokuto malam itu adalah, kuroo yang sengaja salah memesan makanan. Kuroo yang ingin melihat bagaimana respon bokuto jika mereka berada di kondisi seperti itu. Kuroo yang sedikit berharap kalau bokuto masih peduli padanya.
Dan fakta bahwa bokuto rela menukarkan makanan favoritnya demi kuroo, membuatnya ingin menangis. Hatinya terasa teriris dan menghangat secara bersamaan. Mungkin takdir saat ini memang sedang berpihak padanya dengan mengabulkan harapannya.
Rupanya bokuto masih memprioritaskan kuroo dibanding dirinya sendiri.
Kalau sudah begini, bolehkah kuroo berharap kalau perasaan bokuto terhadapnya belum pudar?
Bolehkah kuroo berharap kalau masih ada sedikit dari dirinya tertinggal di hati bokuto?
Bolehkah kuroo berharap?
Meskipun ia tahu bahwa itu terlalu tabu.