This or That
Tak terasa, hari-hari telah berlalu semenjak kedatangan pertama mereka di desa tempat KKN dilaksanakan. Kalau dihitung, sudah masuk minggu ke dua yang berarti beberapa program kerja KKN sudah dijalankan.
Salah satunya yakni program kerja milik Kuroo. Harusnya, minggu ini akan dilaksanakan program kerjanya. Rencananya akan memberikan sebuah penyuluhan tentang pemanfaatan suatu bahan bekas menjadi barang guna. Namun pagi hari ini, tepat satu hari sebelum acara dilaksanakan, pemateri yang seharusnya mengisi kegiatan tersebut memberi kabar pada Kuroo bahwa ia tidak bisa mengisi di acara tersebut.
Pusing? jelas. Kuroo merasa sangat pusing.
Dirinya kini sedang berada di dekat pendopo desa. Beberapa rekan setimnya kini tengah melaksanakan kegiatan masing-masing. Berbeda dengan dirinya yang sedari tadi mondar-mandir mencari solusi yang tak kunjung ia temukan.
Saat berkecamuk dengan pikirannya, netranya menangkap potret Bokuto yang asyik bercanda dengan beberapa anak kecil sembari membuat layangan dari kertas warna-warni.
Malah mainan sama bocah, batin Kuroo.
Merasa diperhatikan, Bokuto membalas tatapan Kuroo. Ia menaikan satu alisnya, mulutnya terbuka mengatakan suatu kata tanpa suara.
'apa?'
Kuroo menggeleng, kemudian ia mendudukkan dirinya di pinggiran pendopo. Kedua tangannya menopang kepalanya yang menunduk. Ia sangat frustrasi.
“Kenapa?”
Terdengar suara yang familiar di telinga Kuroo, suara Bokuto. Orang itu mendudukkan dirinya di samping Kuroo dan memandangnya penasaran. Kuroo menatap orang itu ragu.
“Gak apa cerita aja.” ucap bokuto.
“Lo tau proker gue yang bikin sabun dari limbah itu?” Bokuto mengangguk.
“Pematerinya ngecancel tadi, padahal acaranya besok banget.”
“Lah? kenapa coba?”
“Katanya besok ada acara dadakan yang gak bisa diskip. Dia bilang untung udah dikabarin H-1..tapi tetep aja.” ucap Kuroo. “Shit. Gue bingung banget sekarang...”
Kuroo mengusap wajahnya pelan. Ia benar-benar frustrasi. Ia ingin memaki pemateri yang ia maksud karena telah sudah seenaknya sendiri, namun itu hanyalah tindakan sia-sia. Lebih baik ia memikirkan solusi untuk mengatasi semuanya. Dan saat itu juga Bokuto terlihat memikirkan sesuatu.
“Lo pernah coba bikin itu sebelumnya?” Tanya Bokuto. Dijawab anggukan pelan dari Kuroo.
“Bisa kan berarti?” tanya orang itu lagi.
“Ya bisa, tapi basic doang. Makanya gue cari yang lebih expert, tapi sialnya malah dicancel..”
“Ya udah lo aja ntar yang jadi pematerinya.” kata Bokuto dan itu sukses membuat Kuroo mengernyitkan alisnya. Yang benar saja?
“Tapi—”
Bokuto menyela. “Gak apa basic. Daripada gak sama sekali?”
Dengan perkataan Bokuto, Kuroo sedikit mendapat pencerahan. Rasa putus asa yang sebelumnya membutakan dirinya perlahan hilang. Kalau dipikir-pikir, perkataan Bokuto memang benar. Lebih baik begitu, daripada prokernya tidak berjalan sama sekali.
“Fine.” ucap Kuroo final.
Setelah mengucapkan itu, ia mendengar salah satu anak kecil meneriakkan nama Bokuto. Memanggilnya untuk kembali bermain bersama mereka. Kemudian Bokuto pamit.
Siang itu, setelah ia memutar otaknya, ia mulai menyusun rencana untuk hari esok. Mulai dari bahan dan semua peralatan sederhana yang sekiranya bisa ia gunakan untuk demonstrasi pada saat penyuluhan. Akhirnya ia memutuskan untuk melakukannya, menjadi pemateri untuk program kerjanya sendiri.
Masalah bahan-bahan yang seharusnya dibawa oleh pematerinya, bisa ia dapatkan. Kata Pak Kades, bahan-bahan seperti itu tersedia di pusat kota. Oleh karena itu, ia menghubungi Oikawa untuk mengantarkan ia ke sana. Namun nihil, oikawa tidak mengangkat panggilannya.
Mau tak mau ia pun harus ke pusat kota sendirian, bermodalkan google maps. Kemudian ia bergegas kembali ke pondokan untuk meminjam salah satu motor milik anak Pak Kades, yang sebelumnya sudah ia hubungi.
Setibanya di pondokan, ia melihat salah satu anggota timnya dari sub unit yang berbeda tengah berada di teras pondokan. Orang itu tengah menata beberapa kaleng cat dan tumpukan papan kayu.
“Ngapain, Ter?” tanya Kuroo.
Terushima, kawannya dari sub unit dua, mendongakkan kepalanya. “Ini lagi nyiapin buat plangisasi besok. Lo mau ke mana pake motor gitu?”
“Ke pusat kota, beli barang buat proker gue besok.”
“Wih asik, ikutan dong. Mumpung bentar lagi gue kelar nih.”
Mendengar perkataan Terushima, Kuroo hampir saja mengiyakan permintaannya. Sebelum suara familiar menginterupsi.
“Wah sorry bro, ini gue mau bareng Kuroo. Sekalian mau beli barang.”
Bokuto tersenyum simpul. Karena Kuroo sudah tidak ambil pusing, ia mengiyakan saja. Siapapun yang ingin ikut, ia tak masalah.
“Gue aja yang di depan.” Ucap Bokuto mengambil alih motor matic hitam itu. Sekali lagi, Kuroo tidak ambil pusing.
Perjalanan ke pusat kota memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Dan selama tiga puluh menit itu, Kuroo habiskan dengan mendengarkan celotehan Bokuto yang tidak terlalu terdengar jelas.
“Lo masih sama ya, masih suka panik sendiri terus jadi diem.” celetuk Bokuto sesampainya mereka di tempat tujuan.
Kini mereka sedang di toko bahan kimia yang ada di pusat kota. Kuroo tidak menjawab perkataan Bokuto. Ia melangkah masuk ke dalam bangunan itu. Bokuto mengekorinya di belakang ke manapun Kuroo pergi. Saat ia mencari bahan, Bokuto mengikutinya. Mencari alat, Bokuto masih setia di belakangnya.
“Lo ngapain ngikutin gue? tadi katanya mau cari barang.”
“Gak jadi, barangnya gak ada.”
Kuroo sedikit meragu, “Emang apa sih?”
“Rahasia.”
Kuroo memutar bola matanya malas. Ia menggelengkan kepalanya kemudian melanjutkan mencari kebutuhan yang sebelumnya sudah ia catat di ponselnya.
“Gue bantuin sini,” ucap Bokuto.
“Emang lo tau gimana bentuk barangnya?”
“Coba dulu. Chat gue list yang belom dapet,”
Kuroo pun mengirimkan yang diminta Bokuto. Setelah itu Bokuto pergi untuk mencari barang-barang yang belum ia dapatkan. Ia hanya berharap Bokuto tidak salah ambil.
Setelah beberapa saat, Bokuto kembali dengan beberapa barang di keranjangnya. Ia mengecek satu-persatu barang yang diambil Bokuto. Hampir semua benar, namun ada satu kemasan barang yang bahkan ia sendiri tidak tahu itu apa awalnya.
“Bokuto, ini apaan?”
“Lah? gak tau. Itu tadi gue ambil yang namanya gliseril? gliserin? apa lah itu gue gak paham yang di note lo..”
“Tapi ini tulisannya gelatin..” ucap Kuroo saat membaca labelnya.
“Oh beda ya?”
“Dari tulisannya aja udah beda anjir.” Kuroo meloloskan tawanya.
Bokuto mengedikan bahunya, “Ya siapa tau kan nama kerennya gitu.”
Tawa Kuroo makin meledak, “Bapak lo disco nama keren.”
Bokuto yang menatapnya kemudian juga ikut tertawa. Wajahnya menjadi berseri, tawanya lebar, pipinya memerah, dan mata bulatnya itu berubah menjadi dua garis tipis. Melihat itu, tawa Kuroo seketika lenyap. Ia tercekat. Hal itu terjadi dibersamai dengan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dadanya. Seperti denyutan yang hebat, sedikit ngilu seperti diremas hingga membuat dirinya sedikit sesak.
Namun kuroo mengabaikan hal itu. Ia tidak ambil pusing dan kembali memilih fokus pada tujuannnya. Mereka melanjutkan mencari bahan-bahan yang akan digunakan. Ternyata mampir ke satu toko saja tidak cukup, karena ada beberapa bahan yang tidak ada di sana. Oleh karena itu, dua insan itu menghabiskan waktunya untuk kesana kemari mencari kebutuhan.
Tak terasa sesaat telah mendapatkan barang yang mereka cari, waktu telah berganti menjadi sore. Sedari tadi Bokuto terlihat menahan haus, namun orang itu tidak berkata apapun tentang itu. Sepertinya orang itu juga menahan lapar. Kuroo yang mendengar suara perutnya berbunyi akhirnya memutuskan untuk mengajaknya mampir ke suatu tempat makan.
Mereka mampir ke warung bakso yang cukup ramai didatangi pelanggan. Setelah memesan, mereka berdua mencari tempat duduk di tengah keramaian itu. Keheningan melanda mereka untuk beberapa saat.
Saat pesanan mereka tiba, Kuroo mulai memakannya. Mereka memesan dua mangkok bakso telur dan dua gelas es teh manis. Dilahapnya makanan itu selagi panas. Dan disisihkannya kuning telur yang ada, karena Kuroo tidak terlalu menyukai bagian itu.
“Sini kasih ke gue aja kuningnya, lo gak suka kan. Sayang kalo dibuang, kasian abangnya.” Ucap Bokuto. Kemudian Kuroo memberikan kuning telurnya pada Bokuto.
Setelah itu, Kuroo sukses dibuat terkejut dengan tindakan Bokuto. Orang itu memberinya bagian putih telur pada Kuroo. Matanya membesar, dan seolah-olah mengerti Bokuto berkata “Buat lo, biar kenyang.”
Sial, perasaan itu datang lagi.
Perasaan yang membuat dadanya sedikit sesak. Seperti ada belenggu yang membuat jantungnya berdenyut hebat. Kuroo tidak suka ini. Kuroo tidak mau.
Seusai membeli makanan, Kuroo mengajak Bokuto untuk kembali ke pondokan. Beberapa kantong berisi bahan-bahan yang akan digunakan untuk acara hari esok, ditenteng oleh Bokuto sedari tadi. Kuroo sendiri sebenarnya sudah meminta agar dia saja yang membawa, toh itu juga barangnya. Namun Bokuto menolak, berkata agar ia saja yang membawa agar Kuroo fokus untuk mencari barang yang lain jika masih ada yang dicari.
Kuroo menjadi terdiam. Beberapa hari lalu ia masih merutuki keberadaan Bokuto. Mencibirnya lantaran terang-terangan menggoda Alisa pada saat ada acara atau kegiatan lainnya. Dan kini orang itu malah membantunya secara cuma-cuma. Sedari tadi siang, ke sana ke mari mencari bahan-bahan yang baginya cukup sulit untuk dicari. Kuroo jadi kepikiran. Kuroo jadi tidak enak hati.
“Lo kenapa?” ucapan bokuto membuyarkan lamunannya.
“Gapapa,”
“Kok diem? Baksonya kurang enak ya?” Bokuto bertanya.
Kuroo menggelengkan kepalanya gugup, dan itu mengundang tatapan heran dari Bokuto. Laki-laki bersurai hitam itu menggigit bagian dalam bibirnya, niat hati mengurangi beban di dada namun sepertinya itu tidak berhasil. Ia masih tetap gugup.
“Terus?”
”...kasih..”
“Apa?” Bokuto memastikan.
“Makasih,”
Bokuto tersenyum tipis. Kemudian senyum tipis itu berubah menjadi senyum yang Kuroo sendiri tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya. Yang pasti, Kuroo kenal dengan senyuman itu. Senyuman itu adalah senyuman yang kerap diberikan Bokuto saat mereka masih bersama dulu. Dan jujur saja itu membuat dadanya merasakan perasaan aneh itu kembali.
“Gimana? Gue gak denger..” kata Bokuto dengan suara jahilnya.
“Gue gak mau ngulangin, lo udah denger.” Ucap Kuroo yang kemudian mendahului Bokuto menuju tempat mereka parkir kendaraan.
Pukul setengah delapan malam, dan mereka belum tiba di lokasi KKN mereka. Kuroo menerima beberapa pesan dari rekan-rekan timnya, menanyakan keberadaannya bersama Bokuto. Jemarinya dengan cepat membalas pesan-pesan itu selagi Bokuto fokus mengemudi.
Kini ia berada di motor, di jok belakang dengan Bokuto di depannya. Angin malam menerpa wajahnya secara brutal. Rambut hitam yang menutup sebagian kecil wajahnya pun tersibak, menampilkan kedua mata yang terfokus pada layar ponsel dan alis yang bertaut. Bokuto mengintip dari pantulan kaca spion, dan diam-diam bibirnya membentuk sebuah lengkungan kecil ke atas.
Kuroo begitu sibuk dengan ponselnya dan menikmati angin malam, hingga ia tak memperhatikan saat Bokuto mengambil jalan berbeda dari rute mereka berangkat ke pusat kota.
Kendaraan mereka melaju ke arah pantai di dekat desa mereka. Kuroo baru menyadari hal itu saat Bokuto menghentikan kendaraannya dan menyuruh Kuroo untuk turun.
“Kok ke sini?”
“Cari angin bentar,”
Bokuto berjalan mendahului Kuroo, mendekat ke bibir pantai. Kuroo yang masih bingung pun belum menggerakkan kakinya, masih di tempat yang sama. Bokuto awalnya tidak menyadari. Namun orang itu berbalik dan menatap Kuroo seolah mengajaknya untuk bergabung. “Yuk?”
Kuroo kemudian mengekor di belakang orang itu. Mereka berjalan menuju tepian pantai. Suasana di sana tidak terlalu sepi, karena masih banyak warung-warung yang buka, anak kecil yang bermain pasir, atau orang yang sekedar berjalan tanpa arah. Mereka terus berjalan menyusuri kawasan itu, hingga Bokuto berhenti di suatu tempat dekat bebatuan.
“Mau ngapain sih?”
“Mau ngobrol, tunggu sini ya.”
Setelah mengucapkan itu, Bokuto kemudian pergi ke arah warung yang tadi mereka lewati. Tanda tanya besar menghampiri kepala Kuroo, bersamaan dengan punggung Bokuto yang kian mengecil.
Apa yang Bokuto ingin bicarakan? Dan mengapa di suasana seperti ini?
Mungkinkah Bokuto akan menghajarnya habis-habisan karena ia memusuhinya tiga tahun belakangan ini? Atau, Bokuto ingin membicarakan tentang masalah yang ada di antara keduanya?
Ah, sialan...
Pemikiran-pemikiran itu membuat Kuroo jadi sedikit was-was. Degup jantungnya menjadi lebih cepat dari sebelumnya, dan perutnya sedikit mencelos. Semilir angin di tempat itu sama sekali tidak membantunya dalam menenangkan diri.
Yang ada, semilir angin malah membuat badannya semakin bergetar karena kedinginan. Ia duduk di dekat bebatuan sambil mengusap tangannya. Ia semakin was-was. Terlebih saat maniknya melihat Bokuto yang mendekat ke arahnya, membawa dua gelas minuman dan satu kantong plastik berisi makanan. Here we go...
Bokuto mengulurkan satu gelas minuman hangat ke Kuroo. Kuroo menerimanya dengan ragu-ragu, namun Bokuto mengangguk dan meyakinkannya, “Gak ada apa-apanya, tenang aja.”
Kuroo pun kini menerima dan mulai meminum sedikit dari gelas itu. Uap panas mengepul, memberi kehangatan pada wajah Kuroo.
“Siapa tau lo mau ngeracunin gue,” celetuk Kuroo. Bokuto tidak menanggapi perkataannya. Orang itu malah ikut mendudukan dirinya di samping Kuroo.
“Sebenci itu ya lo ke gue, Tetsu?”
Apa?
Apakah Kuroo salah mendengar?
Mendengar nama kecilnya disebut, Kuroo menghentikan kegiatannya. Matanya sedikit membelalak. Dan saat ia memberanikan diri untuk menatap Bokuto, ia mendapatkan orang itu sudah menatapnya tepat di manik. Lagi-lagi, Bokuto sukses membuatnya tercekat.
Sudah sejak lama, Kuroo tidak mendengar nama kecilnya dipanggil oleh orang itu. Mendengar suara serak dan rendah Bokuto yang memanggil namanya pelan, membuat darahnya berdesir. Awalnya ia tidak tahu untuk apa Bokuto membawanya kemari, namun sekarang ia paham. Tidak lain dan tidak bukan, Bokuto ingin membicarakan tentang 'mereka'.
Selama ini Kuroo selalu menghindari topik ini, karena baginya ini sangat sensitif. Sedikit saja topik ini disinggung, mood yang ia bangun susah payah bisa hancur seketika.
“Gak nyalahin juga sih,” ucap Bokuto kemudian. Ia seperti bermonolog karena Kuroo tak kunjung menanggapinya. Kuroo menghindari tatapannya dengan menunduk.
“Mau main game gak?”
Kuroo mengangkat wajahnya, “Game apa?”
“This or That.” Kuroo tidak menjawabnya, karena jujur ia sendiri juga belum paham game apa yang dimaksud Bokuto. Meskipun begitu, Bokuto tetap melanjutkan perkataannya.
“Gue duluan ya,” ucap orang itu. “Mending mana, kedinginan atau kepanasan?”
Alis Kuroo bertaut, menampilkan ekspresi heran. Ia mengernyit mendengar pertanyaan Bokuto. Jelas-jelas Bokuto tahu kalau Kuroo tidak tahan dingin, namun orang itu masih bertanya. Kuroo bisa yakin bahwa Bokuto tahu, karena dulu Bokuto sering memarahinya tiap ia lupa membawa jaket saat berkendara dan berakhir kedinginan. Bokuto tahu, karena ia sering memeluknya saat pagi hari saat menginap di rumahnya. Dan masih banyak hal lagi yang dilakukan Bokuto, untuk mencegah Kuroo menggigil kedinginan.
“Kepanasan?”
Bokuto tersenyum lagi mendengar jawaban Kuroo. Entah apa maksud Bokuto mengajaknya bermain permaina aneh ini, tapi itu berhasil membuat Kuroo sedikit tertarik. Setelah itu Kuroo bergantian memberikan lawan bicaranya satu pertanyaan yang secara random terlintas di otaknya.
“Mending mana, nahan laper atau nahan haus?”
“Hahaha.. nahan laper dong,”
Mendengar Bokuto tertawa, Kuroo juga ikut tertawa pelan. Mungkin untuk malam ini saja, ia bisa sedikit melunak pada Bokuto. Just for one night, he'll let his guard down.
“Mending mana, nasi padang atau pizza?”
“Nasi padang lah.”
“Sama.” Bokuto menimpali.
Kuroo terlihat berpikir lagi, “Mending mana, dipukul atau mukul?”
“Dipukul.”
“Masokis lo.” Kuroo tertawa. Bokuto juga ikut tertawa.
“Giliran gue, mending mana.. kasih kesempatan buat gue jelasin semuanya, atau stuck sama anggapan lo selama ini dan tetep musuhin gue?”
Tawa Kuroo kemudian menghilang, senyum yang terpatri di bibirnya luntur seketika. Permainan yang tadinya ringan, ternyata hanya basa basi dari Bokuto untuk membawanya ke percakapan yang lebih serius. Sial sial sial. Bokuto fuckin Koutarou.
Pertanyaan itu membuat isi kepalanya berkecamuk. Kuroo sebenarnya ingin memilih opsi kedua, dan bertahan dengan anggapannya sendiri. Anggapan tentang Bokuto si brengsek yang meninggalkannya dan memilih dengan yang lain. Sungguh, ia ingin tetap menyalahkan Bokuto karena apa yang orang itu lakukan telah meninggalkan trauma tersendiri baginya. Trauma yang membuatnya jatuh bangun tidak karuan, hingga akhirnya ia membenci Bokuto dan memusuhinya sebagai mekanisme koping.
Namun ia sadar, sudah tiga tahun berlalu. Tiga tahun itu ia lalui dengan membenci Bokuto dalam kesehariannya. Ia mulai lelah dengan strategi koping sialan yang ia bangun itu. Dan seolah-olah takdir dan semesta mengetahui kondisinya, ia malah dipertemukan dalam KKN ini. Mungkin ini alasannya, batin Kuroo. Alasan mengapa ia dipertemukan kembali dengan Bokuto, setelah berpisah sekian lamanya. Akhirnya Kuroo mulai mengerti dan menerima.
Lantas ia menampilkan satu jari telunjuknya pada Bokuto, memberi tanda bahwa ia memilih opsi pertama. Bokuto yang melihatnya pun tersenyum lega.
Kuroo ingin Bokuto menjelaskan semuanya.
.
.
.
Ⓒ caessonia