Peluang


Hari berlalu begitu cepat, batin bokuto. Begitulah anggapannya saat ia kini berakhir di depan cafe yang ia tuju. Ia melangkahkan kakinya menuju satu bangunan berwarna putih di depannya. Ia buka pintu depan dan menemukan oikawa sedang duduk di pojokan, dengan segala barang-barangnya yang memenuhi meja.

Bokuto mendekat ke tempat duduk oikawa dan membuat yang bersangkutan mengalihkan perhatiannya, yang sebelumnya tertuju ke laptopnya menjadi ke dirinya.

“Lah udah sampe lo,” kata oikawa.

“Iya,” ucap bokuto sambil duduk dan meletakkan barang-barangnya.

“Abis dari latihan tadi langsung ke sini,” lanjutnya.

“Lah?”

“Santai, gue udah mandi selesai latihan tadi.” kata bokuto.

“Kok masih bau asem..”

“Sembarangan kalo ngomong,”

Oikawa tertawa lepas. Bohong kalau bokuto bau asem, yang ada kini hanya wangi yang khas dari seorang bokuto koutarou.

Setelah itu, oikawa menawarkan bokuto untuk memesan makanan atau minuman dulu ke meja resepsionis yang ada di sisi lain ruangan. Bokuto yang memang dasarnya cukup haus pun langsung mengiyakan tawaran. Ia lihat waktu di ponselnya, kemudian meletakkan ponsel tersebut di atas meja.

Oikawa menatap bokuto yang berjalan menjauhi meja mereka, namun dengan segera perhatiannya teralihkan oleh layar ponsel bokuto yang menyala dan menampilkan beberapa notifikasi pesan masuk. Karena jaraknya yang tidak jauh, ia dapat melihat dari siapa pesan tersebut. Terpampang nama yang tak asing lagi baginya, jadi ia tidak heran. Namun ada satu hal yang membuatnya heran bukan main.

Saat bokuto kembali dari tempat memesan, lantas ia mengutarakan apa yang mengganggu pikirannya dari tadi.

“Bok, sadis juga ya lo masih pasang foto sama kuroo pas lagi sayang-sayangan sama pacar lo,”

Bokuto memasang tampang bingung karena tidak paham mengapa oikawa berkata demikian.

“Ada chat masuk tuh dari akaashi, sorry tadi gak sengaja ngeliat.”

“Oh iya,” kata bokuto sambil mendudukkan dirinya.

Bokuto bungkam, tidak menjawab apa yang dikatakan oleh oikawa sebelumnya. Ia menilik layar ponselnya yang terkunci, menampilkan fotonya berdua dengan kuroo saat masih jaman-jaman jadi mahasiswa baru. Sebenarnya itu sudah lama menjadi lockscreen ponselnya, dia sendiri malas mengganti karena sudah terbiasa dengan foto itu tiap pagi saat ia membuka ponsel.

Bokuto membalas pesan dari akaashi dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak. Mereka dilanda keheningan untuk beberapa saat, hingga minuman yang bokuto pesan sudah tiba. Lantas ia ucapkan terima kasih kepada pramusaji dan segera menyesap minuman panas di depannya itu.

“Jadi gimana nasib love life lo yang payah itu bok?”

Ugh—”

Bokuto tersedak. Ia menghentikan kegiatannya sejenak dan menatap oikawa.

“Hmm...”

“Lo katanya butuh temen ngobrol, segitu desperatenya ya?” tanya oikawa sedikit mengejek agar bisa menghilangkan kecanggungan yang tiba-tiba ada di antara mereka. Bokuto yang mendengarnya hanya tertawa pelan. Ia sisir rambutnya yang jatuh itu ke belakang dengan tangan kirinya dan mengusap lehernya pelan.

“Jujur gue bingung mau mulai dari mana. Lo kan udah tau semuanya, oik?”

“Iya gue tau kok, cuman gue kan taunya dari sisi kuroo. Makanya gue ada di sini, buat dengerin dari sisi lo.” kata oikawa.

Bokuto ini seharusnya sangat bersyukur memiliki kawan seperti oikawa. Dari segala permasalahan yang ada, oikawa tidak memihak salah satu dari mereka. Ia benar-benar ada untuk keduanya. Ia teringat saat oikawa mau meemaninya berjalan-jalan pukul 1 malam, saat ia merasa kesepian karena kuroo tidak ada. Ia harusnya sangat bersyukur.

Karena hal itu lah, saat ini bokuto ingin mengutarakan semuanya pada kawannya satu itu agar ia mendapat saran. Ia mulai menceritakan semua yang terjadi secara detail antara ia dan kuroo, dari sudut pandangnya. Pertama dimulai dari ia yang mengaku kalau ia memang menyukai kuroo. Deeply and madly in love with him. Ia bilang ia sendiri tidak tahu kapan ia mulai punya rasa ke kuroo. Tapi hal yang ia tahu pasti adalah kuroo menjadi satu-satunya seseorang yang menjadi 'zona nyaman' baginya. Oleh karena itu, saat ia akan dikenalkan oleh alisa, ia tolak mentah-mentah. Ia tolak alisa karena ia masih asik dengan dunianya yang isinya hanya ia sendiri dan kuroo, yah walaupun oikawa juga sering ikut terlibat. Tapi tak dikira olehnya kuroo yang malah berbalik punggung menjauhinya.

“Kalau diliat-liat, kuroo waktu itu ngeselin juga ya bok. Gue heran sih kok lo bisa tahan.” ucap oikawa sambil memakan makanan yang telah ia pesan sebelum bokuto datang.

“Gimana ya, dia kan posisinya gak tau. Dan awalnya itu kan gue masih bingung sama perasaan sendiri.” jawab laki-laki di depan oikawa.

Kemudian diakhiri dengan kejadian kuroo yang benar-benar menolaknya, setelah berbagai permasalahan yang ada. Yah mau tidak mau bokuto harus move on, jadi ia sudah memantapkan hati saat itu. Ia sadar kalau dia sendiri yang memperumit hubungannya dengan kuroo.

“Gue tau kok kalo gue bener-bener bikin semuanya kacau dari awal. Tapi yang paling gue bikin kacau tuh beberapa hari lalu, tepatnya waktu lo minum di kosan dia.”

“Oh itu,”

“Lo tau?!” bokuto terkejut bukan main mengetahui bahwa orang lain tahu rahasia kotornya.

“Iya gue tau, gue sempet bangun tapi gak berani berdiri. Gue liat lo sama kuroo ciuman, anjing. Mana pas dia lagi mabok itu, parah lo bok..”

Yah walaupun kuroo pasti mau-mau aja kalo dicium, mau sadar atau gak sadar, batin oikawa.

“Iya makanya. Tapi lo musti tau oik, sebelum pindah ke kasur kan gue di teras sama dia, dia meluk gue. Dia ngomong hal-hal yang bikin gue banting setir, yang tadinya mau mantep move on malah gagal total,” ucap bokuto

“Di situ gue ngerasa dilema banget seumur hidup.” imbuhnya.

“Dan akhirnya lo gak bisa bohongin perasaan sendiri kan?”

“Yep...” kata bokuto.

Oikawa menganggukan kepalanya paham. Itulah missing link yang ia bingungkan hingga saat ini. Bagaimana kuroo dan bokuto berakhir di atas kasur berciuman dan saling menyentuh. Bahkan ia masih ingat bagaimana desahan pelan keluar dari mulut kuroo malam itu. Ia tidak tahu karena kuroo sendiri tidak mengingatnya hingga sekarang. Kemungkinan kedua yakni memang kuroo sudah ingat tapi ingin menyimpannya fakta itu sendiri.

“Gue kaya kebawa suasana banget waktu itu. Ya lo digituin sama orang yang lo suka, kuat banget lo kalo bisa nahan.” ucap bokuto.

“Jujur gue tuh sama sekali gak ada niatan buat mainin kuroo. Gue bukan orang yang kaya gitu, oik. apalagi sama orang yang bener-bener gue sayang,”

“Tapi gue juga gak mau malah gue yang jadi mainan, gue yang jadi simpenan, gue yang mau sama dia saat dia masih sama alisa...”

Ugh—”

Oikawa mendengarnya sangat terkejut hingga kini ia yang tersedak makanannya sendiri. Melihat itu dengan segera bokuto menyodorkan minuman oikawa agar mereda.

“Bok...”

“Ya?”

“Kuroo kan udah putus sama alisa...”

“Hah?” bokuto merasa kepalanya kosong seketika.

“Iya. Dia cerita ke gue kemarin sih pas minum, tapi dia putusnya udah lama banget. Waktu lo sering-seringnya nugas di cafe itu, kan kuroo nemenin, nah pas itu dia putus.”

“Anjing... gue baru tau? kok dia gak bilang?”

“Gak tau, mungkin karena mau ngasih tau lo. Pernah gak pas itu dia pernah bilang mau cerita apa gitu gak?”

Bokuto memutar kembali ingatannya saat itu. Ada satu ingatan muncul saat kuroo bertanya kepadanya apakah ia sedang di rumah atau tidak. Dan kuroo yang ingin mengatakan sesuatu pada bokuto. Ia kini berpikir bahwa kuroo ingin mengatakannya saat itu, and bokuto missed the opportunity.

Fuck, dia pernah. Hampir sih lebih tepatnya.”

Bokuto habis kata-kata. Ia merasa bersalah sepenuhnya kepada kuroo karena tak ada saat temannya membutuhkan teman cerita saat itu.

“Kenapa dia putus? cerita sama lo gak?”

“Lo serius gak tau?” tanya oikawa yang dijawab gelengan kepala dari bokuto.

Oikawa menatap bokuto sabar sambil menghela napasnya berat. Sesak juga memikirkan permasalahan pelik dua sahabatnya itu.

“Dia putus karena lo.”

“Maksudnya? Alisa masih suka sama gue gitu terus kuroo cemburu pas itu?”

Oikawa hampir kelepasan emosi, “Gak gitu goblok.”

“Kuroo yang suka sama lo. Dia pas itu masih belom mau ngaku. Alisa sih udah nyadarin itu, makanya dia mutusin kuroo. Yah alasan lain karena alisa juga sibuk skripsi sih, jadi keknya emang bener dia harusnya ngelakuin itu. Hubungan yang dilandasi keterpaksaan gak akan bertahan lama juga.”

“Bohong lo..” bokuto menyangkal.

“Tanya aja sama kuroo kalo gak percaya,”

Mendengarnya, bokuto mengumpat tak tertahan. Dia sempat diam beberapa menit untuk memproses semua yang oikawa katakan. Semua terasa begitu tiba-tiba. Semua berita besar itu, seakan ia terhantam satu batu besar di wajahnya.

Setelah beberapa saat, bokuto kembali ke kesadarannya dan membuka mulut.

“Jadi pas itu dia udah ada rasa ke gue, dan gue malah ngebawa dia ke shelter cuma buat liat gue flirting ke orang lain?”

Yes. Dan dia sampe sekarang masih ada rasa sama lo,”

Bokuto dibuat bungkam untuk yang kedua kalinya. Kali ini benar-benar membutuhkan waktu lama agar ia dapat memproses perkataan oikawa. Ia merasa terkejut bukan main. Dadanya terasa begitu berat karena rasa bersalah dan kekecewaan terhadap dirinya sendiri bercampur menjadi satu. Ia merasa kecewa pada dirinya sendiri karena ia yang tidak terlalu peka terhadap kondisi temannya yang satu itu.

Harusnya ia sadar. Harusnya ia sadar kalau kuroo kembali lagi di sampingnya setelah sekian lama. Harusnya bokuto sadar kalau tampang sebal yang kuroo tunjukkan waktu itu dikarenakan kuroo tidak suka saat ia flirting ke orang lain. Harusnya bokuto sadar, saat ia mencari distraksi agar dia bisa melupakan kuroo, ternyata ada kuroo di sampingnya yang sedang memupuk rasa padanya.

Oikawa melihat bokuto yang bereaksi seperti itu pun juga ikut diam sejenak. Ia tahu betul perasaan bokuto saat ini. Bokuto merasa seolah semua yang ia tahu kini dipertanyakan dan bersikap skeptis.

“Dan lo musti tau bok, kuroo udah inget apa yang lo lakuin sama dia waktu itu. Awalnya tu orang kaget banget waktu gue kasih tau, sampe bilang kalo dia ini kotor dan bejat. Gue bilang gak apa, wajar aja gitu kalo emang lo pada nafsuan.” Ucap oikawa.

“Awalnya dia nyangkal, tapi akhirnya nerima karena dia juga mikir. Dia gak sembarangan ngelakuin itu ke orang, bahkan pas dia mabok sekalipun. Jadi kata gue, dia gak keberatan selama itu sama lo...”

“Serius dia ngerasa begitu?” tanya bokuto tidak percaya akan apa yang ia dengar.

“Iya,” jawab oikawa.

“Dan gue malah berhenti, terus ninggalin dia. Paginya gue malah jemput akaashi, dan bahkan nerima dia. Wow, gue ini emang bajingan banget ya.”

Oikawa meresponnya dengan tertawa pelan. Memang iya, bokuto saat itu terlihat seperti bajingan seutuhnya. Tapi ya kembali lagi pada posisi bokuto saat itu, bokuto yang tidak mengetahui apa-apa.

“Lo kan posisinya gak tau. Kuroo pun belom bilang apapun, jadi misal gue di posisi lo kemungkinan besar gue juga ngelakuin hal yang sama.”

Kepala bokuto rasanya sangat pening. Semua informasi itu diterimanya secara bertubi-tubi. All of them really fuck his brain out. Layar ponselnya yang sedari tadi menyala tanda pesan masuk pun tidak ia hiraukan. Kini yang bokuto rasakan hanya penyesalan dan kekecewaan. Dua kata itu lah yang paling cocok untuknya saat ini.

“Jadi lo berdua sama-sama salah. Dan sekarang lo berdua sama-sama nyesel. Nih ya bok, kuroo bener-bener fucked up sampe susah diajak ngapa-ngapain sekarang.”

Bokuto membenarkan hal tersebut. Pantas saja kuroo tidak mau menemuinya. Pantas saja kuroo menyuruhnya jujur. Ia sendiri sebelumnya mengubur dalam-dalam rahasia kotornya itu agar tidak menjadi beban keduanya. Ternyata yang bersangkutan sudah mengetahui.

“Lagian lo ngapain sih nerima akaashi padahal masih sayang sama kuroo?”

Bokuto tidak langsung menjawab. Ia malah menatap layar ponselnya yang menampilkan bar notifikasi penuh dengan pesan akaashi.

“Awalnya dia confess kan terus abis itu belom gue jawab, karena emang gue belom sreg dan butuh proses. Dia bilang kalo sesuka itu sama gue, dan mau longterm relationship sama gue. Tapi karena gue sendiri ragu, gue pas itu mau tanya kuroo tapi malah kuroo ilang.”

Alasan bokuto ingin bertanya pada kuroo sebenarnya juga ingin memastikan bagaimana kuroo kalau bokuto berpacaran dengan akaashi. Bokuto tahu kalau keduanya tidak memiliki hubungan yang baik. Ia tahu dari cuitan yang mereka buat, meskipun ia sendiri jarang menggubris.

“Iya sih gue juga suka sama akaashi, tapi waktu itu sukanya masih kaya ngambang, paham gak?”

“Paham.” jawab oikawa.

“Terus abis dari kosan kuroo itu, gue ke kosan akaashi. Gue cerita semuanya ke dia, and he promised to help me to get over kuroo,”

“Dia bilang kalo dia bisa bikin gue lupa sepenuhnya sama kuroo. Karena waktu itu gue kalut, akhirnya gue ambil tindakan impulsif. Gue terima tawaran dia dengan asumsi gue bisa sayang sama dia seiring waktu, kaya sayang gue ke kuroo. Gitu singkatnya.”

“Bok, serius? demi apapun?”

Bokuto hanya meresponnya dengan anggukan kepala.

Hal itu membuat oikawa diam seribu bahasa. Kejadian itu begitu kacau hingga kata-katanya tidak mampu mendeskripsikan itu. Ini lah yang terjadi saat dua idiot saling jatuh cinta tapi tidak berkomunikasi. It fucked them up really bad.

Wah, jadi akaashi ini take advantage dari orang yang patah hati, batin oikawa.

Akaashi tetap meminta bokuto untuk menjadi pacarnya, padahal ia sendiri tahu kalau bokuto masih sangat menyayangi kuroo. Meskipun begitu, akaashi malah mengambil kesempatan. Memanipulasi bokuto agar bokuto percaya kalau ia bisa membantunya menghapus jejak kuroo dalam hati bokuto.

Oikawa hilang kata, ia kini hanya diam menatap bokuto. Akaashi keiji ini memang bajingan licik.

“Terus lo sekarang mau gimana bok?”

“Gak tau. Gue butuh mikir lagi oik,”

Keduanya menjadi hening untuk beberapa saat, hanya lantunan musik klasik yang meramaikan. Bokuto yang larut dalam pikirannya, begitu pun oikawa yang masih terkejut atas pengakuan bokuto tentang bagaimana ia dan akaashi bisa berakhir bersama.

“Kalo kata lo gimana, oik?”

“Apanya yang gimana? lo aja belom mutusin gimana gue mau ngasih pendapat.”

“Ya siapa tau lo ada saran gue harus apa gitu?”

Oikawa melipat tangannya di meja, menautkan jarinya. Setelah itu membuang napas gusar. Berulang kali ia membuang napas gusar hari ini, tepatnya saat pembicaraan ini berlangsung.

“Bokuto, gue tanya sekali lagi. Apa mau lo? biar lo tau langkah apa yang musti lo ambil. Pikirin apa yang menurut lo bener, ntar coba gue kasih pendapat.”

Bokuto terlihat memikirkan perkataan oikawa. Ia menundukkan kepalanya sehingga yang ia tatap hanyalah sepatunya sendiri.

“Gue mau ke toilet dulu.” ucap oikawa sambil berdiri. Bokuto mengangguk.

Kini hanya tinggal bokuto yang terlarut dalam pikirannya sendiri. Ia rasanya ingin menyalahkan waktu, tapi ia sendiri sadar kalau ia juga mengacaukan semuanya.

Di saat sesi renungannya itu, ponselnya sedari tadi menampilkan notifikasi pesan masuk dari pacarnya. Hal itu pun membuat bokuto buyar. Ia menjadi berpikir, banyak hal yang harus ia pertimbangkan. Banyak faktor yang terlibat dalam hal ini. Oleh karena itu, ia tidak boleh sembarang memutuskan.

Ia membuka ponselnya, dan tahu kalau akaashi menanyakan apa yang sedang dilakukan bokuto dan posisinya sekarang. Melihat itu, ia merasakan sesuatu yang membuatnya tersadar. Otaknya serasa sudah diberi pencerahan. Ia sudah memutuskan.

“Gimana?” kata oikawa saat kembali dari toilet.

“Gue udah mutusin,”

“Gue musti ambil keputusan yang sekiranya gak nyakitin orang, kalaupun ada itu harusnya gue yang sakit. Gue harus tanggung jawab sama apa yang udah gue perbuat oik,”

“Oke? jadi apa?”

“Pertama, gue bakalan ngomong dulu sama kuroo. Ngelurusin hal kemarin dan minta maaf. Demi apapun sampe sujud pun gue rela.”

Oikawa menyetujui hal itu. Ia menganggukkan kepalanya pelan.

“Terus lo bakalan balik sama kuroo, dan udahan sama akaashi?” tanya oikawa. Ia sedikit banyak berharap kalau itu yang akan dilakukan bokuto.

Nope, malah kebalikannya.” ucap bokuto.

“Gue kayanya masih stay sama akaashi. Gue baru jalan berapa hari oik,” imbuhnya.

What the fuck...

“Bok sumpah... Bok lo gak bisa gitu dong?” oikawa tersulut emosi sampai tidak sadar meninggikan suaranya.

“Ya gue harus gimana?”

“Lo tuh mikir bener gak sih?” tanya oikawa. “Lo masih sayang sama kuroo dan malah mau tetep ngejalanin sama akaashi? yang bener aja dong.”

“Akaashi tuh manfaatin lo, anjing! Logika lo tuh di mana?!”

“Gak apa-apa, gue lama-lama juga bakalan deal with it. Lagian, kalo nyangkut cinta tuh gak selalu pake logika oik. Kalo selalu pake logika, ya gak bakal jalan.”

“Gue gak tau harus nanggepin apa,” ucap oikawa.

Oikawa akhirnya membiarkan bokuto untuk sejenak. Ia biarkan agar kepalanya sendiri juga mendingin. Ia memutar otak dan mencoba memposisikan diri sebagai bokuto, meskipun demi apapun di dunia itu adalah hal yang sulit.

“Maaf, gue tadi kelepasan bok.” ucap oikawa setelah beberapa saat mendiamkan bokuto.

That's okay,” jawab bokuto, “Jadi menurut lo gimana, oik?”

“Setelah apa yang udah kejadian, ngeliat posisi gue, kuroo dan akaashi. Kata lo gimana?” tanya bokuto sekali lagi.

“Sebenernya yang jadi pertimbangan lo apa sih bok?”

“Kayaknya emang gue tuh terlalu brengsek buat kuroo, dan gue juga udah jalan sama akaashi. Mending gue ngelanjutin yang sekarang kan?”

“Meskipun lo tau kalo kuroo suka sama lo, tetep bakal lo lakuin?”

“Iya. He deserves someone better, and i think that someone is not me?

“Lo yakin ikhlas?”

“Gue bakalan berusaha. Lagian gue harus tanggung jawab sama keputusan yang udah gue buat sama akaashi. Gue gak mau jadi bajingan buat semua orang, oik. Dan gue harap lo ngerti posisi gue.”

Sudah kesekian kali oikawa menghela napas berat, tidak terhitung lagi. Kini yang dipikirkan orang itu hanya satu, ia hanya ingin kedua temannya ini bahagia.

“Yaudah, terserah lo aja bok.” ujar oikawa. “Gue cuma bisa berdoa yang terbaik buat kalian.”

“Yang gue maksud, lo sama kuroo.” imbuhnya.

You okay with that?

“Jujur aja, gue pengen lo sama kuroo aja. Kalian tuh udah paket komplit, gue juga tau kondisi kalian. Lo masih sayang sama dia, dia juga jadi goblok gara-gara saking sukanya sama lo. Makanya gue mikir, karena udah terlanjur basah kenapa gak sekalian nyelam aja ya kan?”

“Tapi ya abis gue mikir lagi, kalo gue jadi di posisi lo, keputusan lo yang itu cukup masuk akal. Lo tau apa yang terbaik buat diri lo dan kuroo, juga akaashi.”

“Yep...”

“Pesen gue cuma satu bok. Perasaan orang itu bukan mainan, dan hubungan itu bukan tempat bermain.”

“Iya, gue paham kok.”

“Lo bakal bilang ini ke kuroo?” tanya bokuto.

“Gak tau. Lo keberatan gak kalo gue bilang ke dia?”

“Gak juga sih sebenernya. Tapi mending biar gue aja yang bilang,”

“Oke.”

By the way, gue cabut dulu ya. Ini dari tadi gue dispam akaashi. Shiftnya udah selesai, terus minta gue cepet ke sana.”

“Iya, monggo. Inget kata gue pokoknya ya. Kalo lo butuh temen ngobrol lagi, gue selalu selo.”

Bokuto menjawabnya dengan anggukan dan gumaman.

“Oikawa?”

“Ya?”

“Makasih banyak.” ucap bokuto sambil menepuk bahunya.

“Yoi, santai aja.”

Bokuto kemudian membereskan barangnya, dan beranjak dari tempatnya. Berjalan menjauhi oikawa menuju ke meja resepsionis, entah untuk apa.

Sepeninggalan bokuto, oikawa kembali ke kegiatannya. Kini ia dipusingkan karena dua hal. Pertama karena tugas kuliahnya yang tak kunjung selesai. Kedua karena masalah hubungan kuroo dan bokuto, yang ia yakin bahwa akan selesai lebih lama daripada tugasnya itu.

Saat tengah berkutat dengan tugasnya, oikawa didatangi oleh pramusaji yang membawa minuman dan makanan.

“Atas nama kak oikawa ya?”

“Loh saya ngga pesen lagi kak?”

“Iya, tadi temen kakak yang pesen. Katanya buat temen kakak nugas,” ucap pramusaji itu sambil meletakkan makanan dan minuman, yang kebetulan merupakan favorit oikawa.

Bokuto fuckin koutarou.

Berapa kali oikawa dibuat speechless oleh ia malam ini? oikawa sudah tidak menghitung malam ini. Ia hanya menyinggungkan senyum tipis.

“Pantes kuroo bisa bucin tolol gitu sama lo bok,”

Oikawa sudah memantapkan hati. Meskipun ia tidak keberatan dengan keputusan bokuto, ia akan membuat semuanya menjadi seperti yang seharusnya terjadi.

Ia melihat keraguan dalam diri bokuto, dan ia akan membuat keraguan itu sebagai peluang. Peluang untuk temannya yang satu lagi.

“Liat aja lo pada.”

—fin.