Saudade
Bokuto tersenyum melihat kuroo, orang yang ia temui. Hampir jam sebelas malam dan bokuto mau menjemput kuroo. Padahal keadaan mereka dapat dibilang tidak baik. Masih perang dingin, katanya.
Namun kuroo, yang dijemput, hanya diam membisu. Menatap bokuto dengan wajahnya yang kelelahan dan badan yang kaku.
Bokuto koutarou. Orang yang membuat pikirannya akhir-akhir ini runyam. Kuroo akui sebenarnya itu bukan sepenuhnya salah bokuto. Bokuto sudah menjauh dan menjernihkan pikirannya. Namun kuroo sendiri lah yang memperumit diri dan keadaan. Ia juga bingung apa yang terjadi dengan dirinya dan mengapa dia melakukan itu.
Dan kini bokuto ada di hadapannya, mengulurkan satu helm dan hoodie hitam yang familiar ke kuroo. Namun kuroo tidak kunjung merespon, ia masih terdiam. Ia memikirkan mengapa bokuto mau-maunya menjemput dirinya ke sini, setelah apa yang mereka alami akhir-akhir ini. Ia memikirkannya sampai tidak fokus ke sekitar. Bahkan ia hampir tidak menyadari kalau bokuto memanggil namanya berulang kali.
“—kur?”
“Gak mau pulang?” ucap bokuto, menyadarkan kuroo dari diamnya.
”...mau,”
Kuroo yang tersadar dari lamunannya pun dengan segera menerima helm dan hoodie di depannya.
Dalam perjalanan pulangnya, kuroo masih tak membuka mulut. Dia diam seribu bahasa. Duduk di jok belakang motor bokuto, membiarkan angin dingin menerpa wajahnya.
Kemudian ia menyadari bahwa jalan yang mereka tuju bukanlah jalanan ke kos kuroo. Melainkan ke tempat yang beberapa hari lalu ia datangi.
Alun-alun.
“Ngapain ke sini?” kata kuroo saat mereka sudah sampai. Bokuto turun dari motor dan menatap kuroo.
Ia memarkirkan motornya tepat di depan gerai makanan.
“Lo belum makan kan?” Tanya bokuto, “Perut lo bunyi tuh daritadi..” sambungnya.
“Makan dulu, sekalian gue mau ngomong...”
Kuroo mengangguk. Sial, bokuto menyadarinya. Ia berpikir kalau bokuto mengetahui gerak-gerik kuroo, kebiasaannya, dan semua tentangnya saat ia sendiri tidak begitu peduli pada hal itu.
“Lo duduk aja di sana,” ucap bokuto sambil menunjuk satu bangku di pinggiran alun-alun, menghadap lapangan tengah. Cahaya dari lampu jalanan menyinari tempat itu. “Gue pesenin makanan dulu,”
Kuroo menuruti kata-kata bokuto. Ia langkahkan kakinya ke bangku yang ditunjuk sebelumnya. Ia tatap lapangan yang dulu menjadi tempat bermain mereka—sering mereka kunjungi. Sekarang ramai, tidak seperti terakhir kali ia ke tempat itu sendirian. Ia terlarut dalam pikirannya sendiri.
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya bokuto pun datang dengan membawa dua box makanan beserta minumannya. Bokuto mendudukkan dirinya di sebelah kuroo. Ia tidak berkata apapun, menunggu kuroo membuka mulut. Tapi kuroo sendiri masih enggan untuk mengeluarkan suara.
“Lo kemarin ke sini kan?” tanya bokuto sambil memberikan satu cup minuman ke kuroo.
Kuroo tersenyum kecil menerimanya, “Iya,”
Ah, ternyata bokuto tau. Ia tau kalau kuroo memang sengaja ke sini untuk menghabiskan waktu sorenya. Kuroo seorang diri ke sini berharap pikirannya bisa jernih atau setidaknya meringankan hatinya, namun yang ia dapatkan hanyalah perasaan aneh yang kian membuncah.
“Gue kemarin ke sini, bosen. Tapi sekarang rasanya udah lama gak ke sini...” ucap kuroo sambil menenggak minumannya. Tatapannya masih lurus, jauh menuju tengah lapangan yang terdapat beberapa orang-orang bergerombol.
“Kayanya karena gue sekarang bareng lo,” lanjutnya.
“Kerasa udah lama ya?”
“Iya, padahal baru tiga minggu gue gak ketemu lo bok...”
“Gue ngerasa setahun,” Bokuto tertawa pelan.
“Sama...” Kuroo juga membalas tawa bokuto.
Akhirnya mereka berdiam diri lagi, sesekali menyesap kopi panas yang menghangatkan mereka. Makanan mereka belum terjamah sama sekali.
“Makasih ya..”
“Buat?” tanya bokuto.
“Mau jemput gue,”
Namun bokuto tidak menjawab. Malah ia menyandarkan punggungnya ke bangku dan menatap langit-langit. Tidak terlihat bintang maupun bulan. Hanya ada cahaya dari lampu jalanan yang menjadi saksi bisu mereka.
“Maaf ya bok,” Kuroo menoleh ke arah bokuto.
Bokuto menatapnya bingung.
“Buat yang kemarin..” lanjut kuroo.
“Gue sadar gue kasar banget ke lo,” kuroo berkata pelan.
Rencana untuk mengirim pesan ke bokuto beberapa minggu lalu pun tidak kunjung ia lakukan. Ia merasa waktu tidak selalu tepat baginya. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, waktu tidak akan pernah tepat. Kecuali jika memang dibuat agar tepat. Seperti sekarang.
“I'm sorry for breaking your heart too,” ucap kuroo.
Bokuto menatap kuroo sendu. Sinar dari lampu jalanan turut memperjelas air muka bokuto.
“Gue sadar gak seharusnya gue ngetreat lo kaya gitu hanya karena lo temen gue,”
“Gue kemarin nyepelein..dan kesalahan gue di situ bok,” ujar kuroo, “Justru karena lo temen gue, harusnya gue gak ngetreat lo kaya gitu..”
Kuroo sendiri kini mulai memikirkan semua perbuatannya ke bokuto. Ia menyadari bahwa ia juga terlalu kejam. Kalau kata oikawa, kuroo itu jahat. Malam itu ia benar-benar memikirkan perkataan oikawa.
“Gak apa kur,” Bokuto berkata sambil menghela napasnya, “Gak usah dibikin pusing...”
“Lagian juga udah kemarin-kemarin,” Imbuhnya.
“Hmm... kalo boleh jujur ya, gue capek begini terus kur. Mau gak mau emang kita harus ambil keputusan,”
Kuroo menghela napasnya, “Gue juga capek bok...”
“Iya, makanya ini gue mau ngomong sama lo,”
Bokuto terkekeh pelan, “Gue kesepian banget tau, yah walaupun ada temen sih tapi beda aja gitu..” Kuroo mendengarkan bokuto yang mulai bercerita.
Bokuto yang setiap hari mencari distraksi agar tidak memikirkan apa yang terjadi dengannya dan kuroo. Hari-harinya berjalan seperti biasa, namun seperti ada yang kurang. Pemikiran itu terus membuatnya berlarut-larut.
Setiap malam ia memikirkan, andai saja bokuto tidak melakukan itu semua. Namun siapa bokuto yang bisa mengontrol perasaan saat itu? kalau boleh memilih, bokuto akan mengulang semua itu dan tetap menjadi teman dengan kuroo saja. Oleh karena itu, di sinilah ia memutuskan.
“Gue udah sadar kur..” ujar bokuto
“Jadi, bisa ya kita balik kaya sebelumnya? Gue bakalan ngontrol diri misal kelewatan. Gue juga udah bisa ngendaliin perasaan sekarang,”
“Lagian gue mikir, temenan kita gak setipis itu buat bisa ancur cuma gara-gara masalah perasaan begini...”
“Ya?”
Bokuto bahkan berkata bahwa ia rela melakukan apapun agar bisa kembali seperti dulu. Perang dingin dengan kuroo bukanlah rencana dalam hidupnya. Jadi ia tidak mau membuang waktu untuk hal seperti itu. Lebih baik ia dengan segera mengakhiri kondisi yang benar-benar menyiksanya ini.
“Gue kangen pergi main sama lo..” imbuh bokuto.
Lidah kuroo kelu.
Kuroo pun sebenarnya juga merasa begitu. Beberapa minggu terakhir ini terasa seperti neraka baginya. Selain kuliah, keadaan ini benar-benar menyiksanya.
“Bok..” panggil kuroo.
Bahkan tanpa sadar kuroo melakukan beberapa hal yang sekiranya pernah ia lakukan bersama bokuto dahulu. Seperti memakan junkfood—cheese burger, ia jadi teringat saat bokuto hampir tengah malam mampir dhrive thru dan dengan suka rela mengantarkannya ke kos kuroo.
Atau saat alisa sakit, ia teringat bokuto yang mau mampir ke supermarket untuk membelikannya obat flu, minuman vitamin C, dan pakan kucingnya. Tanpa sadar ia pun melakukan itu ke pacarnya sendiri.
Atau saat kuroo yang mampir ke tempat favorit mereka—alun-alun— seorang diri.
“Lo pikir gue kemarin ke sini ngapain?” tanya kuroo. Kuroo pun sebenarnya beberapa hari yang lalu ke alun-alun agar bisa meringankan perasaanya.
“Gue kepikiran banget pas kita main di sini,” ujar kuroo, “Gue pengen banget, sampe gue gak sengaja malah chat lo...”
Akhirnya kuroo mengaku terkait insiden beberapa hari yang lalu. Ia yang tidak sengaja mengirimi bokuto pesan, kemudian panik bukan main dan langsung menariknya.
“Akhirnya gue sendirian ke sini, sedikit ngarep kalo lo bakalan ada di sini.. tapi nyatanya enggak ada,” kuroo terkekeh sambil menunduk.
“Sebenernya gue kemarin ngeliat chat lo,” kata bokuto. Kuroo hanya mendengus geli mendengar tanggapan bokuto.
Iya, bokuto membacanya lewat notif. Belum sempat ia buka, namun sudah ditarik terlebih dahulu oleh kuroo. Ia mau menanggapi pun juga bingung harus bagaimana. Apalagi ia waktu itu masih dalam proses menjernihkan pikirannya.
Namun bokuto sekarang merasa telah jernih dan tersadarkan, jadi waktu kuroo tiba-tiba mengiriminya pesan minta untuk dijemput ia tak keberatan. Dan saat ia membalas malah centang satu, ia segera tancap gas menuju kampus kuroo.
Hening pun menyelimuti mereka sebentar.
“Jadi gimana?” bokuto bertanya.
“Gimana apanya?”
“Lo tau maksud gue, kuroo..”
Kuroo tergelak, tawanya lepas.
“Iya iya,” ucapnya. “Lagian idup gue gak asik kalo gak ada lo,”
Bokuto membalas tawa kuroo “Sama,”
“Sekali lagi maaf ya bok, buat semuanya..”
“Iya elah, bosen gue denger maaf mulu. Udah nih makan, jangan bawel..” jawab bokuto sambil memberikan bungkusan makanan.
Setelah sesi buka-bukaan mereka, akhirnya mereka melanjutkan perjalanan untuk pulang ke kos kuroo. Kembali lagi ke kuroo yang membonceng bokuto di jok belakang. Ia kenakan hoodienya yang sebelumnya tertinggal di rumah bokuto untuk beberapa minggu. Bahkan sudah dicuci beberapa kali kata bokuto.
Angin malam itu begitu dingin, merasuk ke dalam tubuh kuroo dan membuatnya menggigil. Kuroo yang aslinya tidak tahan dingin, mengeratkan tangannya untuk menghangatkan diri. Kalau sudah seperti ini, napasnya menjadi memberat. Ia sendiri menjadi mengantuk dan sedikit oleng. Meskipun sudah memakai hoodienya—bajunya menjadi tiga lapis— ia tetap menggigil dan tangannya merasa kebas.
“Bok, pelan aja.. gue dingin banget,”
“Iya ini pelan,” jawab bokuto.
Benar laju motor bokuto menjadi lebih pelan daripada sebelumnya. Namun, kuroo masih kedinginan. Nyatanya dingin malam itu tidak terelakkan.
“Lo kaga apa?” tanya bokuto.
“Bok, boleh gue peluk lo?” alih-alih menjawab, kuroo malah menanyakan hal lain.
Bokuto terdiam mendengarnya. Kuroo pun begitu setelah sadar apa yang ia ucapkan. Jadi dengan cepat ia imbuhkan, “Kalo gak boleh gak papa sih..”
“Iya boleh,”
Bokuto yang dasarnya tidak tegaan, apalagi dengan melihat kuroo yang kondisinya seperti itu, memperbolehkan kuroo. Bokuto sendiri juga seperti tidak terlihat keberatan.
“Thanks” cicit kuroo.
Jawaban bokuto membuat kuroo seperti melihat lampu hijau. Ia dekatkan badannya ke bokuto. Ia melingkarkan tangannya di tubuh bokuto. Wajahnya begitu dekat dengan perpotongan leher bokuto. Bahkan ia bisa menghirup aroma parfum kawannya itu. Menyeruak dan memaksa memasuki indra penciumannya. Membuatnya sedikit tenang dan membekas di ingatannya. Kemudian ia sandarkan kepalanya ke pundak kokoh bokuto.
Pundak yang ia ingat, sudah dua kali ia peluk. Kalau ditambah sekarang menjadi tiga kali. Terakhir kali sewaktu mereka ke gunung subuh-subuh. Kuroo yang juga kedinginan di motor, mau tak mau menurunkan gengsinya dan memeluk bokuto. Saat itu ia tidak memikirkan apapun.
Satunya lagi saat bokuto menginap di kosnya. Iya, kuroo mengingat waktu itu. Ia sadar bahwa ia memeluk bokuto dalam tidurnya. Bahkan di memorinya masih membekas tentang bagaimana tanggapan bokuto yang kelewat panik. Malam itu sangat dingin, tentu. Ia sendiri yang sebenarnya setengah sadar karena mengantuk, menggerakkan tangannya melingkari perut bokuto. Sayup-sayup ia dengar bokuto memanggil namanya hingga sadar sepenuhnya.
Karena saat ia sadar tangannya sudah terlanjur melingkar di tubuh bokuto, ia memutar otaknya. Jadilah ia berpura-pura mengigau dan tetap bertahan pada posisi itu. Ia tidak mau canggung pagi harinya. Esoknya pun ia berpura-pura bahwa hal itu tidak pernah terjadi. Bahkan dia juga tau maksud tweet bokuto di twitter. Tapi kembali lagi, ia yang berpura-pura bodoh dan menganggap itu tidak pernah terjadi.
Ia merasa déjà vu.
Hangat, batin kuroo.
Tiga kali ia memeluk bokuto. Meskipun ia sendiri masih sering sungkan dan aneh saat memeluk bokuto, pelukannya masih sama-sama hangat dan nyaman. Kuroo pun tidak keberatan dengan itu.
Bahkan semua posisinya pun sama, ia yang memeluk bokuto dari belakang. Yang membedakan sekarang dengan yang lain, yakni kuroo sekarang dapat melihat ekspresi bokuto saat ia peluk melalui kaca spion dengan jelas.
Kuroo kira bokuto akan menampilkan wajah panik. Seperti saat ia ke gunung dengan bokuto, meskipun dengan kaca buram karena mengembun, ia masih bisa melihat wajah bokuto yang menegang saat ia peluk. Padahal bokuto sendiri yang menawarkan, tapi malah ia sendiri yang tegang.
Namun sekarang ia dapat melihat ekspresi bokuto dengan jelas, tenang. Keadaan saat itu juga tenang. Saking tenangnya kuroo sampai bisa merasakan degup jantung bokuto dari dari telinganya yang ia tempelkan di pundak kiri bokuto. Lantas ia eratkan pelukannya.
Kemudian ia tatap ekspresi bokuto sekali lagi.
Tidak tegang, tidak panik, dan wajahnya tidak memerah. Bokuto sangat tenang seperti tidak merasakan apapun. Bahkan degup jantungnya teratur. Ia jadi teringat saat tadi bokuto bilang sudah menjernihkan pikirannya. Ah, ternyata ia sungguh-sungguh.
Ekspresi panik bokuto lenyap. Debaran jantungnya yang menggebu juga sirna.
Perasaan bokuto pun sudah hilang.