Whatever It Takes
Suara pintu diketuk terdengar, menyadarkan bokuto dari lamunannya.
“Dek, makan dulu,”
“Iya nanti kak,” jawab bokuto dari dalam kamarnya.
“Kakak masuk ya?”
Suara deritan pintu berbunyi, membuat bokuto mengangkat kepalanya. Terlihat kaori yang berjalan ke arahnya membawa nampan berisi makanan dan minuman. Diletakkannya nampan itu ke salah satu meja di kamar bokuto, kemudian ia dekati bokuto yang tengah terduduk di pinggiran kasur menghadap jendela.
“Udah tiga hari kamu begini, kenapa sih dek?”
Bokuto bungkam. Pasalnya sudah beberapa hari selang pesannya dibalas kuroo. Ia sudah menyangka kalau kuroo akan marah sih, tapi dia belum siap dengan segala silent treatment yang ditujukan kepadanya. Ia juga perlu mendinginkan kepalanya, walaupun berakhir makin uring-uringan dan lupa untuk mengurus diri sendiri.
“Ada masalah di kuliah?”
Bokuto menggelengkan kepalanya.
“Masalah sama anak-anak tim?”
Bokuto menggeleng lagi.
“Terus kenapa coba?” tanya kaori.
Bokuto menatap kakaknya sendu. Ingin rasanya ia tumpahkan segala keluh kesahnya pada kaori. Beribu pertimbangan masuk ke dalam pikiran bokuto. Bagaimana jika ia memberitahu kakaknya, namun faktanya tidak bisa diterima? Bagaimana kalau nantinya ia malah makin sakit sendiri?
Pemikiran 'bagaimana kalau' memporak porandakan fokus dan isi otaknya. Mata bokuto memerah dan sedikit berkaca-kaca, membuat kaori memeluk adiknya itu. Meskipun sudah kepala dua, bagi kaori adik laki-lakinya itu masih terlihat seperti anak kecil yang harus dijaga.
“Dek, kalo mau cerita, kakak di sini buat dengerin..” ucap kaori sambil mengelus punggung bokuto.
Bokuto yang kalap pun memeluk kakaknya. Membenamkan wajahnya di bahu sang kakak. Bokuto menarik napasnya dalam, memejamkan matanya sambil mengeratkan pelukan itu.
“Kak, aku—” ucapan bokuto tercekat, “Gimana kalo aku gak sesuai sama harapan mama kak?” ia ganti ucapannya menjadi pertanyaan terlebih dahulu.
“Gak sesuai gimana?”
Bokuto menarik dirinya pelan. Menghadap kaori yang ada di depannya. Ia rasa ia butuh tempat untuk mengadu, ia butuh solusi dan afeksi dari orang lain. Jadilah ia memantapkan hatinya untuk memberi tahu kaori tentang semuanya. Toh tidak ada gunanya menutupi, karena kakaknya itu akan tau kalau ada yang salah dengan dirinya.
“Aku suka orang kak—” ucap bokuto, “Gak tau gimana kejadiannya, semuanya kerasa cepet banget..”
“Tapi dia sekarang ngejauhin, nyuruh aku buat nyadarin diri sendiri karena kita temen doang..”
“Temen deket ya dek?”
Air mata yang dari tadi ditahan bokuto mulai lolos dari mata kirinya. Dengan segera bokuto menghapusnya. Ia satukan telapak tangannya lalu ia tumpukan di lutut, kemudian mengusap wajahnya gusar sambil menatap keluar jendela.
Tanpa menjawab pun, kaori tau bahwa adiknya itu mengiyakan pertanyaannya.
“Aku tau kalo dia ada pacar, tapi aku tetep suka”
Ia tahu kok kalau kuroo punya pacar, malah ia tahu pasti bagaimana kuroo berakhir dengan pacarnya saat ini. Justru hal itu yang membuatnya uring-uringan.
“Emang sesalah itu ya kak?”
Iyalah, pake nanya lagi, goblok. Batin bokuto menjawab pertanyaannya sendiri. Pikirannya campur aduk menjadi satu.
“Agak lebay sih, tapi aku kaya losing half of myself?”
Hal itu membuat kaori tertegun.
“Dek..kamu sesayang itu sama dia?”
“Iya, mungkin?”
“Dia sendiri ke kamu gimana?”
Bokuto menghela nafasnya, “Ya sayang.. sebagai temen doang,”
“Pusing banget kak, serius..” Ucap bokuto lirih, “Aku takut ngecewain mama juga...”
Hening menyelimuti mereka berdua. Menyisakan suara jarum jam yang seperti mengiringi mereka. Hingga akhirya kaori buka mulut,
“Dek, tetsun itu orang baik..” bokuto tercengang lantaran kakaknya yang satu itu tahu siapa orang yang dimaksud.
“Mama gak akan kecewa selama kamu suka sama orang baik,” lanjutnya.
Sebenarnya kaori tau kalau adiknya tengah sedang perang dingin dengan kuroo. Beberapa waktu lalu saat kuroo berkunjung, ia tak sengaja memergoki kuroo yang buru-buru keluar rumah. Wajah kuroo yang memerah dan seperti menahan tangis pun membuat kaori terheran-heran. Ia tidak tahu alasan kuroo bersikap seperti itu, namun kini ia sudah menemukan jawabannya. Ah, masalah asmara, batinnya.
“Kalian berantem gara-gara apa kemarin?”
Bokuto mengangguk, “Kak, i fucked this up,“
Tumpahlah semua. Dari awal hingga sekarang ini.
Bokuto bercerita bahwa ia sendirilah yang membuat semuanya semakin rumit. Tentang ia yang jengah saat kuroo membicarakan alisa saat awal-awal itu, yang akhirnya ia sadar bahwa ia cemburu. Tentang bokuto yang memiliki perasaan tidak terdefinisikan, hingga malam itu saat kuroo datang, itu semua seperti membuka mata bokuto. Bokuto menyukai kuroo, amat menyukai. Bokuto menginginkan kuroo, lebih dari seorang teman.
Bokuto tidak sadar, ada sesuatu dalam dirinya yang membuat hasrat bersama kuroo kian menggebu. Kadang kalau ia sudah sadar, ia selalu merasa bersalah pada alisa. Namun, ada kalanya keegoisan dirinya mengambil alih. Siklus ini terus berulang, dan akhirnya membuat bokuto kian menyalahkan diri sendiri karena berada dalam posisi yang cukup sulit.
“Aku harus gimana kak?”
“Dek, dengerin kakak ya.. ” ucap kaori, “Ini kakak cuma ngasih saran aja, terserah kamu nanti mau ambil sikap gimana,”
“Iya kak...”
“Kalau ngomongin perasaan kamu, itu enggak salah dek,” kata kaori. Ia raih tangan adiknya kemudian diusap pelan.
“Kaya apa yang udah kakak bilang tadi, suka sama orang itu hak kamu. Dan selama orang itu baik, mama gak akan keberatan..”
“Lagian, perasaan itu hal yang gak bisa kamu kendaliin, iyakan?”
Bokuto mengangguk menyetujui.
“Punya rasa ke orang itu gak salah, siapapun orang itu,” katanya. “Mau sesalah apapun perasaan kamu di mata orang, if it feels so right, then it's alright,”
“Yang salah itu kalo kamu mau sama dia, saat orang itu enggak—atau belum— ditakdirkan sama kamu.”
“Kaya aku sekarang kak?” tanya bokuto, “Kaya yang kemarin aku lakuin?” lanjutnya dengan nada getir.
Bokuto merasa tertohok dengan kata-kata yang diucapkan kakaknya itu. Tentu ia sering merasa bersalah. Pikirannya kembali ke malam-malam saat ia, dengan kondisi tidak sadar, mencoba untuk mencium kuroo tepat di bibir. Bahkan mengingatnya pun membuat hati bokuto mencelos saat ini.
“Dek, kakak percaya kamu bisa milih mana yang harus dilakuin,”
“Coba tempatin dirimu sendiri sebagai orang lain, liat dari sudut pandang dia misal kamu ngelakuin suatu hal...”
“Jangan jadi orang jahat cuma karena keinginan diri sendiri dek,” ucap kaori, “Paham kan maksud kakak?”
“Kakak sama sekali gak nyalahin kamu yang suka tetsun, kalau memang suka ya berarti suka. Kamu bebas mau suka siapapun,”
“Tapi kamu tetep harus tau posisi tetsun sekarang. Ini kan posisi tetsun gak suka ke kamu ya, kaya kamu suka ke dia. Coba kalau iya?” tanya kaori yang makin membuat bokuto termenung.
“Hubungan kalian makin rumit. Kamu bakal jadi orang ketiga, dan kalau itu kejadian, kakak menyayangkan banget..”
Kaori mengusap pipi adiknya lembut.
“Milikin sesuatu yang seharusnya bukan milikmu itu gak baik dek,”
“Jadi aku harus maju atau mundur kak?” Tanya bokuto. Ia tatap kakaknya itu dengan penuh harap.
Sejujurnya tanpa ditanya pun bokuto sudah tau jawabannya. Mundur. Tentu saja mundur. Apa yang diharapkan dari hubungannya dengan kuroo?
Posisi kuroo yang masih pacaran dengan alisa, dan kuroo yang secara terang-terangan menyuruhnya untuk menjernihkan kepalanya. Hal itu bokuto artikan bahwa kuroo menginginkannya untuk menghapus perasaan itu. Apapun harus dilakukan agar dia sadar dan kepalanya kembali jernih. Whatever it takes.
Jahat rasanya kalau ia memaksakan diri dan membuat kuroo menjadi miliknya sekarang. Cukup malam itu saja ia menjadi jahat. Cukup ia sendiri.