Only fools
Usai pengakuan kuroo, keheningan menyelimuti kedua orang di satu ruangan itu.
“Apa maksudnya semua itu, bok?”
“Gue gak paham kenapa lo nge-tweet semua itu,” lanjut kuroo.
Bokuto diam seribu bahasa. Ia juga tak berniat menjawab pertanyaan itu lantaran ia sendiri juga bingung dengan jawabannya.
“Sebelum itu, kenapa lo bohongin gue?” Tanya kuroo, dari nada bicaranya yang getir itu tersirat amarah yang membuncah. “Gue kira temen selalu jujur...”
“Kenapa?” Ulang kuroo.
“Tolong jawab bok,”
“Gue—” Bokuto meragu. Ia gantungkan kalimat itu di bibirnya. “Gue... lagi gak mau ketemu lo.” Akhirnya ia jujur ke kuroo.
Tanda tanya besar muncul di pikiran kuroo.
“Akhir-akhir ini tiap gue ketemu lo, gue ngerasa gak bisa ngontrol diri gue..”
“Ada satu hal dari lo yang ngebuat gue ngerasa sedih gak jelas kur, dan gue gak mau terus-terusan kaya gitu.” Bokuto kalut.
“Pas lagi sama lo gue seneng. Tapi di lain sisi gue juga ngerasa sedih, karena ngerasa lo bakalan ninggalin gue suatu saat besok..”
“Dan karena sekarang lo udah ada prioritas baru, gue mulai membatasi diri. Nyesuaiin diri. Gue mulai nyoba gak terlalu bergantung sama lo,” Lanjut bokuto.
Pikiran kuroo ke mana-mana, ia jadi berpikiran hal yang tidak-tidak. Hingga akhirnya kuroo memberanikan diri bertanya hal yang ia pikir tak masuk akal.
“Lo ada rasa sama gue?”
Bokuto menatap kuroo, ia sedikit terkejut atas perkataan kuroo yang menurutnya cukup sensitif.
“Gak tau,” jawab bokuto.
Jujur, kalau dibilang suka atau ada rasa ke kuroo, bokuto belum yakin. Ia hanya merasa kesepian saat kuroo tidak ada. Ia hanya merasa separuh dirinya pelan-pelan menghilang. Ia hanya merasa hampa tanpa adanya kuroo yang dulu mengisi hari-harinya. Ia tidak mau kuroo, temannya, menghilang dari hidupnya.
“Iya atau gak? jawab yang bener,” ucap kuroo menuntut.
“Gue gak tau kur, sumpah...”
Awalnya bokuto pikir, kalau kuroo masih dengan alisa namun tetap bersama bokuto dalam kesehariannya, ia tak akan merasa sebegini merana. Namun perkiraannya dibantah habis-habisan oleh realita. Saat ia tahu bahwa kuroo kerap menghabiskan waktunya dengan alisa, itu membuatnya gundah. Ia hanya tidak mau alisa mengambil kuroo darinya. Itu saja.
“Terus kenapa lo kaya gini bok?”
Bokuto ingin kabur, “Bisa gak kalo gak ngomongin ini dulu?”
“Gak, musti tuntas sekarang. Gue gak mau ada yang ganjel lagi..” Jawab kuroo.
Bokuto terlihat menimang-nimang. Kuroo masih menunggu jawabannya.
“Fine. Lo tanya apapun, gue jawab semampu gue,”
“Gue ganti pertanyaan tadi,” Ucap kuroo, “Apa yang ngebikin lo jadi bersikap kaya gini?”
“Semuanya..”
“Spesifiknya?”
Bokuto mendudukkan dirinya di kasur kuroo. Kali ini ia akan membuka kartunya. Ia tumpahkan semuanya, karena ia sendiri sejatinya juga butuh solusi.
Selama ia mengenal kawan-kawannya, hanya kuroo lah yang mampu memberikan solusi terbaik untuknya. Mungkin kali ini ia juga akan mencoba membicarakannya dengan kuroo, meskipun sumber masalahnya adalah kuroo itu sendiri.
Bokuto menunduk “Jujur ya kur, gue gak tau cara ngadepin lo.”
“Gue..gak tau kenapa gue ngerasa kaya gini.”
Kuroo menanggapi, “Ngerasa kaya gimana?”
“Lo harus tau gue sering banget tanya ke diri gue sendiri, kenapa gue kaya gini? terlebih kenapa gue bersikap gini ke lo?”
Nada bokuto mulai terdengar getir. Nafasnya cukup tercekat, seolah leher dan dadanya dililit suatu belenggu.
“Gue gak tau gue kenapa, kur. Gue mikir kalo semua ini mulai waktu kita bahas alisa.”
Alis kuroo bertaut, “Jadi lo nyalahin pacar gue atas ketidak jelasan lo sendiri?”
Skakmat.
Bukan, bukan begitu maksud bokuto. Bokuto hanya ingin menyebutkan awal masalah diantara mereka. Bukan penyebab sikapnya yang seperti ini.
“Gak gitu, please dengerin gue dulu..”
Bokuto membenarkan posisinya dan mendongakkan kepalanya hingga menatap wajah kuroo. Ekspresi dari kawannya itu tidak tertebak. Antara marah, sedih, kecewa, dan bingung. Bokuto sendiri aslinya tidak kuat melihat ekspresi kuroo yang seperti itu. Ia tidak mau mengecewakan kuroo.
Bokuto mengucapkan kata-kata peringatan, “Lo boleh mukul gue abis ini, karena gue tau gue salah..”
“Semuanya mulai waktu lo bilang ke gue kalo alisa tertarik sama gue itu. Gue sering mikir, coba aja kalo lo gak ngelakuin itu dulu.”
Kuroo terdiam. Menyimaknya sambil menyandarkan badannya ke pintu. Ia sendiri terlihat kalem dan masih setia medengarkan penjelasan bokuto. Yang tidak diketahui, dadanya juga bergemuruh. Berpacu kencang membuatnya terasa tidak nyaman.
“Coba aja gue gak bilang hal yang gak seharusnya gue bilang, coba aja—” bokuto tercekat, “Coba aja kalo dari awal gak ada orang lain..”
“Pokoknya semua pemikiran 'coba aja' ngeganggu gue banget. Gue overthinking hal yang gak penting.”
“Jujur ya kur, secara gak sadar lo tuh jadi poros idup gue—” Bokuto masih menjelaskan panjang lebar. Kuroo pun masih mendengarkan dengan seksama walaupun kepalanya mulai pening.
“Gue kemana-mana bareng lo, makan sama lo, ini itu sama lo,” ucap bokuto, “Lo yang ada waktu gue kena masalah atau lagi nyari solusi, lo yang nge-comfort gue waktu gue down,”
“Jadi rasanya aneh aja gitu, kalo tiba-tiba lo jarang ngelakuin itu lagi..”
“Tiba-tiba hampa, lo tau rasanya?”
Kalau boleh jujur, bokuto rasanya ingin menangis. Kuroo pun begitu.
“Kalo lo tanya gue suka lo atau gak? gue gak tau. Gue gak tau batesan antara suka yang lo maksud sama suka sebagai temen. It's all blurry..”
Jeda sejenak. Ia tatap wajah kuroo. Masih menampilkan ekspresi yang sama. Bokuto takut, pikirannya kalut dan menjadi liar. Ia merasa berkecil hati.
“Tapi yah namanya nasi udah jadi bubur ya kur, yang udah yaudah. Gue mau fokus ke depannya aja. Lo ada alisa gak apa, gue juga bakalan nyoba gak terlalu bergantung sama lo lagi.”
Bokuto menghadap kuroo, ia tatap kuroo tepat di maniknya. Ia salurkan emosi yang kini menyelimuti dirinya.
“Jadi tolong, gue pengen lo nyadarin gue. Sadarin gue kalo yang gue rasain ini bukan apa-apa. Sadarin gue biar gue jadi temen yang baik dan gak terlalu bergantung ke lo. “
“Gue pengen kita kaya dulu lagi, kuroo. Lo boleh mukulin gue, sampe bonyok pun gue rela. Lo juga boleh nganggep semua ini gak pernah terjadi—”
“Tapi please, jangan jauhin gue...”
Kuroo terenyuh. Matanya sedikit memerah. Bokuto yang sedari tadi membuka mulutnya, tetapi kuroo lah yang menjadi sentimental. Hatinya melunak. Amarahnya mulai surut.
Kuroo berjalan mendekati bokuto kemudian duduk di sampingnya. Ia tepuk pundak bokuto.
“Bok, it's okay. Dengerin gue baik-baik,” Ucap kuroo yang membuat bokuto menolehkan kepalanya.
“Yang lo rasain itu, bukan suka. “
“Suka tuh bukan kaya gini, bokuto..”
Hati bokuto mencelos untuk yang kedua kalinya.
“Lo cuma terbiasa sama gue bok, gue yakin banget. Lo juga bilang sendiri kan?” Kuroo meyakinkan bokuto, dan dibalas anggukan oleh yang bersangkutan.
Kuroo yang masih menyangkal dan tidak mau ambil pusing masalah perasaan bokuto, dan bokuto yang benar-benar bingung.
“Gue juga terbiasa sama posisi lo. Makanya gue kemarin waktu lo susah dihubungin, gue juga ngerasa hal yang sama..” Kata kuroo.
“Gue juga pengen kaya dulu lagi, pengen banget,” Kuroo mengatakannya ke bokuto pelan.
Bokuto belum merespon. ia masih menyimak perkataan kuroo.
“Gue ngaku salah, gue minta maaf karena emang beberapa kali lebih ngurusin pacar gue dan jarang main sama lo. Tapi jujur, gue pun sebenernya gak masalah kalau lo bergantung ke gue.”
“Jadi.. gue anggep ini win-win ya. Gue anggep lo gak pernah ngebohongin gue, dan lo anggep gue gak pernah jauh dari lo.”
“Lo yakin?”
“Yakin, bok.”
Ucap kuroo final yang akhirnya juga disetujui bokuto, karena keduanya tak mau ambil pusing. Keduanya tidak suka jika masalah seperti ini menguras tenaga dan pikirannya, jadi mereka ambil mudahnya saja.
Memang benar keduanya merasakan hal yang sama, hampa saat salah satunya tidak ada. Namun pandangan mereka untuk satu sama lain mungkin saja berbeda. Tidak ada yang tahu, karena keduanya sama-sama menjadi orang bodoh kalau menyangkut perasaan.
They're only fools when it comes to love and feelings.