Incorrigible


Usai dihubungi bokuto yang membuatkan masakan untuknya, kuroo segera tancap gas ke rumah bokuto. Jarak dari kosnya ke rumah kawannya tersebut tak terlalu jauh, hanya memakan waktu kurang lebih 15 menit. Tak lupa sebelum sampai ke rumah bokuto, ia sempatkan mampir ke salah satu gerai minuman kesukaan mereka untuk membeli pesanan bokuto. Setelah itu ia membeli beberapa oleh-oleh untuk keluarga bokuto, minus ayah bokuto karena yang bersangkutan sedang ke luar kota.

Sesampainya di rumah bokuto, ia disambut oleh kakak bokuto yang pertama, chiyo. Perawakannya mirip kakak kedua bokuto, kaori, namun lebih pendek dan berisi. Pembawaannya ramah dan calming.

“Masuk dulu tetsun, kou lagi mandi kayaknya,”

“Lah udah jam segini baru mandi dia kak?”

“Kaya gak tau kou aja kamu,”

Kuroo cekikikan mendengar ucapan kakak bokuto. Masuk ke dalam rumah bokuto pun disambut hangat oleh mama dan kakak bokuto yang satunya. Mereka mempersilahkan kuroo langsung ke ruang makan, di mana piring berisi masakan bokuto sudah disajikan.

Sebenarnya, kalau boleh jujur, itu bukan sepenuhnya masakan bokuto. Beberapa masakan tentu dibantu oleh mama bokuto untuk membuatnya. Bokuto saja yang bergaya, berkata bahwa semua ia masak sendirian.

Tepat saat kuroo mendudukkan dirinya di salah satu kursi, bokuto tiba-tiba masuk ke ruangan itu tanpa menggunakan kaos, “Lah udah dateng,”

“Dek, udah berapa kali dibilang kalo di rumah tuh pake baju dulu,” Kakak pertama bokuto jengkel lantaran adiknya satu itu sering tidak memakai baju di rumah.

“Kenapa sih kak, orang badanku juga bagus kenapa harus disembunyiin,” Jawab bokuto sambil memakai kaosnya.

“Capek gue punya adek begitu,” sahut kaori sambil menyeret kursi di samping kuroo, “Lo gak capek temenan sama dia, tetsun?”

Kuroo tertawa mendengar pertanyaan kaori, “Capek sih kak, tapi ya gimana. Dia nempel mulu kaya perangko,” jawabnya.

Bokuto sedikit pundung, “Semua aja jahat sama gue,”

Karena semuanya telah berkumpul, maka agenda makan malam bersama itu dibuka dengan mama bokuto yang mengambilkan nasi untuk anak-anaknya, dan kuroo tentunya. Selang beberapa saat, kegiatan makan pun selesai.

Surprisingly, masakan yang—katanya—bokuto masak itu tidak sampai membuat kuroo masuk ke rumah sakit. Malah dapat ia bilang masakannya normal.

“Tetsun gimana kabar kuliah? kok akhir-akhir ini jarang main ke sini,”

“Kuliah lancar tante, cuma kerjaan lab agak numpuk,” Jawab kuroo. “Maaf ya tante, tetsu jadi jarang ke sini,”

Mama bokuto memandang kuroo lamat, “Iya gapapa kok dear, kan sekarang udah di sini,” jawabnya sambil tersenyum.

Bokuto memperhatikan mereka berdua yang asik mengobrol. Ia hanya diam, tidak ikut menimpali. Seperti obat nyamuk sekali kan.

“Kalau pacar gimana? udah ada?”

Holy crap, batin bokuto dan kuroo bersamaan.

Kuroo mau tak mau jujur pun menjawab pertanyaan mama bokuto dengan anggukan pelan. Kenapa sih harus bawa-bawa pacar di saat begini? Jujur saja bokuto jadi sedikit kesal. Kenapa harus membawa-bawa orang yang bahkan posisinya tidak di sini sekarang?

“Tuh dek kou, kamu tiru tetsun. Kuliah jalan, pacaran juga jalan..” Ucap mama bokuto, sambil menepuk anak laki-lakinya itu. “Jangan bola voli terus yang dipikirin,”

Mendengar itu, bokuto yang tengah menenggak minuman di gelasnya pun jadi tersedak, “Apaan sih ma..”

“Kamu gak kesaing apa? orang tetsun aja udah ada pacar, kamu belom. ketinggalan sendiri kamu nanti,”

Aduh, bokuto jadi pening.

Kuroo yang paham situasi ini segera mengambil tindakan.

“Ah maaf nyela tante, ini ada bingkisan..” Ucap kuroo sambil menyerahkan bungkusan yang sempat ia beli di jalan sebelum kemari tadi.

“Sama kayanya tetsu sama bok harus ke atas sekarang, takut keburu ngantuk. Bok minta diajarin nyusun format naskah seminar yang bener,”

“Iya kan?”

Bokuto cengo, “Hah?”

Kuroo menendang pelan kaki bokuto dari bawah meja makan. Membuat bokuto paham dan segera mengiyakan kuroo.

“Ah iya..” kata bokuto, “Kou sama kuroo ke atas dulu ya..”

Lantas keduanya berdiri dan membereskan piring mereka. Setelah itu langsung menuju ke arah kamar bokuto, yang terletak di lantai tiga dan paling pojok.

Apanya yang minta diajarin? orang rencana awal mereka ini cuma mau makan dan setelah itu bermain ps sampai bosan. Tidak terbesit sedikitpun di pikiran bokuto untuk meminta kuroo mengajarinya.


“Ajarin apa tadi? nyusun format naskah seminar?” Ejek bokuto saat keduanya sudah tiba di kamarnya. “Ngaco lo, orang di prodi gue gak ada seminar,” bokuto tertawa lebar.

“Ya lagian tadi canggung bener anjrit, muka lo juga udah sepet banget,” Jawab kuroo sambil merebahkan dirinya di sofa kamar bokuto yang menghadap layar TV.

Kini keduanya sudah berada di kamar bokuto untuk menjalankan niat awal mereka setelah makan, yakni main ps sampai suntuk. Tidak ada tuh yang namanya belajar menyusun format naskah yang benar, kuroo saja yang berkata ngawur.

Kuroo menyarankan untuk beristirahat sebentar, menunggu perut mereka yang penuh itu agar tidak terasa mengganjal. Jadilah keduanya hanya mengobrol dan sesekali memainkan ponselnya.

“Main lah ayo,”

“Gas aja..”

Setelah memilih video games yang ingin mereka mainkan bersama, mereka tak sadar telah menghabiskan satu jam. Permainan diisi dengan kuroo dan bokuto yang saling berkompetisi untuk memenangkan game tersebut. Namun kuroo yang notabenenya tidak ahli dalam bermain video game, hanya dapat menerima nasib karena sering kalah.

“Lo curang anjing! masa gue dari tadi kalah mulu,”

Bokuto yang masih asik memainkan stick ps-nya menyahut tidak terima, “Enak aja, itu mah lo yang payah..”

“Mana ada,” ucap kuroo yang jengkel, kemudian ia ganggu bokuto yang masih fokus ke layar TV yang menampilkan permainan yang mereka mainkan. Ia tarik stick PS yang dipegang bokuto,

“Mati gak lo monyeeet...”

“Heh goblok, jangan ngawur ini hampir finish—”

“Anjing! game over kan!”

“Mampus lo...” ucap kuroo sambil memukul bokuto dengan bantal sofa tempat mereka duduk.

“Stop kur—”

“Gak—”

“Woi!”

Bokuto yang posisinya tidak siap pun agak limbung dan terjatuh ke lantainya yang dingin. Ia mengaduh tapi dibersamai dengan tawanya yang pecah. Kuroo pun terkejut karena bokuto yang jatuh terjungkal itu, namun karena bokuto tertawa ia jadi tidak bisa menahan tawanya juga.

“Heh bok, lo gak papa?,” ucap kuroo sedikit menahan tawa. Kawannya yang satu itu aneh sekali, hanya dipukul pelan namun malah terjatuh.

Namun dengan segera bokuto membenahi posisinya dan duduk kembali, “Setan emang lo..” jawab bokuto masih sambil cengengesan dan membersihkan bajunya.

Kuroo pun berhenti tertawa, kemudian memandang bokuto yang masih ada dalam posisinya. Ia tatap wajah bokuto yang menunjukkan adanya kejanggalan kening bokuto. Sedikit bercak kemerahan, namun tidak berdarah. Hanya sedikit memar.

“Bentar,” Kuroo menyipitkan matanya, “Aduh bok lo kenapa sih, sampe memar gini anjir..”

“Ya lagian lo ngapain mukulin gue pake bantal?”

“Abis lo rese,” Ucap kuroo, “mana coba gue liat memarnya,”

Kuroo mendekatkan wajahnya ke wajah bokuto. Bokuto hanya diam menuruti perkataan kuroo.

“Ini mah harus di kasih salep bok,”

“Ada di bawah,”

“Gue ambilin bentar, lo sini aja,” ucap kuroo kemudian meninggalkan bokuto sendirian di kamarnya.

Beberapa menit pun berlalu, kuroo kembali dengan obat salep di tangannya.

“Sini gue bantuin,” ucap kuroo pelan sambil memposisikan diri di atas sofa lagi.

Kuroo mendudukkan diri di sofa, berhadapan dengan bokuto. Ia reduksi jarak diantara mereka.

“Sorry ya bok,” ucap kuroo sambil mulai mengoleskan sedikit obat salep di kening bokuto.

Jarak wajah mereka terlalu dekat.

Demi apapun, bahkan dentingan jam sekarang tidak jauh lebih keras daripada suara degup jantung bokuto. Posisi mereka terlalu dekat. Panas tubuh kuroo pun bisa dirasakan bokuto.

Bokuto bisa melihat lentiknya bulu mata kuroo, bahkan ia secara detail dapat melihat satu diantaranya jatuh di pipi yang bersangkutan. Ia bisa melihat manik mata kuroo yang berwarna cokelat terang menatapnya tajam, dan itu membuat jantungnya semakin berpacu. Ia bisa merasakan hembusan napas kuroo yang membuat darahnya mengalir, menghantarkan panas di sekujur tubuhnya.

Ia juga bisa melihat bibir kuroo yang ranum.

Sial, bokuto kalut. Ia tidak bisa fokus.

Saking tidak fokusnya, ia tidak sadar bahwa tangan kanannya sudah bergerak dengan sendirinya menyentuh wajah kuroo, kemudian menarik pelan orang di depannya. Ia usap pipi kiri kuroo pelan dengan ibu jarinya, kemudian berpindah menuju bibir yang dari tadi menyita perhatian bokuto.

Kuroo sendiri pun tidak menyadari sejak kapan ia terkunci dalam tatapan bokuto. Ia diam menerima semua perlakuan bokuto yang ditujukan padanya.

Keduanya tak sadar bahwa jarak antara bibir mereka berdua kini perlahan terkikis hingga menyisakan sedikit celah. Celah itu kian mengecil, yang akhirnya akan membuat bibir mereka menyatu sepenuhnya.

Ting!

Tak diduga, sebuah bunyi notifikasi ponsel pun menghancurkan keheningan itu. Menyeret mereka kembali ke kondisi sadar mereka. Membuat kuroo menjauhkan badannya dari bokuto.

Kuroo segera mengecek ponselnya, notif pesan dari alisa pun terpampang di layarnya. Kini dirinya telah sadar sepenuhnya. Pun juga bokuto yang sudah panik bukan main.

“Kur—”

“Sorry bok, gue harus pulang..” Ucap kuroo sambil membawa ponsel dan kunci motornya pergi.

Kuroo segera meninggalkan kamar bokuto, dan tak sadar meninggalkan hoodie yang ia kenakan saat berangkat ke rumah bokuto.

Fuck,

I messed this up,