Merajut Asa


Jika ada lomba mengutuk dunia, kuroo dengan suka hati akan berpartisipasi dan tentunya akan memenangkan perlombaan itu. Akhir-akhir ini merupakan waktu yang sulit baginya, ditambah kondisi yang kini tengah dialaminya.

Tugasnya yang kian menumpuk membuatnya tinggal di perpustakaan fakultasnya setelah kelas sorenya selesai. Niat hati hanya ingin sampai jam delapan, namun karena terlalu asyik bergumul dengan laptop dan tugasnya, jam sepuluh malam pun sudah ia lewati. Kalau saja laptopnya tidak habis daya, ia mungkin tak akan menyadari hal itu. Ia melewatkan waktu makan malamnya, membuat perutnya perih bukan main karena ia juga memiliki masalah perut—asam lambung. Ini kesialan pertamanya hari ini.

Kesialan kedua terjadi saat dia akan pulang dan menuju ke parkiran fakultasnya. Ban motornya terlihat mengempis, setelah dicek kembali ternyata bocor. Kali ini kuroo benar-benar kehilangan batas sabarnya. Jam segini mana ada yang buka tambal ban? batinnya.

Kesialan ketiga. Daya baterai ponselnya kurang dari sepuluh persen. Kuroo bingung, ini memang kesialan atau memang dunia sedang mengujinya dengan kebetulan buruk yang bertubi-tubi. Tentu ia sangat ingin mengutuk dunia. Mengapa tidak bosan-bosan mempermainkannya?

Karena ponselnya yang akan mati, dengan cepat ia hubungi kawan-kawannya. Mengapa tidak ojek online saja? Sayangnya, kuroo tidak punya aplikasinya. Jalan kaki? hell no, kuroo masih menyayangi dirinya sendiri. Lingkungan di luar kampus kuroo sangat rawan, banyak penjahat kelamin dan orang-orang meresahkan, apalagi sudah jam segini. Lebih aman jika dia tetap berada di area dalam fakultasnya.

Namun, ia teringat hari esok masih ada kuliah. Ia harus pulang dan menyiapkan barangnya. Selain itu, kucing hitam kesayangannya pun belum ia beri makan. Jadi mau tidak mau menghubungi teman-temannya dengan ponsel yang dayanya tidak seberapa itu.

Alisa, pacarnya. Centang satu. Pasti sedang fokus dengan tugasnya, alias skripsi.

Delapan persen.

Daichi. Centang dua dan dibalas. Daichi pun sebenarnya menawarkan, tapi kuroo berubah pikiran. Rumah daichi terlalu jauh, kasihan kalau malam-malam begini.

Tujuh persen.

Oikawa. Deliv dan online, tapi tidak kunjung dibaca dan dibalas. Sudah dipastikan kawannya satu itu pasti sedang menjalankan ritual malamnya, yaitu nonton serial TV dan membiarkan ponselnya terbuka tanpa menutupnya.

Lima persen

Pilihan terakhir. Yang paling ia hindari beberapa hari yang lalu. Bokuto. Deliv. Namun, bokuto tidak menjawab. Tapi tidak kunjung dibaca. Online pun tidak.

“Aduh, gue ngarepin apa sih..”

Akhirnya ia pasrah. Menunggu di lobi gedung fakultasnya, berharap oikawa membaca pesannya dan mau menjemputnya. Harapan terbesarnya adalah oikawa. Sebelum ke lobi, ia berpesan kepada penjaga gedung untuk mengabarinya kalau ada seseorang datang mencarinya.


Sudah sekitar 30 menit kuroo menunggu. Ponselnya sudah mati. Laptopnya pun mati, ia lupa membawa charger. Lengkap sudah penderitaannya. Berbagai pemikiran yang tidak-tidak membuat dirinya tidak fokus. Ia bahkan memikirkan berbagai skenario. Skenario terburuk, ia menginap di gedung fakultasnya. Tidak mandi sampai besok. Terburuk.

Ia bergidik ngeri.

Tak banyak yang ia lakukan sembari menunggu. Membuka catatan kuliahnya hari ini, membacanya ulang sambil mencari distraksi. Ia sendiri sebenarnya tidak yakin menunggu apa. Ia bahkan tidak tau oikawa sudah membalas atau belum. Sebenarnya ia sendiri sudah putus asa, namun sesuatu dalam dirinya membuat ia terus berpikiran positif, walaupun sulit.

Saat tengah merajut asa, tiba-tiba penjaga gedung menghampirinya dan berkata bahwa ada seseorang mencarinya. Air mukanya langsung berseri. Ia sumringah. Berbagai pikiran negatif pun sirna.

Thank God, ucap kuroo dalam hati.

Akhirnya oikawa membalas. Sungguh ia ingin berterima kasih kepada oikawa. Ingatkan kuroo nanti untuk mentraktir oikawa makanan enak.

Jadi karena ingin pulang dan mengurus perutnya, dengan segera ia mengemasi barang-barang dan keluar gedung untuk menemui kawannya. Namun yang ia temukan di depan gedung bukanlah oikawa, melainkan bokuto.

Bokuto koutarou yang dengan santainya duduk di atas motornya, sambil sesekali memainkan ponselnya. Lengkap dengan dua helm dan hoodie kesayangan kuroo yang tertinggal beberapa waktu lalu.

Tatapan mereka pun bertemu. Bokuto tersenyum.

Kuroo sendiri seperti mengalami malfungsi hingga membuat dirinya sendiri tidak berkutik. Ia merasa canggung bukan main.