caessonia

Malam itu, usai penyerahan hadiah bersama warga dan evaluasi satu tim, Kuroo merasa separuh bebannya hilang seketika. Agaknya Ia merasa lega karena program kerja mandirinya sudah tuntas semuanya. Pikirannya sedari kemarin cukup penuh karena adanya program mandiri dan program gabungan. Untungnya, program bubble art kemarin lah proker mandiri Kuroo yang terakhir.

Beberapa temannya juga sudah ada yang menuntaskan program kerja mandiri mereka. Yang tersisa hanya program kerja gabungan. Kuroo pikir, itu tidak terlalu berat karena akan dikerjakan bersama.

Tuntasnya pekerjaan Kuroo pun tak lepas dari peran berbagai pihak. Oleh karena itu, pada evaluasi kali ini Kuroo menyampaikan terima kasih pada teman-teman satu timnya. Dan itu tentu tak lepas dari peran Bokuto.

Ah, Bokuto.

Kuroo pikir, Ia harus berterima kasih pada Bokuto secara personal. Ditambah sepulang dari acara sebelumnya, Ia menyadari sesuatu yang bisa memutar balikkan dunianya. Ia ingin memastikan sesuatu, yang Ia asumsikan sebelumnya. Memastikan apakah dia ‘jatuh ke lubang yang sama’ seperti spekulasinya. Dan tentang perasaannya yang mengganggu pikirannya.

Oleh karena itu, sepulang dari tempat acara, Kuroo meminta Bokuto untuk menemuinya.

‘Bo plis ke balkon, there’s something I need to tell you.’

Begitu lah isi pesannya. Bokuto pun tanpa ragu langsung membalas pesan Kuroo, menuju ke tempat yang dimaksud.

“Hai…” ucap Kuroo saat Bokuto datang.

Bokuto membalas sapaan Kuroo dengan senyum tipis. Alisnya terangkat lucu. Lelaki bersurai kelabu-hitam itu kemudian mendudukkan dirinya di samping Kuroo, membuat udara di sekitarnya menghangat.

“Kenapa tetsu? katanya mau ngomong sesuatu…”

“Gue kesel sama lo.”

“Eh? kenapa?” Bokuto panik bukan main. Tentu bukanlah itu yang Ia harapkan saat menjajaki anak tangga ke lantai atas.

“Tapi bohong..” lanjut Kuroo sambil nyengir.

“Yang bener gimana tetsuu? bingung…”

Kuroo hanya tertawa pelan dan menatap Bokuto dengan tatapan lamat. Manik mata kecoklatannya itu menatap mata keemasan dengan lekat dan intens, namun terasa lembut dan penuh kasih sayang. Bibir ranumnya menyunggingkan senyum secara perlahan.

Keduanya terdiam selama beberapa detik, hingga Bokuto membuka suara secara lirih.

Don’t look at me like that, Tetsu.

Like what?” bisik Kuroo.

Bokuto tidak menjawab, nafasnya sedikit tercekat. Ia menggeleng pelan sambil mengembalikan senyum pada Kuroo.

Thanks, Bo.”

“Buat apa?”

“Buat semuanya. Lo udah banyak bantu gue dan selalu ada…” ucap Kuroo, yang sukses menarik seluruh perhatian Bokuto.

“Tanpa sadar selama gue susah gue selalu lari ke lo. Makasih udah mau gue repotin, nawarin bantuan, bahkan mastiin kalo gue udah makan biar gak tumbang.” Ucap Kuroo.

“Kocak juga kalo diinget-inget… udah gede gini masih suka lupa makan.” lanjutnya.

Anytime, Tetsu. Gue gak ngerasa direpotin kok, santai.”

“Masa sih?”

“Iyaaa, Tetsu mah trust issue terus.”

Tawa Kuroo meledak. Bokuto juga ikut tertawa kali ini.

Tell you what, I'm just glad that you’re here… with me.

Selepas Kuroo mengatakan itu, mata Bokuto sedikit melebar terkejut. Sepersekian detik setelahnya, tatapan terkejut itu berubah menjadi tatapan hangat. Dengan tatapan itu, Bokuto mendekat ke badan Kuroo. Ia rengkuh orang di depannya, membawanya ke sebuah pelukan erat.

Please, let me…” ucap Bokuto yang dijawab anggukan oleh Kuroo.

Dan Kuroo tidak melepaskannya, Ia tidak mau. Tidak, saat badan yang ia rindukan itu kini merengkuhnya sayang. Tidak, saat mereka melakukan ini secara sadar.

Pelukan ini berbeda dengan pelukan yang mereka lakukan saat tidur. Pelukan hangat itu bukan hanya balasan perkataan Kuroo, namun juga sebuah ungkapan rasa syukur. Sejenak Kuroo menahan nafasnya. Ia sembunyikan wajahnya di ceruk leher Bokuto, menghirup wangi yang lama Ia rindukan. Bokuto pun melakukan hal yang sama.

Beberapa saat setelah itu, mereka menarik diri masing-masing dengan pelan. Dengan jarak wajah yang kurang dari 10 sentimeter itu, Bokuto memandang wajah Kuroo lembut. Secara spontan, Bokuto memajukan wajahnya, menyentuh kening Kuroo dengan bibirnya. Pelan, lembut, dan hangat.

Dibalik kelembutan dan kehangatan itu, ada jantung Kuroo yang terpacu dan menderu. Meskipun matanya terpejam erat, Kuroo masih merasakan perutnya yang seperti dihinggapi seribu kupu-kupu.

Bokuto Koutarou, mantan kekasihnya itu, mencium keningnya sayang. Kuroo pun tak menarik diri, karena jauh di dalam lubuk hatinya, Ia sungguh tak keberatan.

Tak berhenti di situ, Bokuto kemudian menyusuri wajah Kuroo dengan ibu jarinya. Laki-laki itu mengusap pipinya dengan pelan.

I told you that red looks cute on your cheeks... kaya gini.” Ucap Bokuto sambil menatap Kuroo lekat.

Kuroo tak menjawab, matanya masih terpaku pada wajah Bokuto. Dirinya masih nyaman berdiam diri dengan posisi seperti itu.

Lantas Bokuto kecup pipi kanan dan kiri Kuroo yang memerah secara bergantian. Itu membuat Kuroo tergugah, seakan menghantarkan impuls di badan Kuroo dua kali lebih cepat. Namun, sekali lagi, Kuroo tidak menolak. Ia tidak keberatan sama sekali.

Persetan dengan dinginnya angin malam. Hangat yang dirasakan Kuroo sekarang sudah lebih dari cukup. Hangat yang Ia dapatkan saat tangan Bokuto yang menyentuhnya, dan nafas yang menyapu wajahnya. Hangat dari bibir Bokuto yang mengecup pipinya berulang. Juga hangat yang ditimbulkan saat mata Bokuto menatap tepat di bibir ranumnya.

Sejenak pikiran dan kesadaran Kuroo menguap entah ke mana. Hingga ia setengah tersadar bahwa Bokuto mendekatkan wajahnya, menargetkan sesuatu yang mulanya dikunci oleh mata keemasan itu. Di titik di mana Bokuto berbisik, di situ lah Kuroo mendapatkan kembali setengah sisa kesadarannya.

Pull away if this doesn’t feel right…”

Kuroo mengangguk. Dengan lampu hijau itu, Bokuto mendekat. Hendaknya ia temukan bibirnya dan bibir Kuroo yang sedari tadi memporak porandakan isi kepala dan hatinya.

Jantung Kuroo serasa dipacu habis-habisan, seperti akan meledak saat itu juga. Layaknya ada badai kecil yang terjadi di dalam dadanya. Gaduh, berisik, meminta dibebaskan.

Sedikit lagi hingga bibir keduanya bertemu, sebelum ponsel Kuroo berdering dan menampilkan nama Daichi di layar. Tak lupa beberapa pesan berentet yang menyuruh keduanya pulang. Hal itu sukses menarik perhatian keduanya.

Sial, batin keduanya.

Mereka kemudian menarik diri masing-masing. Setelahnya mereka tertawa pelan dan saling melemparkan senyum simpul.

Next time?

Okay.

Canda mereka sambil tertawa pelan. Tak ada kecanggungan, yang ada hanya rasa rindu yang perlahan tersampaikan.

Dan satu hal yang pasti, Kuroo yakin bahwa Ia memang jatuh ke lubang yang sama.

© caessonia

Malam itu, usai penyerahan hadiah bersama warga dan evaluasi satu tim, Kuroo merasa separuh bebannya hilang seketika. Agaknya Ia merasa lega karena program kerja mandirinya sudah tuntas semuanya. Pikirannya sedari kemarin cukup penuh karena adanya program mandiri dan program gabungan. Untungnya, program bubble art kemarin lah proker mandiri Kuroo yang terakhir.

Beberapa temannya juga sudah ada yang menuntaskan program kerja mandiri mereka. Yang tersisa hanya program kerja gabungan. Kuroo pikir, itu tidak terlalu berat karena akan dikerjakan bersama.

Tuntasnya pekerjaan Kuroo pun tak lepas dari peran berbagai pihak. Oleh karena itu, pada evaluasi kali ini Kuroo menyampaikan terima kasih pada teman-teman satu timnya. Dan itu tentu tak lepas dari peran Bokuto.

Ah, Bokuto.

Kuroo pikir, Ia harus berterima kasih pada Bokuto secara personal. Ditambah sepulang dari acara sebelumnya, Ia menyadari sesuatu yang bisa memutar balikkan dunianya. Ia ingin memastikan sesuatu, yang Ia asumsikan sebelumnya. Memastikan apakah dia ‘jatuh ke lubang yang sama’ seperti spekulasinya. Dan tentang perasaannya yang mengganggu pikirannya.

Oleh karena itu, sepulang dari tempat acara, Kuroo meminta Bokuto untuk menemuinya.

‘Bo plis ke balkon, there’s something I need to tell you.’

Begitu lah isi pesannya. Bokuto pun tanpa ragu langsung membalas pesan Kuroo, menuju ke tempat yang dimaksud.

“Hai…” ucap Kuroo saat Bokuto datang.

Bokuto membalas sapaan Kuroo dengan senyum tipis. Alisnya terangkat lucu. Lelaki bersurai kelabu-hitam itu kemudian mendudukkan dirinya di samping Kuroo, membuat udara di sekitarnya menghangat.

“Kenapa tetsu? katanya mau ngomong sesuatu…”

“Gue kesel sama lo.”

“Eh? kenapa?” Bokuto panik bukan main. Tentu bukanlah itu yang Ia harapkan saat menjajaki anak tangga ke lantai atas.

“Tapi bohong..” lanjut Kuroo sambil nyengir.

“Yang bener gimana tetsuu? bingung…”

Kuroo hanya tertawa pelan dan menatap Bokuto dengan tatapan lamat. Manik mata kecoklatannya itu menatap mata keemasan dengan lekat dan intens, namun terasa lembut dan penuh kasih sayang. Bibir ranumnya menyunggingkan senyum secara perlahan.

Keduanya terdiam selama beberapa detik, hingga Bokuto membuka suara secara lirih.

Don’t look at me like that, Tetsu.

Like what?” bisik Kuroo.

Bokuto tidak menjawab, nafasnya sedikit tercekat. Ia menggeleng pelan sambil mengembalikan senyum pada Kuroo.

Thanks, Bo.”

“Buat apa?”

“Buat semuanya. Lo udah banyak bantu gue dan selalu ada…” ucap Kuroo, yang sukses menarik seluruh perhatian Bokuto.

“Tanpa sadar selama gue susah gue selalu lari ke lo. Makasih udah mau gue repotin, nawarin bantuan, bahkan mastiin kalo gue udah makan biar gak tumbang.” Ucap Kuroo.

“Kocak juga kalo diinget-inget… udah gede gini masih suka lupa makan.” lanjutnya.

Anytime, Tetsu. Gue gak ngerasa direpotin kok, santai.”

“Masa sih?”

“Iyaaa, Tetsu mah trust issue terus.”

Tawa Kuroo meledak. Bokuto juga ikut tertawa kali ini.

Tell you what, I'm just glad that you’re here… with me.

Selepas Kuroo mengatakan itu, mata Bokuto sedikit melebar terkejut. Sepersekian detik setelahnya, tatapan terkejut itu berubah menjadi tatapan hangat. Dengan tatapan itu, Bokuto mendekat ke badan Kuroo. Ia rengkuh orang di depannya, membawanya ke sebuah pelukan erat.

Please, let me…” ucap Bokuto yang dijawab anggukan oleh Kuroo.

Dan Kuroo tidak melepaskannya, Ia tidak mau. Tidak, saat badan yang ia rindukan itu kini merengkuhnya sayang. Tidak, saat mereka melakukan ini secara sadar.

Pelukan ini berbeda dengan pelukan yang mereka lakukan saat tidur. Pelukan hangat itu bukan hanya balasan perkataan Kuroo, namun juga sebuah ungkapan rasa syukur. Sejenak Kuroo menahan nafasnya. Ia sembunyikan wajahnya di ceruk leher Bokuto, menghirup wangi yang lama Ia rindukan. Bokuto pun melakukan hal yang sama.

Beberapa saat setelah itu, mereka menarik diri masing-masing dengan pelan. Dengan jarak wajah yang kurang dari 10 sentimeter itu, Bokuto memandang wajah Kuroo lembut. Secara spontan, Bokuto memajukan wajahnya, menyentuh kening Kuroo dengan bibirnya. Pelan, lembut, dan hangat.

Dibalik kelembutan dan kehangatan itu, ada jantung Kuroo yang terpacu dan menderu. Meskipun matanya terpejam erat, Kuroo masih merasakan perutnya yang seperti dihinggapi seribu kupu-kupu.

Bokuto Koutarou, mantan kekasihnya itu, mencium keningnya sayang. Kuroo pun tak menarik diri, karena jauh di dalam lubuk hatinya, Ia sungguh tak keberatan.

Tak berhenti di situ, Bokuto kemudian menyusuri wajah Kuroo dengan ibu jarinya. Laki-laki itu mengusap pipinya dengan pelan.

I told you that red looks cute on your cheeks... kaya gini.” Ucap Bokuto sambil menatap Kuroo lekat.

Kuroo tak menjawab, matanya masih terpaku pada wajah Bokuto. Dirinya masih nyaman berdiam diri dengan posisi seperti itu.

Lantas Bokuto kecup pipi kanan dan kiri Kuroo yang memerah secara bergantian. Itu membuat Kuroo tergugah, seakan menghantarkan impuls di badan Kuroo dua kali lebih cepat. Namun, sekali lagi, Kuroo tidak menolak. Ia tidak keberatan sama sekali.

Persetan dengan dinginnya angin malam. Hangat yang dirasakan Kuroo sekarang sudah lebih dari cukup. Hangat yang Ia dapatkan saat tangan Bokuto yang menyentuhnya, dan nafas yang menyapu wajahnya. Hangat dari bibir Bokuto yang mengecup pipinya berulang. Juga hangat yang ditimbulkan saat mata Bokuto menatap tepat di bibir ranumnya.

Sejenak pikiran dan kesadaran Kuroo menguap entah ke mana. Hingga ia setengah tersadar bahwa Bokuto mendekatkan wajahnya, menargetkan sesuatu yang mulanya dikunci oleh mata keemasan itu. Di titik di mana Bokuto berbisik, di situ lah Kuroo mendapatkan kembali setengah sisa kesadarannya.

Pull away if this doesn’t feel right…”

Kuroo mengangguk. Dengan lampu hijau itu, Bokuto mendekat. Hendaknya ia temukan bibirnya dan bibir Kuroo yang sedari tadi memporak porandakan isi kepala dan hatinya.

Jantung Kuroo serasa dipacu habis-habisan, seperti akan meledak saat itu juga. Layaknya ada badai kecil yang terjadi di dalam dadanya. Gaduh, berisik, meminta dibebaskan.

Sedikit lagi hingga bibir keduanya bertemu, sebelum ponsel Kuroo berdering dan menampilkan nama Daichi di layar. Tak lupa beberapa pesan berentet yang menyuruh keduanya pulang. Hal itu sukses menarik perhatian keduanya.

Sial, batin keduanya.

Mereka kemudian menarik diri masing-masing. Setelahnya mereka tertawa pelan dan saling melemparkan senyum simpul.

Next time?

Okay.

Canda mereka sambil tertawa pelan. Tak ada kecanggungan, yang ada hanya rasa rindu yang perlahan tersampaikan.

Dan satu hal yang pasti, Kuroo yakin bahwa Ia memang jatuh ke lubang yang sama.

© caessonia

Malam itu, usai penyerahan hadiah bersama warga dan evaluasi satu tim, Kuroo merasa separuh bebannya hilang seketika. Agaknya Ia merasa lega karena program kerja mandirinya sudah tuntas semuanya. Pikirannya sedari kemarin cukup penuh karena adanya program mandiri dan program gabungan. Untungnya, program bubble art kemarin lah proker mandiri Kuroo yang terakhir.

Beberapa temannya juga sudah ada yang menuntaskan program kerja mandiri mereka. Yang tersisa hanya program kerja gabungan. Kuroo pikir, itu tidak terlalu berat karena akan dikerjakan bersama.

Tuntasnya pekerjaan Kuroo pun tak lepas dari peran berbagai pihak. Oleh karena itu, pada evaluasi kali ini Kuroo menyampaikan terima kasih pada teman-teman satu timnya. Dan itu tentu tak lepas dari peran Bokuto.

Ah, Bokuto.

Kuroo pikir, Ia harus berterima kasih pada Bokuto secara personal. Ditambah sepulang dari acara sebelumnya, Ia menyadari sesuatu yang bisa memutar balikkan dunianya. Ia ingin memastikan sesuatu, yang Ia asumsikan sebelumnya. Memastikan apakah dia ‘jatuh ke lubang yang sama’ seperti spekulasinya. Dan tentang perasaannya yang mengganggu pikirannya.

Oleh karena itu, sepulang dari tempat acara, Kuroo meminta Bokuto untuk menemuinya.

‘Bo plis ke balkon, there’s something I need to tell you.’

Begitu lah isi pesannya. Bokuto pun tanpa ragu langsung membalas pesan Kuroo, menuju ke tempat yang dimaksud.

“Hai…” ucap Kuroo saat Bokuto datang.

Bokuto membalas sapaan Kuroo dengan senyum tipis. Alisnya terangkat lucu. Lelaki bersurai kelabu-hitam itu kemudian mendudukkan dirinya di samping Kuroo, membuat udara di sekitarnya menghangat.

“Kenapa tetsu? katanya mau ngomong sesuatu…”

“Gue kesel sama lo.”

“Eh? kenapa?” Bokuto panik bukan main. Tentu bukanlah itu yang Ia harapkan saat menjajaki anak tangga ke lantai atas.

“Tapi bohong..” lanjut Kuroo sambil nyengir.

“Yang bener gimana tetsuu? bingung…”

Kuroo hanya tertawa pelan dan menatap Bokuto dengan tatapan lamat. Manik mata kecoklatannya itu menatap mata keemasan dengan lekat dan intens, namun terasa lembut dan penuh kasih sayang. Bibir ranumnya menyunggingkan senyum secara perlahan.

Keduanya terdiam selama beberapa detik, hingga Bokuto membuka suara secara lirih.

Don’t look at me like that, Tetsu.

Like what?” bisik Kuroo.

Bokuto tidak menjawab, nafasnya sedikit tercekat. Ia menggeleng pelan sambil mengembalikan senyum pada Kuroo.

Thanks, Bo.”

“Buat apa?”

“Buat semuanya. Lo udah banyak bantu gue dan selalu ada…” ucap Kuroo, yang sukses menarik seluruh perhatian Bokuto.

“Tanpa sadar selama gue susah gue selalu lari ke lo. Makasih udah mau gue repotin, nawarin bantuan, bahkan mastiin kalo gue udah makan biar gak tumbang.” Ucap Kuroo.

“Kocak juga kalo diinget-inget… udah gede gini masih suka lupa makan.” lanjutnya.

Anytime, Tetsu. Gue gak ngerasa direpotin kok, santai.”

“Masa sih?”

“Iyaaa, Tetsu mah trust issue terus.”

Tawa Kuroo meledak. Bokuto juga ikut tertawa kali ini.

Tell you what, I'm just glad that you’re here… with me.

Selepas Kuroo mengatakan itu, mata Bokuto sedikit melebar terkejut. Sepersekian detik setelahnya, tatapan terkejut itu berubah menjadi tatapan hangat. Dengan tatapan itu, Bokuto mendekat ke badan Kuroo. Ia rengkuh orang di depannya, membawanya ke sebuah pelukan erat.

Please, let me…” ucap Bokuto yang dijawab anggukan oleh Kuroo.

Dan Kuroo tidak melepaskannya, Ia tidak mau. Tidak, saat badan yang ia rindukan itu kini merengkuhnya sayang. Tidak, saat mereka melakukan ini secara sadar.

Pelukan ini berbeda dengan pelukan yang mereka lakukan saat tidur. Pelukan hangat itu bukan hanya balasan perkataan Kuroo, namun juga sebuah ungkapan rasa syukur. Sejenak Kuroo menahan nafasnya. Ia sembunyikan wajahnya di ceruk leher Bokuto, menghirup wangi yang lama Ia rindukan. Bokuto pun melakukan hal yang sama. Beberapa saat setelah itu, mereka menarik diri masing-masing dengan pelan. Dengan jarak wajah yang kurang dari 10 sentimeter itu, Bokuto memandang wajah Kuroo lembut. Secara spontan, Bokuto memajukan wajahnya, menyentuh kening Kuroo dengan bibirnya. Pelan, lembut, dan hangat.

Dibalik kelembutan dan kehangatan itu, ada jantung Kuroo yang terpacu dan menderu. Meskipun matanya terpejam erat, Kuroo masih merasakan perutnya yang seperti dihinggapi seribu kupu-kupu.

Bokuto Koutarou, mantan kekasihnya itu, mencium keningnya sayang. Kuroo pun tak menarik diri, karena jauh di dalam lubuk hatinya, Ia sungguh tak keberatan.

Tak berhenti di situ, Bokuto kemudian menyusuri wajah Kuroo dengan ibu jarinya. Laki-laki itu mengusap pipinya dengan pelan.

I told you that red looks cute on your cheeks... kaya gini.” Ucap Bokuto.

Kuroo tak menjawab, matanya masih terpaku pada wajah Bokuto. Dirinya masih nyaman berdiam diri dengan posisi seperti itu.

Lantas Bokuto kecup pipi kanan dan kiri Kuroo yang memerah secara bergantian. Itu membuat Kuroo tergugah, seakan menghantarkan impuls di badan Kuroo dua kali lebih cepat. Namun, sekali lagi, Kuroo tidak menolak. Ia tidak keberatan sama sekali.

Persetan dengan dinginnya angin malam. Hangat yang dirasakan Kuroo sekarang sudah lebih dari cukup. Hangat yang Ia dapatkan saat tangan Bokuto yang menyentuhnya, dan nafas yang menyapu wajahnya. Hangat dari bibir Bokuto yang mengecup pipinya berulang. Juga hangat yang ditimbulkan saat manik Bokuto menatap tepat di bibir ranumnya.

Sejenak pikiran dan kesadaran Kuroo menguap entah ke mana. Hingga ia setengah tersadar bahwa Bokuto mendekatkan wajahnya, menargetkan sesuatu yang mulanya dikunci oleh mata keemasan itu. Di titik di mana Bokuto berbisik, di situ lah Kuroo mendapatkan kembali setengah sisa kesadarannya.

Pull away if this doesn’t feel right…”

Kuroo mengangguk. Dengan lampu hijau itu, Bokuto mendekat. Hendaknya ia temukan bibirnya dan bibir Kuroo yang sedari tadi memporak porandakan isi kepala dan hatinya.

Jantung Kuroo serasa dipacu habis-habisan, seperti akan meledak saat itu juga. Layaknya ada badai kecil yang terjadi di dalam dadanya. Gaduh, berisik, meminta dibebaskan.

Sedikit lagi hingga bibir keduanya bertemu, sebelum ponsel Kuroo berdering dan menampilkan nama Daichi di layar. Tak lupa beberapa pesan berentet yang menyuruh keduanya pulang. Hal itu sukses menarik perhatian keduanya.

Sial, batin keduanya.

Mereka kemudian menarik diri masing-masing. Setelahnya mereka tertawa pelan dan saling melemparkan senyum simpul.

Next time?

Next time.

Canda mereka sambil tertawa pelan. Tak ada kecanggungan, yang ada hanya rasa rindu yang perlahan tersampaikan.

Dan satu hal yang pasti, Kuroo yakin bahwa Ia memang jatuh ke lubang yang sama.

© caessonia

Malam itu, usai penyerahan hadiah bersama warga dan evaluasi satu tim, Kuroo merasa lega. Lega karena program kerja mandirinya sudah tuntas semuanya. Pikirannya sedari kemarin cukup penuh karena adanya program mandiri dan program gabungan. Untungnya, lomba bubble art kemarin lah proker mandiri Kuroo yang terakhir.

Beberapa temannya juga sudah ada yang menuntaskan program kerja mandiri mereka. Yang tersisa hanya program kerja gabungan. Kuroo pikir, itu tidak terlalu berat karena akan dikerjakan bersama.

Tuntasnya pekerjaan Kuroo pun tak lepas dari peran berbagai pihak. Oleh karena itu, pada evaluasi kali ini Kuroo menyampaikan terima kasih pada teman-teman satu timnya. Dan itu tentu tak lepas dari peran Bokuto.

Kuroo pikir, Ia harus berterima kasih pada Bokuto secara personal. Ditambah sepulang dari acara sebelumnya, Ia menyadari sesuatu yang bisa memutar balikkan dunia ya. Ia ingin memastikan sesuatu, yang Ia asumsikan sebelumnya.

Tentang perasaannya yang mengganggu pikirannya. Oleh karena itu, sepulang dari tempat acara, Kuroo menyuruh Bokuto untuk menemuinya.

‘Bo plis ke balkon, there’s something I need to tell you.’

Begitu lah isi pesannya. Bokuto pun tanpa ragu langsung membalas pesan Kuroo, menuju ke tempat yang dimaksud.

“Hai…” ucap Kuroo saat Bokuto datang.

Bokuto membalas sapaan Kuroo dengan senyum tipis. Alisnya terangkat lucu. Lelaki bersurai kelabu-hitam itu kemudian mendudukkan dirinya di samping Kuroo, membuat udara di sekitarnya menghangat.

“Kenapa tetsu? katanya mau ngomong sesuatu…”

“Gue kesel sama lo.”

“Eh? apa?” Bokuto panik bukan main. Tentu bukanlah itu yang ia harapkan saat menjajaki anak tangga ke lantai atas.

“Tapi bohong..” lanjut Kuroo sambil nyengir.

“Yang bener gimana tetsuu? bingung…”

Kuroo hanya tertawa pelan dan menatap Bokuto dengan tatapan lamat. Manik mata kecoklatannya itu menatap mata keemasan dengan lekat dan intens, namun terasa lembut dan penuh kasih sayang. Bibir ranumnya menyunggingkan senyum secara perlahan.

Keduanya terdiam selama beberapa detik, hingga Bokuto membuka suara secara lirih.

Don’t look at me like that, tetsu.

Like what?” bisik Kuroo. Bokuto tidak menjawab, nafasnya sedikit tercekat. Ia menggeleng pelan sambil mengembalikan senyum pada Kuroo.

“Thanks, Bo.”

“Buat apa?”

“Buat semuanya. Lo udah banyak bantu gue dan selalu ada…” ucap Kuroo, yang sukses menarik seluruh perhatian Bokuto.

“Tanpa sadar selama gue susah gue selalu lari ke lo. Makasih udah mau gue repotin, nawarin bantuan, bahkan making sure kalo gue udah makan biar gak tumbang. Kocak juga kalo diinget-inget..” Jelas Kuroo.

Anytime, Tetsu. Gue gak ngerasa direpotin kok, santai.”

“Masa sih?”

“Iyaaa, Tetsu mah trust issue terus.”

Tawa Kuroo meledak. Bokuto juga ikut tertawa kali ini.

Tell you what, I'm just glad that you’re here… with me.

Selepas Kuroo mengatakan itu, mata Bokuto sedikit melebar terkejut. Sepersekian detik setelahnya, tatapan terkejut itu berubah menjadi tatapan hangat. Dengan tatapan itu, Bokuto mendekat ke badan Kuroo. Ia rengkuh orang di depannya, membawanya ke sebuah pelukan erat.

“Please, let me…” ucap Bokuto yang dijawab anggukan oleh Kuroo.

Dan Kuroo tidak melepaskannya, Ia tidak mau. Tidak, saat badan yang ia rindukan itu kini merengkuhnya sayang. Tidak, saat mereka melakukan ini secara sadar.

Pelukan ini berbeda dengan pelukan yang mereka lakukan saat tidur. Pelukan hangat itu bukan hanya balasan perkataan Kuroo, namun juga sebuah ungkapan rasa syukur. Sejenak Kuroo menahan nafasnya. Ia sembunyikan wajahnya di ceruk leher Bokuto, menghirup wangi yang lama Ia rindukan. Bokuto pun melakukan hal yang sama. Beberapa saat setelah itu, mereka menarik diri masing-masing dengan pelan. Dengan jarak wajah yang kurang dari 10 centi itu, Bokuto memandang wajah Kuroo lembut. Secara spontan, Bokuto memajukan wajahnya, menyentuh kening Kuroo dengan bibirnya. Pelan, lembut, dan hangat.

Dibalik kelembutan dan kehangatan itu, ada jantung Kuroo yang terpacu dan menderu. Meskipun matanya terpejam erat, Kuroo masih merasakan perutnya yang seperti dihinggapi seribu kupu-kupu. Bokuto Koutarou, mantan kekasihnya itu, mencium keningnya. Kuroo pun tak menarik diri, karena jauh di dalam lubuk hatinya, Ia sungguh tak keberatan.

Tak berhenti di situ, Bokuto kemudian menyusuri wajah Kuroo dengan ibu jarinya. Laki-laki itu mengusap pipinya dengan pelan.

I told you that red looks cute on your cheeks... kaya gini.” Ucap Bokuto.

Kuroo tak menjawab, matanya masih terpaku pada wajah Bokuto. Dirinya masih nyaman berdiam diri dengan posisi seperti itu.

Lantas Bokuto kecup pipi kanan dan kiri Kuroo yang memerah secara bergantian. Itu membuat Kuroo tergugah, seakan menghantarkan impuls di badan Kuroo dua kali lebih cepat. Namun, sekali lagi, Kuroo tidak menolak. Ia tidak keberatan sama sekali.

Persetan dengan dinginnya angin malam. Hangat yang dirasakan Kuroo sekarang sudah lebih dari cukup. Hangat yang Ia dapatkan saat tangan Bokuto yang menyentuhnya, dan nafas yang menyapu wajahnya. Hangat dari bibir Bokuto yang mengecup pipinya sayang. Juga hangat yang ditimbulkan saat manik Bokuto menatap tepat di bibir ranumnya.

Sejenak pikiran dan kesadaran Kuroo menguap entah ke mana. Hingga ia setengah tersadar bahwa Bokuto mendekatkan wajahnya, menargetkan sesuatu yang mulanya dikunci oleh mata keemasan itu. Di titik di mana Bokuto berbisik, di situ lah Kuroo mendapat setengah sisa kesadarannya.

Pull away if this doesn’t feel right…”

Kuroo mengangguk. Dengan lampu hijau itu, Bokuto mendekat. Hendaknya ia temukan bibirnya dan bibir Kuroo yang sedari tadi memporak porandakan isi kepala dan hatinya.

Jantung Kuroo serasa dipacu habis-habisan, seperti akan meledak saat itu juga. Layaknya ada badai kecil yang terjadi di dalam dadanya. Gaduh, berisik, meminta dibebaskan. Sedikit lagi hingga bibir keduanya bertemu, sebelum ponsel Kuroo berdering dan menampilkan nama Daichi di layar. Tak lupa beberapa pesan berentet yang menyuruh keduanya pulang. Hal itu sukses menarik perhatian keduanya. Sial, batin keduanya.

Mereka kemudian menarik diri masing-masing. Setelahnya mereka tertawa pelan dan saling melemparkan senyum simpul.

“Next time?”

“Next time.”

Tak ada kecanggungan, yang ada hanya rasa rindu yang perlahan tersampaikan.

© caessonia

Malam hari di kursi balkon pondokan laki-laki, Kuroo membenahkan posisinya berulang kali. Di depannya terpampang laptop dengan layar yang membuat kepalanya mulai terasa pening karena terlalu lama menghadap benda tersebut. Atau ia pening karena belum makan malam saja? Entahlah. Mungkin setelah ini Kuroo akan mampir ke dapur dan membuat mie instan untuk mengganjal perutnya, begitu pikirnya.

Kalau dikira-kira, Ia sudah berada di tempat itu selama kurang lebih enam jam. Kuroo sendiri juga tidak tahu pasti. Yang Ia tahu hanyalah fakta bahwa Ia ada di balkon dari matahari masih tampak hingga tenggelam menyisakan gelap.

Gelapnya langit pun tak membuatnya berhenti berkutat dengan gawai di depannya. Kini Ia tengah menatap layar yang menampilkan dokumen susunan acara untuk program kerjanya minggu depan. Tak lupa, agenda itu ditemani kopi favoritnya, satu gelas caramel macchiato.

Manik matanya terpaku pada minuman itu. Sejenak Ia teringat insiden kopi yang tumpah kemarin. Insiden kiriman kopi dari dua orang pun tak kalah juga melintasi isi pikirannya. Ia masih tak habis pikir, mengapa hal tersebut bisa terjadi?

Sejujurnya kalau Bokuto sih, Kuroo tidak terlalu ambil pusing lagi karena memang orang itu akhir-akhir ini memberikan perhatian lebih ke Kuroo. Sejujurnya pada awalnya Ia menyangkal hal ini, bahkan Ia sempat beradu mulut terkait hal itu dengan Oikawa saat mereka pergi bersama. Namun, akhirnya Ia menyadari dan berakhir menerimanya. Menerima fakta bahwa Bokuto peduli padanya, dan hubungan Kuroo dengan mantan kekasihnya itu mulai membaik.

Well, itu bukan hal buruk. Toh Kuroo sudah sepenuhnya usai, bukan? Ia sudah terbiasa.

Seperti barusan saat Bokuto menanyakan perihal ia sudah makan atau belum. Sungguh Ia sudah biasa saja. Atau jadi kebiasaan? Ia tak tahu. Ia juga tak mempermasalahkan hal itu. Selagi tidak merugikannya, Kuroo tak mau ambil pusing.

Tapi lain lagi kalau perkara Miwa. Sebuah pertanyaan masih mendiami pikirannya, untuk apa Miwa seperti itu?

Maksud Kuroo, mereka hanya bertemu satu kali. Dua kali jika pertemuan mereka di kantor UPT dihitung. Lantas mengapa perempuan itu berani mengambil tindakan berisiko menimbulkan asumsi yang tidak-tidak? seperti saat ini.

Pada akhirnya Kuroo juga tak mau ambil pusing. Masih banyak hal yang lebih perlu dipikirkan daripada hal-hal seperti itu.

“Bengong aja?” Suara seseorang memecahkan lamunannya, diikuti dengan seseorang yang duduk di sampingnya.

“Anj–...” Kuroo kaget bukan main.

Orang di sebelahnya menahan tawa, “Pft– lo harus liat muka lo tadi, tetsu...”

“Anjir lah Bo, minimal aba-aba..”

Bokuto selaku pelaku malah tertawa dan menepuk kepala Kuroo pelan, kemudian meminta maaf dengan lembut. Mata Kuroo mengikuti pergerakan orang itu yang meletakkan dua kotak kotak makanan di atas meja depannya.

“Apaan tuh?” tanya Kuroo.

“Nasi buat lo. Gak baik tau makan mie instan terus,” ucapnya sambil mengisyaratkan Kuroo untuk mengambil makanan tersebut. “Gue gak nerima penolakan.” Lanjutnya. Namun Kuroo tak segera melakukannya, malah menatap Bokuto heran.

“Serius?”

“Iya, lagian gue belom makan juga abis dari lapangan tadi.” ucap Bokuto sambil mengambil kotak makanan itu.

“Lo tuh kan punya gerd, udah gitu suka nunda makan. Mana kopi mulu, ditambah mau mie instan juga. Kalau kambuh kan... puskesmas agak jauh.”

“Jelek omongannya.”

“Makanya ini dimakan..”

Kuroo diam. Rasa nyeri yang beberapa hari lalu menyerang dadanya, kini terasa lagi. Ia tidak tahu bagaimana mendefinisikan perasaan itu secara jelas, yang pasti Ia merasakannya. Nyeri seperti jantungnya diremas secara perlahan, dan menyisakan Ia yang sesak sendiri.

“Bawel banget sih. Udah kaya babysitter gue aja lo,” canda Kuroo. Bokuto hanya tersenyum tipis sambil mengangkat bahunya.

“Kok bisa dapet ini? bukannya udah pada tutup jam segini?”

I have my way,” Bokuto tersenyum tipis sambil mengedipkan satu matanya. Kuroo menanggapinya dengan gelengan kepala pelan.

Keduanya menghabiskan kudapan itu dengan sesekali ngobrol. Saat selesai, Kuroo kembali berkutat dengan laptopnya. Bokuto pun turut mengeluarkan tabletnya.

“Gue ikutan di sini ya..” ucap Bokuto yang hanya dijawab gumaman oleh Kuroo.

Beberapa waktu berlalu. Jam tangan di pergelangan Kuroo menunjukkan pukul 22.45, namun ia sendiri belum ada niat untuk beranjak dari tempat itu. Ia masih sibuk menatap layar laptopnya dan memutar otak untuk mematangkan konsep program kerja yang akan Ia canangkan minggu depan.

“Bo, gak ngantuk?” Kuroo menolehkan kepalanya ke Bokuto, mendapati orang di sampingnya sedang fokus menghadap tabletnya.

“Hm? belum..”

Tak sengaja ia melihat wallpaper anjing di tablet Bokuto. Ah, itu pasti anjing kesayangannya itu, pikir Kuroo.

“Kenapa, Tetsu?”

“Gak apa sih. Kali aja lo ngantuk, duluan aja ke bawah. Gue nyusul ntar, atau gue tidur di kamar tamu atas kalo mager. Tolong bilangin Daichi ya.”

“Gampang, nanti aja.” Jawab Bokuto.

“Itu anjing kesayang lo itu ya? siapa namanya, Rocky?”

Bokuto tertawa, “It’s Rocco, actually.

Kuroo pun ikut tertawa, “Rocky siapa njir, rocky gerung kali..” menertawakan dirinya sendiri.

“Umurnya berapa tuh?”

Bokuto terlihat berpikir sejenak, “Sekarang udah hampir empat bulan.”

“Udah lumayan ya.. Adopsi?”

Bokuto menggeleng. “Keturunannya Zoe.”

Sekelebat Kuroo teringat akan nama itu, “Zoe? kaya pernah denger…”

“Tetsu gak inget?” Tanya Bokuto, gelengan Kuroo menjawabnya.

“Zoe, anjing yang pernah gue adopt bareng lo.”

Ah sialan. Kuroo benar-benar lupa. Zoe, seekor golden retriever yang dulu Bokuto adopsi bersama Kuroo sewaktu SMA.

“Ohh… Sorry gue lupa banget, beneran.”

“Santai.” Bokuto tak ambil pusing. “Jadi ini keturunan Zoe. Zoe punya anak, namanya Molly. Nah rocco ini anaknya Molly..”

Kuroo mengangguk paham, “Cucunya Zoe dong?”

Bokuto ketawa, “Iya cucunya.”

“Terus Zoe sekarang di mana?”

She died one year ago. Molly dibawa kakak gue ke apartnya. Jadi yang di rumah tinggal Rocco.”

Sorry to hear that, Bo.”

That’s fine.” Bokuto menampilkan senyum tipis, “It was a long time ago, afterall…_”

Besok kapan-kapan temuin gue sama Rocco ya?” Ucap Kuroo yang mendapat tatapan dan senyum sumringah antusias dari Bokuto.

Okay.” Bokuto tersenyum dan menampilkan cekungan di kedua sisi pipinya.

Kuroo terpaku. Those dimples got Kuroo so weak. Baik dahulu, maupun sekarang, dan mungkin akan seterusnya.

Cekungan di kedua sisi pipi Bokuto itu memang menawan, namun apabila orang itu tersenyum lebih lebar, maka salah satunya benar-benar terlihat lebih dalam dan itu tak pernah gagal membuat Kuroo terkesima.

Layaknya sekarang, melihat Bokuto tersenyum seperti itu kepadanya bisa saja membuat tiga tahun pertahanannya runtuh. Jantungnya terpacu, berdetak dengan ritmik yang lebih cepat daripada sebelumnya. Pipinya memanas, seolah aliran darah bergerak menuju satu area dan membuat wajahnya merah merona.

Tak mau terang-terangan, ia segera mengalihkan pandangannya ke laptopnya lagi, meskipun bayangan Bokuto dengan lesung pipinya yang lucu itu memenuhi isi pikirannya.

Damn you, Bokuto.

Ia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri, juga jantungnya yang serasa diremas habis-habisan.

Pukul 00.15

Mereka berdua masih terduduk di kursi balkon pondokan. Untungnya, angin malam itu tak begitu dingin. Entah karena posisi balkonnya yang tak langsung terkena angin, atau memang karena cuaca yang tak begitu ekstrem, atau memang keberadaan orang di sampingnya yang menyamarkan dinginnya angin malam.

Setelah beberapa waktu, Kuroo tak mendengar pergerakan dari sampingnya. Awalnya ia berasumsi Bokuto sangatlah fokus pada pekerjaannya. Namun, perkiraannya sirna saat Kuroo menolehkan kepalanya dan mendapati Bokuto menunduk dengan mata terpejam. Orang itu terlelap dengan tablet masih menyala di tangannya.

Hati Kuroo terenyuh.

Tak lama kemudian, kepala Bokuto mendarat di pundaknya. Untuk sepersekian detik, Kuroo merasa jantungnya ingin lompat dari tempatnya. Namun ia tepis hal itu, mencoba mengontrol dirinya sendiri. Ia sudah biasa saja, kan? Ia teringat akan perkataannya sendiri.

Lantas ia pindahkan tablet di tangan Bokuto ke meja di depannya. Kemudian Ia mendekatkan badannya sendiri ke Bokuto, membenarkan posisi kepala orang itu di pundaknya. Surai abu-kehitaman yang lemas terjatuh di sweater hitam Kuroo.

“Dasar…”

Bokuto bergerak, menyamankan diri di pundak Kuroo. Wajah tidurnya terlihat damai. Tanpa disadari, Kuroo menyunggingkan senyum tipis. Ada bagian dari diri Kuroo yang melembut ketika melihat Bokuto seperti itu.

Beberapa waktu berlalu. Kini jam di laptop Kuroo menunjukkan pukul 01.25. Ia lihat orang yang bersandar padanya, masih terlelap dalam tidurnya. Malah, ia sudah melingkarkan tangannya di lengan Kuroo.

Kuroo sebenarnya masih bisa bertahan untuk beberapa jam ke depan, karena pada dasarnya ia sendiri sering terjaga di malam hari. Namun, untuk saat ini ia urungkan niatnya.

Melihat Bokuto tidur dengan posisi ini membuatnya bimbang antara dua hal. Pertama, ia masih ingin bertahan di posisi itu. Namun jika ia bertahan, maka bisa saja membuat badan mereka berdua sakit di keesokan harinya. Ia tidak sampai hati. Lantas ia tepuk pelan pergelangan tangan Bokuto, berusaha membangunkannya.

“Bo… bangun…” Ucapnya pelan. Tak ada respons dari yang bersangkutan. Kuroo kemudian mengulurkan lengannya, menepuk pipi Bokuto perlahan. Laki-laki di sampingnya tergerak perlahan terbangun dari tidurnya.

“Mau pindah ke dalem? udah hampir setengah dua.” tanyanya.

“Hng..” Bokuto mengerjapkan matanya pelan, “Mau sama Tetsu dulu…”

Kemudian setelah itu, Bokuto memejamkan matanya lagi. Mengeratkan pelukannya di lengan Kuroo.

Ah, perasaan itu muncul lagi. Jantungnya serasa dikoyak dan diremas begitu saja. Melihat sisi Bokuto yang seperti ini membuat dirinya terbawa ke masa lalu itu, di mana ia merasa jadi satu-satunya ‘rumah’ bagi Bokuto untuk bersinggah. Di mana Bokuto sering bermanja padanya saat mereka hanya berdua. Di mana dunia serasa hanya dihuni Ia dan Bokuto.

Akhirnya tanpa pikir panjang, Kuroo mengalungkan lengan Bokuto ke pundaknya dan mengangkatnya perlahan.

“Kita masuk ke dalem aja ya, nanti badan lo sakit…”

Tapi karena mereka sedang di lantai dua dan badan Bokuto lebih berat daripada Kuroo, maka Ia ubah rencana yang tadinya membawa Bokuto ke ruang tidur di bawah bersama yang lain, menjadi ke sebuah ruangan di lantai yang sama.

Untungnya saja di pondokan ini tersedia satu kamar tamu di lantai dua yang tidak digunakan. Kuroo putuskan untuk membawa Bokuto ke ruangan itu.

Setibanya di sana, Kuroo menidurkan Bokuto di atas ranjang dengan pelan. Ia benarkan posisi bantal Bokuto, dan menyelimutinya dengan hati-hati. Saat hendak pergi, ada tangan yang menahan pergelangannya.

Bokuto terbangun.

Stay here with me...”

Kuroo menoleh dan menemukan Bokuto terduduk dengan ekspresi yang sulit ia artikan. Alis Kuroo menukik heran, mulutnya terbuka hendak menolak permintaan konyol Bokuto. Sebelum lelaki bersurai abu kehitaman itu mengatakan hal berikutnya, yang membuat Kuroo bungkam sesaat.

Please?

Pertahanan Kuroo perlahan runtuh. Ia hela napasnya pelan, kemudian mengangguk.

I’ll be right back, okay?” ucapnya, “Mau ke toilet dulu sama beberes yang tadi.”

Laki-laki yang terduduk itu bergumam.

Sekembalinya Kuroo dari toilet, Ia menjumpai Bokuto yang terduduk memainkan ponselnya. Ia rebahkan badannya di samping Bokuto yang bersandar pada headboard.

“Kirain udah tidur duluan..”

Bokuto hanya menggeleng, “Nungguin lo..”

“Ngapain nungguin..”

Itu bukanlah pertanyaan, melainkan sebuah retorika yang ia tujukan pada orang di sampingnya. Alih-alih menjawabnya, Bokuto hanya mengamati gerak-geriknya.

“Udah sikat gigi?” Tanya Kuroo, memastikan bahwa pemuda di sampingnya tidak melupakan rutinitas sebelum tidur.

“Udah tadi pas ke toilet,” ucap Bokuto yang dijawab anggukan Kuroo.

“Dah ayo tidur. Muka lo udah ga kuat banget itu kayanya.” Gurau Kuroo.

Bokuto kemudian meletakkan ponselnya, dan ikut menyamankan diri di samping Kuroo.

Good night, Tetsu.”

“Iya.”

“Iya doang?”

“Udah jangan bawel. Cepet tidur, gue ngantuk.” Ucap Kuroo sambil mematikan lampu utama dan menghidupkan lampu tidur di nakas samping ranjang.

Sesaat setelah mengucapkan itu, Ia intip Bokuto dari sudut matanya. Yang dilirik pun masih belum juga terlelap dalam tidurnya.

Nighty night, Bo.”

Pukul 03.35

Kuroo terbangun dari tidurnya. Ia berjalan menuju toilet untuk sekedar buang air kecil yang menginterupsi bunga tidurnya. Kemudian ia kembali ke ranjang dan menyamankan dirinya.

Yang tak Ia sadari adalah, badannya mendekat dan menghadap ke arah bokuto yang telentang. Lengan Bokuto ia jadikan bantal dadakan. Tangannya sendiri Ia telungkupkan, mengisi jarak antara Ia dan laki-laki yang tengah tertidur pulas.

Tak Ia sadari juga bahwa wajahnya kini telah tenggelam dalam ceruk leher orang di sampingnya. Aroma Bokuto yang membekas di kepalanya menyeruak masuk ke indra penciumannya. Jangan lupakan Bokuto yang menyamankan posisi mereka dengan menempelkan pipinya di puncak kepala Kuroo.

Dalam kesadarannya yang semu itu, Kuroo menyamankan dirinya. Ia merasa hangat dan aman.

Dalam kesadaran yang semu itu, Bokuto nyata terasa seperti rumah.

Malam tak pernah sehangat dan sedamai itu, tidak selama tiga tahun terakhir ini.

. . . . .

© caessonia

Lasting Memento

Bokuto x Kuroo AU Part of KKN Masa Gitu?

Pagi itu, Kuroo memikirkan apa yang Oikawa bilang. Sedikit banyak ia tahu bahwa orang itu ada benarnya juga. Mungkin, hadirnya Bokuto di hidupnya lagi dapat mengubah stigma negatif tentangnya. Mungkin, ini cara takdir menegurnya agar tak susah-susah menyimpan kebencian pada orang lain.

Semenjak momen di pantai kala itu, kebencian Kuroo perlahan memudar dan tergantikan oleh malu. Malu karena ia sendiri tak terbesit kemungkinan lain. Tapi ia memaklumi hal itu sih, karena bagaimana pun orang yang patah hati akan tertutup mata dan telinganya hingga kurang bisa berpikir jernih.

Pikirannya dari semalam sudah berkecamuk, tercampur aduk jadi satu. Entah itu perasaan malu, bingung, senang, bahkan perasaan menggelitik di perut yang membuatnya bisa tersenyum geli tak berarti. Sekelibat ia teringat akan konyolnya kelakuannya dengan Bokuto dulu —dari agenda rating, yang berujung musibah itu.

Hello? earth to tetsu?

Ucap seseorang yang menyadarkan Kuroo akan lamunannya. Hal itu membuatnya sedikit berjengit kaget hingga selang terlepas dari tangannya dan menyemburkan air ke arah mereka berdua. Cipratan air itu mengenai baju Bokuto dan ujung rambutnya hingga surai dari pria jabrik itu sedikit melemas.

Ah, pucuk dicinta ulam pun tiba.

Damn, sorry bo

Bokuto tertawa pelan sambil memeras ujung bajunya yang basah “gak apa,”

You good?

Kuroo mengangkat alisnya bingung kala Bokuto melontarkan pertanyaan itu padanya. Bukankah seharusnya dia yang menanyakan itu pada Bokuto?

Lagian, apa yang membuat dia terlihat seperti tidak baik-baik saja?

“Kayanya tadi ngelamun, sampe gue panggil aja gak denger..”

“Oh hahaha, yoi. Lagi kepikiran proker.” Bohongnya.

“Wah top juga ya itu proker,” ucap Bokuto sambil menatap Kuroo iseng, “—bisa bikin lo kepikiran sampe senyum mulu..”

Kuroo tidak menjawab, sedikit terkejut namun mencoba untuk tetap santai. Meskipun sikapnya begitu tak menampik fakta bahwa ia ingin menggigit orang di depannya karena membuatnya malu setengah mati. Layaknya buku yang terbuka, Bokuto dapat membaca Kuroo dengan begitu mudahnya.

“Iya nih, prokernya lucu soalnya.”

“Mau juga dong kenalan sama prokernya,” lawak Bokuto.

Kuroo hanya geleng-geleng kecil, “stress lo.”

“Lebih stress lo senyum-senyum sendiri…”

Kalau begini terus, lama-lama isi pikiran Kuroo tentang Bokuto bisa terkespos. Dan ia yakin pasti ia sendiri yang akan berakhir menanggung malu.

“Gue semprot lagi lo ya” ucap Kuroo sambil menondongkan ujung selang air.

“Lo gak ada kerjaan apa gimana, gabut banget?” tanya Kuroo.

“Ada tadi, sekarang udah kelar. Tadi nanem bibit di lahan bagian timur.”

“Sendirian?”

Bokuto menggelengkan kepalanya, “Sama Alisa.”

Kuroo terdiam sambil menganggukkan kepalanya pelan.

Alisa.

Alisa?

Lagi-lagi Alisa.

“Tadinya sama Daichi juga, tapi dia diminta ngurusin sesuatu sama Pak RT.” Imbuh Bokuto yang sayangnya tidak terdengar oleh Kuroo tang fokusnya sudah tertuju pada kalimat sebelumnya.

Seribu pertanyaan muncul di kepala Kuroo, namun yang paling mengusik benaknya saat ini adalah terkait Alisa. Tanpa sadar ia kehilangan fokusnya lagi, karena tatkala Bokuto memanggilnya lagi, ia tak kunjung menanggapi.

“Tuhkan.. lo kepikiran apa sih sampe ngelamun gitu terus?” Bokuto memiringkan kepalanya dan sedikit condong ke arah Kuroo.

Melihat itu, Kuroo akhirnya sadar dari lamunannya. Ia melegakan tenggorokannya dan berdeham sebelum melanjutkan percakapan tadi. Sedikit ia jauhkan badannya dari Bokuto.

“Gue boleh tanya sesuatu gak? tapi gak penting sih..” tanya Kuroo. Bokuto hanya mengangguk, mempersilakan Kuroo menanyakan apapun itu.

Sure. Selama bisa hilangin yang ganggu pikiran lo, bakal gue jawab.”

“Lo deket ya sama Alisa?”

Bokuto bungkam sesaat.

Kuroo mulai panik akan diamnya Bokuto. “Eh gak usah dijawab, sorry kalo bikin gak nyaman..”

“Kenapa bisa mikir gitu?”

“Ya kaya keliatan akrab aja,” Kuroo mengalihkan pandangannya ke tanaman yang tadi ia siram.

I see.” ucap Bokuto saat Kuroo mengarahkan selang air itu ke arah akar tanaman yang lain, “… Gue ada rencana proker gabungan sih sama dia.” imbuhnya sambil tersenyum kecil, memandang akar yang basah akan air.

Oh, program kerja gabungan. Kuroo mengangguk paham.

“Gue baru tau? emang jurusan kalian ada nyambungnya?” tanya Kuroo.

“Proker non-tema sih, jadi prodi bebas asal bisa menuhin poin yang sama.”

Kuroo tidak menanggapi lagi, hanya mengangguk kecil.

Program kerja yang entah apa itu berhasil membuat Bokuto tersenyum seperti barusan.

“Cuma proker, tapi bisa bikin lo senyum terus ya?” Ia tersenyum kecil usai mbuat Bokuto mengecap obatnya sendiri.

Alih-alih menjawab, Bokuto lagi-lagi hanya melemparkan senyum simpul. Tak sedikitpun ia berniat untuk menghilangkan rasa penasaran Kuroo.

Bedebah, batin Kuroo.

“Mending gue bantuin sini,” kata Bokuto sembari mengambil alih paksa selang air di tangan Kuroo dan mulai menyirami daun tanaman secara asal.

“Siram ke akarnya, Bo.”

“Emang kenapa harus langsung ke akar?” tanya Bokuto yang membuat Kuroo maju selangkah lebih dekat.

“Kalau cuma di permukaan daun, airnya gak bisa terserap baik. Makanya harus ke akar, biar airnya gak kebuang percuma..”

Kuroo menatap air yang berceceran saat menjelaskan itu ke Bokuto.

Tapi, kalau boleh jujur, apa yang Kuroo jelaskan bukan hanya tentang akar dan air.

Bersamaan dengan selesainya penjelasan singkat itu, manik Kuroo bertemu dengan manik Bokuto. Ia bungkam saat wangi familiar mendobrak paksa memasuki indera penciumannya.

Aroma khas vanila bercampur citrus itu membawanya kembali ke masa-masa itu. Aroma yang ia ingat betul karena merupakan salah satu wangi yang ia suka dari laki-laki di depannya (dan Bokuto tahu betul tentang ini).

Bokuto dan wanginya yang sialan itu.

“… Versace eros?”

“Iya..”

“Pantes..” Kuroo menjauhkan badannya pelan. Membuat Bokuto terdiam dengan sebuah tanda tanya besar di kepalanya, namun tak dihiraukan oleh Kuroo.

“Ternyata ada bagian dari lo dulu yang belum sepenuhnya ilang ya,” Ucap Kuroo dalam benaknya.

—fin.

©caessonia

The Untold Truth


Malam itu, Bokuto dan Kuroo merasa waktu diputar balik. Kembali ke waktu di mana hanya ada mereka. Setelah Kuroo memberikan lampu hijau pada Bokuto, orang bersurai kelabu itu malah tidak kunjung memulai apa yang telah ia maksud sebelumnya. Kuroo sendiri juga tidak ingin menuntut, jadi ia membiarkan kendali pembicaraan itu sepenuhnya dipegang oleh Bokuto. Kuroo hanya menunggu orang itu membuka pembicaraan.

“Kabar lo gimana selama ini?” ucap Bokuto basa-basi.

Never been better.”

Bokuto mengangguk-angguk paham. “Same here.”

Kemudian keheningan melanda keduanya lagi. Kuroo menggigit bagian dalam bibirnya. Ia ingin mengambil ponselnya, kemudian menelpon Oikawa untuk menjemputnya saat itu juga dan membawanya kabur dari Bokuto. Karena situasi ini benar-benar membuatnya greget setengah mati. Ia ingin semuanya cepat dimulai, agar cepat selesai. Tapi Bokuto malah terlihat seperti mengulur waktu.

“Keluarga sehat? Ayah gimana, masih suka main ping-pong? Kakek nenek?” tanya Bokuto.

Shit...

“Sehat kok. Ayah masih suka main. Kakek udah engga ada waktu semester tiga, jadi sekarang nenek sendirian.”

I'm so sorry.

Bokuto kemudian menatap Kuroo di mata. Air wajahnya berubah. Kuroo melihat gelagat Bokuto, namun orang itu malah tersenyum tipis. “That's okay, udah lama juga.”

He was a good man.” ucap Bokuto. Kuroo menganggukkan kepalanya, menyetujui perkataan Bokuto.

“Kalo lo gimana, keluarga sehat?”

“Puji Tuhan, sehat semua.” Bokuto tersenyum.

“Kakak pertama gue udah punya anak. I'm an uncle now.” Orang itu melanjutkan perkataannya sembari tersenyum lebar.

Melihat senyum itu, Kuroo mau tak mau juga ikut tersenyum. Kakak pertama Bokuto sudah memiliki anak. Padahal terakhir kali ia bertemu dengannya saat itu, perempuan itu masih berstatus pacaran dengan kekasihnya. Ah, memang sudah lama ternyata.

“Gue turut seneng.” ucap Kuroo, “Mama gimana?”

“Sehat kok.”

Kuroo menghela napas lega. Namun perkataan Bokuto setelah itu seperti membuat jantungnya terserang.

“Mama masih suka nanyain lo.”

Kuroo mengigit bagian dalam bibirnya lagi. “Lo gak bilang?”

“Udah gue bilang kok, tapi dia gak percaya kalo kita udahan.”

Kuroo kini benar-benar bingung harus membalas apa. Ini semua menyiksanya, sungguh. Padahal ia sendiri yang menyetujui mengobrol dengan Bokuto lebih lama untuk membahas permasalahan mereka. Namun ia sendiri yang seperti sengsara akan keputusannya.

How did we end up breaking apart, Tetsu?

Here it is. The damn conversation is about to start!

“Gue yang mutusin.”

“Iya, tapi kenapa? Sampe sekarang gue gak tau kenapa lo putusin gue.”

“Bohong,” Kuroo membantah perkataan Bokuto. “Lo tau persis soal itu, Bokuto. Stop bohong ke gue kalo lo gak tau, karena gue bahkan bilang itu secara terang-terangan di chat!”

Bokuto masih diam, belum merespons perkataan Kuroo. Baiklah jika itu mau Bokuto, akan Kuroo ucapkan secara lantang saat itu juga.

“Jelas-jelas lo ngilang, ditambah lo jalan sama orang lain. Kurang jelas apa lagi?”

Bokuto menggeleng pelan, tatapannya masih tidak bisa Kuroo pahami. Bokuto menyangkalnya? yang benar saja! Hal itu membuat Kuroo tidak habis pikir, emosinya bahkan hampir memuncak jika ia tidak dengan segera mengontrol dirinya.

Tenang, Tetsu. Jangan emosi, biarin dia jelasin semuanya. Kuroo menenangkan dirinya sendiri.

“Gak gitu, Tetsu.”

“Gak gitu gimana?” Suaranya meninggi.

“Emang sebenernya ada apa sih, Bo?”

Bo.

Ya, dia mengatakannya. Panggilan kesayangannya untuk Bokuto dulu. Ia tidak peduli lagi, semuanya akan ia tuntaskan malam ini. Persetan dengan tembok yang ia bangun selama ini. Persetan dengan harga dirinya. Ia tidak peduli lagi. Bokuto bajingan. Semua bajingan.

Kuroo menghirup napas dalam, “Kenapa pas itu lo ilang gak jelas ninggalin gue?”

“Coba bilang, gue tuh salah apa sama lo sampe lo tega banget ngelakuin itu?”

Usahanya mengontrol diri gagal sudah. Emosinya kini sudah mencapai puncak. Suaranya meninggi dan hampir pecah. Kuroo kira selama ini ia kuat, namun ternyata malah sebaliknya. Disenggol sedikit saja, pertahanan yang ia bangun runtuh. 'Sial, padahal masih awal obrolan', batinnya.

What we had was beautiful, Bo. You made me believe that i was having the best life at the moment—

“Sampe akhirnya lo mulai susah dihubungin, dichat jarang bales. Lo juga susah ditemuin. Screw you!

Kuroo percaya bahwa tiga tahun lalu, ia ada di puncak kebahagiaannya. Ia yakin itu karena Bokuto benar-benar membuat dirinya seperti seorang paling bahagia di dunia. Ia berpacaran dengan Bokuto sejak kelas satu SMA. Awalnya mereka hanya teman biasa, sesama kapten tim voli yang sering mengobrol bersama. Hubungan itu awalnya bersifat platonik. Namun seiring waktu mereka menjadi lebih dekat, dan hubungan platonik itu berubah menjadi romantis. Akhirnya, mereka berdua memutuskan untuk berpacaran. Dua tahun berjalan, semuanya terisi dengan kenangan indah antara ia dan Bokuto. Kesehariannya diisi dengan canda dan tawa bersama orang itu. Kuroo tidak pernah merasakan lebih bahagia daripada itu di dalam hidupnya.

Kemudian memasuki tahun ketiga saat mereka SMA, semuanya mulai berubah. Mereka menjadi lebih serius karena tuntutan akademik. Voli masih mereka lakukan, namun secara keseluruhan kegiatan mereka lebih berfokus ke akademik. Bahkan untuk jalan bersama pun mereka kurangi intensitasnya. Meskipun begitu, mereka berdua berjanji akan terus bersama hingga nanti saat mereka kuliah. Meskipun nantinya mereka kuliah di kampus berbeda. Meskipun mereka akan saling berjauhan. Setidaknya itu lah janji manis mereka.

Kemudian pada suatu saat, Kuroo sudah diterima di salah satu kampus terlebih dahulu. Ia memberitahu Bokuto akan kabar baik itu. Awalnya Bokuto ikut senang mendengar itu, namun seiring waktu Bokuto menjadi berbeda. Seolah-olah Bokuto menjauh darinya. Hal ini membuat Kuroo bingung setengah mati. Semakin Kuroo memikirkannya, semakin sulit jawaban didapatkannya.

Hal itu terus-terusan dirasakan oleh Kuroo. Bokuto menjauh, membatasi pertemuan dan interaksi, hingga laki-laki itu menghilang sepenuhnya. Setiap hari Kuroo mencoba menghubunginya, menanyakan keberadaannya, bahkan ia kerap mampir ke rumah Bokuto yang akhirnya hanya bertemu dengan salah satu kakaknya. Namun kakaknya tidak berbicara apapun tentang itu, mereka tidak mau ikut campur. Hasilnya nihil. Bokuto tetap susah diraih. Kuroo dibuat gila dengan hilangnya Bokuto.

Padahal Kuroo sedang senang-senangnya, namun di manakah Bokuto pada saat itu?

Sejak saat itu, suara Bokuto yang menenangkannya hilang. Senyuman Bokuto yang tiap pagi memberinya semangat juga sirna. Keberadaan Bokuto di sisinya pun tak lagi ada. Kuroo merasa hampa. Kebahagiaannya raib.

“Dan saat gue masih berusaha ngehubungin lo yang ilang-ilangan itu, lo ada di cafe sama satu cewek. Dan itu gak cuma satu kali, Bo! Coba gue tanya, mau lo apa kalo kaya gitu?”

Ya, pada saat itu Kuroo diberi tahu seseorang bahwa orang itu melihat Bokuto bersama orang lain di sebuah tempat. Awalnya Kuroo tidak berpikir itu sebuah masalah besar. Namun hal itu terus berulang. Satu kali menjadi dua kali, tiga kali, dan seterusnya. Hal yang ia pikir bukan masalah, ternyata malah mendatangkan musibah.

You even hugged her with that stupid smile on your face.

Bokuto masih diam, namun mulutnya terbuka seolah-olah ingin mengatakan sesuatu pada Kuroo.

“Masih mau nyanggah kalo lo ketauan selingkuh? Iya?”

Matanya memanas seiring ia mengatur napasnya. Dan tanpa sadar, air dari mata Kuroo mulai menetes. Ternyata luka lama belum sepenuhnya pulih.

Dengan matanya yang berair itu, ia menangkap ekspresi Bokuto yang sedikit panik. Selanjutnya, yang ia rasakan hanyalah kehangatan dalam dekapan Bokuto di tengah dinginnya malam. Orang itu memeluknya.

Sssh... Tetsu, I'm sorry— don't cry, please...

Ia dulu begitu mencintai Bokuto, dan ia yakin bahwa orang itu mencintainya sebesar ia mencintai Bokuto. Namun Bokuto hilang entah ke mana, hingga membuat keyakinannya itu perlahan pudar. Keyakinan yang manis itu hilang, dan akhirnya tergantikan dengan keyakinan baru yang cukup pahit baginya.

“Kalo udah gak ada rasa tuh bilang, jangan malah ilang.”

“Jangan malah ilang dan sama yang lain.” lanjut Kuroo.

Kuroo mengusap matanya perlahan, menyeka air matanya yang ia tahan selama ini agar berhenti keluar, yang nyatanya tidak bisa. Ia masih tetap menangis karena dadanya terasa sesak. Perlahan ia melepaskan diri dari pelukan Bokuto. Kehangatan itu menghilang, tergantikan dengan dinginnya angin malam di pinggir pantai.

“Lo ngira gue ngilang karena udah gak ada rasa sama lo?”

“Iya? Mungkin lo jenuh sama gue, iya gue paham. Tapi gak gitu caranya, Bo.”

I trusted you, but you betrayed me.

“Gue percaya kalo lo bisa jaga semuanya, tapi nyatanya lo satu-satunya orang yang ngancurin itu.”

Bokuto menggelengkan kepalanya kemudian menatap Kuroo lembut, setelah itu hela napas pelan lolos dari bibirnya dan ia tertawa pelan. Bukan tawa ceria, namun tawa getir yang Kuroo sendiri miris saat mendengarnya.

“Tau kenapa gue bisa sama cewek itu terus?” Kuroo menggeleng mendengar pertanyaan Bokuto.

“Lo suka dia?” Kuroo menebak sesuai asumsinya.

No, Tetsu no.

“Lo tau dia siapa?” Bokuto bertanya, Kuroo menggeleng lagi.

Memangnya apa pentingnya bagi Kuroo untuk mengetahui siapa perempuan itu? Tidak penting sama sekali. Yang Kuroo tahu, orang itu pastinya penyebab hubungannya dan Bokuto kandas.

Bokuto kemudian memberikan minumannya yang belum tersentuh pada Kuroo. Hal itu ia lakukan lantaran ia tahu bahwa menangis menghabiskan energi dan membuat dehidrasi, dan Kuroo bisa pusing jika tidak diimbangi dengan minum.

“Tetsu, dia itu tentor gue. Waktu itu gue emang lagi fokus buat persiapan ujian. Gue ambil jadwal intensif.”

Kuroo menatap Bokuto bingung. “Gue gak paham?”

Pembohong.

Kuroo berbohong karena sejujurnya ia sedikit paham. Ia mulai dapat menyambungkan titik-titik yang ada di kepalanya. Namun ia ingin mendengar penjelasan lebih lanjut dari Bokuto.

“Sebelumnya gue mau minta maaf karena gue ngilang tanpa ngabarin lo. It was my fault, gak ada pembelaan karena emang nyatanya gue yang salah. I should've told you.”

Apa?

Bokuto berdeham, melegakan tenggorokannya. Hal itu justru membuat Kuroo menjadi gugup akan jawaban orang itu.

“Dengerin gue ya,”

“Tetsu, gue seneng banget waktu denger lo dapet snm. Serius gue seneng banget, apalagi pas liat lo senyum terus. I was so fuckin' proud of my baby.

Bokuto sialan.

“Tapi abis itu gue mikir, lo tuh setinggi itu di mata gue. Apa iya gue yang gitu-gitu aja pantes bareng sama lo? Saat lo udah dapet kampus yang lo pengen, dan gue masih belom apa-apa. Gue kepikiran, gue takut, gue ngerasa gak layak sama sekali. Sampe akhirnya gue mutusin buat berjuang mati-matian dan ambil kelas intensif. Gue ngejar materi, belajar keras, biar bisa satu almamater sama lo.”

Oh, God.

Sebuah hantaman keras dirasakan Kuroo di kepalanya. Semuanya menjadi kosong setelah Bokuto mengucapkan itu.

Kenapa? Kenapa Bokuto tidak memberi tahu hal sepenting itu dan malah membuat semuanya menjadi runyam? Ia tidak paham sama sekali!

Ia tidak paham mengapa Bokuto memilih berjuang sendiri, saat ia jelas-jelas akan tetap berada di sisinya untuk mendukungnya sepenuh hati. Saat ia hendak akan bertanya hal itu pada Bokuto, orang itu sudah menjawab dahulu seolah membaca pikirannya.

“Kalo lo tanya kenapa gue gak ngomong, gue ngelakuin ini diem-diem karena gue gak mau bikin lo kepikiran. Gue gak mau ngerusak moment bahagia lo, Tetsu.”

What the actual fuck...

“Gue pengen waktu itu kasih kejutan buat lo dan ngomong 'Tetsu, liat ini pacar lo bisa nyusul lo.' Tapi rencana gue ternyata salah langkah, i screwed it up.”

Kuroo kehilangan kata-kata. Dadanya semakin sesak. Bajingan. Keadaan ini, kondisi ini, semuanya bajingan. Ia menggigit bibirnya saat Bokuto melanjutkan perkataannya.

I know i'm an asshole.”

“Seenggaknya lo bales chat gue. Tapi apa kenyataannya, Bo?”

“Jujur gue sampe stress banget waktu itu karena progress gue gak gede tiap harinya. Itu yang bikin gue takut buat bales chat dari lo. Makin ada notif chat dari lo, gue makin kepikiran. Setelah itu gue bener-bener fokus sampe ujian.”

“Akhirnya gue dapet jalur mandiri, dan kebetulan gue buka pengumumannya bareng tentor gue yang itu. Gue seneng banget waktu itu, and that was the reason why i hugged her.

Astaga.

Semuanya jelas sekarang. Semuanya masuk akal, meskipun jika ditilik lagi Kuroo masih tidak bisa menerima alasan Bokuto tidak memberitahunya. Seharusnya orang itu bilang, barang sepatah kata saja. Sungguh ia tidak apa. Ia tidak keberatan sama sekali untuk orang yang ia sayangi.

“Jadi cewek itu beneran cuma tentor lo?” Tanya Kuroo yang mendapat anggukan dari Bokuto.

Shit, gue gak kepikiran sampe situ.”

I know i really fucked it up, tapi alasan gue ngilang itu karena lo Tetsu. Gue berjuang demi lo, demi kita biar bisa barengan sampe kuliah. Yah, salah gue juga karena gak bilang dari awal.. sampe lo minta putus dan musuhin gue sampe kuliah gini.” Bokuto menutup perkataannya dengan tawa getir.

Kuroo merasa ingin berteriak, namun untuk mengucapkan satu kata pun ia tidak mampu. Ia hilang kata. Tatapannya kosong dengan matanya yang sembab itu.

Please forgive me for what i did..” Ucap Bokuto final.

“Bo.. anjing sumpah lo.”

Air mata Kuroo kemudian lolos kembali, mengalir di pipinya yang memerah. “Sakit loh Bo, demi apapun sakit banget.”

Jadi selama ini, anggapannya memang salah. Asumsi yang ia susun sendiri berdasarkan informasi setengah-setengah itu ternyata tidaklah benar. Ia merasa marah dan malu secara bersamaan. Ia malu pada Bokuto karena ia seperti orang bodoh yang berpikir pendek dan bertindak impulsif. Namun ia lebih malu pada diri sendiri.

“Lo harusnya ngomong ke gue, biar gue ngerti, biar gue gak mikir macem-macem tentang lo!”

Fuck!” Kuroo mengumpat tak tertahan. Kalau begini caranya, Kuroo yang merasa bersalah sepenuhnya.

Marah dan malu menyelimuti dirinya. Dan perasaannya itu bercampur dengan rasa sakit, mengakibatkan sesak di dadanya kian bertambah. Kuroo rasanya ingin meledak saja.

It's okay, i'm the one to blame.” Ucap bokuto.

“Gue ngomong gini bukan karena apa-apa kok. Bukan karena mau ngajak balikan juga, karena gue yakin kesalahan gue cukup fatal.”

“Gue cuma pengen ngelurusin aja biar gak ada hard feeling lagi.”

Satu jam sudah berlalu semenjak kedatangan mereka di pantai itu, dan mereka belum ingin beranjak dari posisi masing-masing. Angin malam di tepi pantai itu semakin menusuk kulit. Membuat kulit Kuroo meremang dan bibirnya sedikit bergetar. Kontras dengan kepala dan hatinya yang terasa panas.

Kuroo menghela napas. Pandangannya tertuju pada pasir putih yang kini ia mainkan dengan ranting di tangannya. “Gue gak tau mau ngomong apa..”

“Gak ngomong juga gak apa, lo mau mukul gue pun boleh kok..” Bokuto mengucapkannya sambil nyengir lebar.

“Maafin gue ya? let's fix this.

Kuroo menatap manik Bokuto lamat, dan akhirnya mengangguk satu kali.

“Gue sih yang harus minta maaf karena udah salah paham. Maafin gue karena gue impulsif dan seenaknya sendiri...”

Selepas mengucapkan itu, beban di dada Kuroo perlahan terangkat. Ia merasa seperti bisa bernapas lagi. Sedikit demi sedikit. Ia tatap Bokuto, matanya menyipit, sudut bibirnya terangkat. Ia tersenyum tulus pada Bokuto.

“Jangan berantem lagi ya kita?” tanya Bokuto yang dijawab anggukan Kuroo.

Bokuto tidak ambil pusing, pun juga Kuroo. Karena semuanya sudah jelas dan tidak ada alasan lagi untuk terus menerus memusuhi. Karena mereka tidak mau cinta untuk membenci. Kuroo juga sudah tidak mau terus-terusan ditempatkan di puncak. Puncak kebahagiaan, berubah menjadi puncak emosi, dan berakhir menjadi puncak komedi seperti sekarang ini.

“Maafin gue juga karena udah musuhin lo tiga tahun ini...”

Bokuto tertawa lebar, ia menggeleng sambil mengusap pundak Kuroo. “Iya, gue gak masalah kok asal lo baik-baik aja.”

Bokuto salah, karena faktanya Kuroo tidak baik-baik saja. . . . .

© caessonia

This or That


Tak terasa, hari-hari telah berlalu semenjak kedatangan pertama mereka di desa tempat KKN dilaksanakan. Kalau dihitung, sudah masuk minggu ke dua yang berarti beberapa program kerja KKN sudah dijalankan.

Salah satunya yakni program kerja milik Kuroo. Harusnya, minggu ini akan dilaksanakan program kerjanya. Rencananya akan memberikan sebuah penyuluhan tentang pemanfaatan suatu bahan bekas menjadi barang guna. Namun pagi hari ini, tepat satu hari sebelum acara dilaksanakan, pemateri yang seharusnya mengisi kegiatan tersebut memberi kabar pada Kuroo bahwa ia tidak bisa mengisi di acara tersebut.

Pusing? jelas. Kuroo merasa sangat pusing.

Dirinya kini sedang berada di dekat pendopo desa. Beberapa rekan setimnya kini tengah melaksanakan kegiatan masing-masing. Berbeda dengan dirinya yang sedari tadi mondar-mandir mencari solusi yang tak kunjung ia temukan.

Saat berkecamuk dengan pikirannya, netranya menangkap potret Bokuto yang asyik bercanda dengan beberapa anak kecil sembari membuat layangan dari kertas warna-warni.

Malah mainan sama bocah, batin Kuroo.

Merasa diperhatikan, Bokuto membalas tatapan Kuroo. Ia menaikan satu alisnya, mulutnya terbuka mengatakan suatu kata tanpa suara.

'apa?'

Kuroo menggeleng, kemudian ia mendudukkan dirinya di pinggiran pendopo. Kedua tangannya menopang kepalanya yang menunduk. Ia sangat frustrasi.

“Kenapa?”

Terdengar suara yang familiar di telinga Kuroo, suara Bokuto. Orang itu mendudukkan dirinya di samping Kuroo dan memandangnya penasaran. Kuroo menatap orang itu ragu.

“Gak apa cerita aja.” ucap bokuto.

“Lo tau proker gue yang bikin sabun dari limbah itu?” Bokuto mengangguk.

“Pematerinya ngecancel tadi, padahal acaranya besok banget.”

“Lah? kenapa coba?”

“Katanya besok ada acara dadakan yang gak bisa diskip. Dia bilang untung udah dikabarin H-1..tapi tetep aja.” ucap Kuroo. “Shit. Gue bingung banget sekarang...”

Kuroo mengusap wajahnya pelan. Ia benar-benar frustrasi. Ia ingin memaki pemateri yang ia maksud karena telah sudah seenaknya sendiri, namun itu hanyalah tindakan sia-sia. Lebih baik ia memikirkan solusi untuk mengatasi semuanya. Dan saat itu juga Bokuto terlihat memikirkan sesuatu.

“Lo pernah coba bikin itu sebelumnya?” Tanya Bokuto. Dijawab anggukan pelan dari Kuroo.

“Bisa kan berarti?” tanya orang itu lagi.

“Ya bisa, tapi basic doang. Makanya gue cari yang lebih expert, tapi sialnya malah dicancel..”

“Ya udah lo aja ntar yang jadi pematerinya.” kata Bokuto dan itu sukses membuat Kuroo mengernyitkan alisnya. Yang benar saja?

“Tapi—”

Bokuto menyela. “Gak apa basic. Daripada gak sama sekali?”

Dengan perkataan Bokuto, Kuroo sedikit mendapat pencerahan. Rasa putus asa yang sebelumnya membutakan dirinya perlahan hilang. Kalau dipikir-pikir, perkataan Bokuto memang benar. Lebih baik begitu, daripada prokernya tidak berjalan sama sekali.

Fine.” ucap Kuroo final.

Setelah mengucapkan itu, ia mendengar salah satu anak kecil meneriakkan nama Bokuto. Memanggilnya untuk kembali bermain bersama mereka. Kemudian Bokuto pamit.

Siang itu, setelah ia memutar otaknya, ia mulai menyusun rencana untuk hari esok. Mulai dari bahan dan semua peralatan sederhana yang sekiranya bisa ia gunakan untuk demonstrasi pada saat penyuluhan. Akhirnya ia memutuskan untuk melakukannya, menjadi pemateri untuk program kerjanya sendiri.

Masalah bahan-bahan yang seharusnya dibawa oleh pematerinya, bisa ia dapatkan. Kata Pak Kades, bahan-bahan seperti itu tersedia di pusat kota. Oleh karena itu, ia menghubungi Oikawa untuk mengantarkan ia ke sana. Namun nihil, oikawa tidak mengangkat panggilannya.

Mau tak mau ia pun harus ke pusat kota sendirian, bermodalkan google maps. Kemudian ia bergegas kembali ke pondokan untuk meminjam salah satu motor milik anak Pak Kades, yang sebelumnya sudah ia hubungi.

Setibanya di pondokan, ia melihat salah satu anggota timnya dari sub unit yang berbeda tengah berada di teras pondokan. Orang itu tengah menata beberapa kaleng cat dan tumpukan papan kayu.

“Ngapain, Ter?” tanya Kuroo.

Terushima, kawannya dari sub unit dua, mendongakkan kepalanya. “Ini lagi nyiapin buat plangisasi besok. Lo mau ke mana pake motor gitu?”

“Ke pusat kota, beli barang buat proker gue besok.”

“Wih asik, ikutan dong. Mumpung bentar lagi gue kelar nih.”

Mendengar perkataan Terushima, Kuroo hampir saja mengiyakan permintaannya. Sebelum suara familiar menginterupsi.

“Wah sorry bro, ini gue mau bareng Kuroo. Sekalian mau beli barang.”

Bokuto tersenyum simpul. Karena Kuroo sudah tidak ambil pusing, ia mengiyakan saja. Siapapun yang ingin ikut, ia tak masalah.

“Gue aja yang di depan.” Ucap Bokuto mengambil alih motor matic hitam itu. Sekali lagi, Kuroo tidak ambil pusing.


Perjalanan ke pusat kota memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Dan selama tiga puluh menit itu, Kuroo habiskan dengan mendengarkan celotehan Bokuto yang tidak terlalu terdengar jelas.

“Lo masih sama ya, masih suka panik sendiri terus jadi diem.” celetuk Bokuto sesampainya mereka di tempat tujuan.

Kini mereka sedang di toko bahan kimia yang ada di pusat kota. Kuroo tidak menjawab perkataan Bokuto. Ia melangkah masuk ke dalam bangunan itu. Bokuto mengekorinya di belakang ke manapun Kuroo pergi. Saat ia mencari bahan, Bokuto mengikutinya. Mencari alat, Bokuto masih setia di belakangnya.

“Lo ngapain ngikutin gue? tadi katanya mau cari barang.”

“Gak jadi, barangnya gak ada.”

Kuroo sedikit meragu, “Emang apa sih?”

“Rahasia.”

Kuroo memutar bola matanya malas. Ia menggelengkan kepalanya kemudian melanjutkan mencari kebutuhan yang sebelumnya sudah ia catat di ponselnya.

“Gue bantuin sini,” ucap Bokuto.

“Emang lo tau gimana bentuk barangnya?”

“Coba dulu. Chat gue list yang belom dapet,”

Kuroo pun mengirimkan yang diminta Bokuto. Setelah itu Bokuto pergi untuk mencari barang-barang yang belum ia dapatkan. Ia hanya berharap Bokuto tidak salah ambil.

Setelah beberapa saat, Bokuto kembali dengan beberapa barang di keranjangnya. Ia mengecek satu-persatu barang yang diambil Bokuto. Hampir semua benar, namun ada satu kemasan barang yang bahkan ia sendiri tidak tahu itu apa awalnya.

“Bokuto, ini apaan?”

“Lah? gak tau. Itu tadi gue ambil yang namanya gliseril? gliserin? apa lah itu gue gak paham yang di note lo..”

“Tapi ini tulisannya gelatin..” ucap Kuroo saat membaca labelnya.

“Oh beda ya?”

“Dari tulisannya aja udah beda anjir.” Kuroo meloloskan tawanya.

Bokuto mengedikan bahunya, “Ya siapa tau kan nama kerennya gitu.”

Tawa Kuroo makin meledak, “Bapak lo disco nama keren.”

Bokuto yang menatapnya kemudian juga ikut tertawa. Wajahnya menjadi berseri, tawanya lebar, pipinya memerah, dan mata bulatnya itu berubah menjadi dua garis tipis. Melihat itu, tawa Kuroo seketika lenyap. Ia tercekat. Hal itu terjadi dibersamai dengan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dadanya. Seperti denyutan yang hebat, sedikit ngilu seperti diremas hingga membuat dirinya sedikit sesak.

Namun kuroo mengabaikan hal itu. Ia tidak ambil pusing dan kembali memilih fokus pada tujuannnya. Mereka melanjutkan mencari bahan-bahan yang akan digunakan. Ternyata mampir ke satu toko saja tidak cukup, karena ada beberapa bahan yang tidak ada di sana. Oleh karena itu, dua insan itu menghabiskan waktunya untuk kesana kemari mencari kebutuhan.

Tak terasa sesaat telah mendapatkan barang yang mereka cari, waktu telah berganti menjadi sore. Sedari tadi Bokuto terlihat menahan haus, namun orang itu tidak berkata apapun tentang itu. Sepertinya orang itu juga menahan lapar. Kuroo yang mendengar suara perutnya berbunyi akhirnya memutuskan untuk mengajaknya mampir ke suatu tempat makan.

Mereka mampir ke warung bakso yang cukup ramai didatangi pelanggan. Setelah memesan, mereka berdua mencari tempat duduk di tengah keramaian itu. Keheningan melanda mereka untuk beberapa saat.

Saat pesanan mereka tiba, Kuroo mulai memakannya. Mereka memesan dua mangkok bakso telur dan dua gelas es teh manis. Dilahapnya makanan itu selagi panas. Dan disisihkannya kuning telur yang ada, karena Kuroo tidak terlalu menyukai bagian itu.

“Sini kasih ke gue aja kuningnya, lo gak suka kan. Sayang kalo dibuang, kasian abangnya.” Ucap Bokuto. Kemudian Kuroo memberikan kuning telurnya pada Bokuto.

Setelah itu, Kuroo sukses dibuat terkejut dengan tindakan Bokuto. Orang itu memberinya bagian putih telur pada Kuroo. Matanya membesar, dan seolah-olah mengerti Bokuto berkata “Buat lo, biar kenyang.”

Sial, perasaan itu datang lagi.

Perasaan yang membuat dadanya sedikit sesak. Seperti ada belenggu yang membuat jantungnya berdenyut hebat. Kuroo tidak suka ini. Kuroo tidak mau.


Seusai membeli makanan, Kuroo mengajak Bokuto untuk kembali ke pondokan. Beberapa kantong berisi bahan-bahan yang akan digunakan untuk acara hari esok, ditenteng oleh Bokuto sedari tadi. Kuroo sendiri sebenarnya sudah meminta agar dia saja yang membawa, toh itu juga barangnya. Namun Bokuto menolak, berkata agar ia saja yang membawa agar Kuroo fokus untuk mencari barang yang lain jika masih ada yang dicari.

Kuroo menjadi terdiam. Beberapa hari lalu ia masih merutuki keberadaan Bokuto. Mencibirnya lantaran terang-terangan menggoda Alisa pada saat ada acara atau kegiatan lainnya. Dan kini orang itu malah membantunya secara cuma-cuma. Sedari tadi siang, ke sana ke mari mencari bahan-bahan yang baginya cukup sulit untuk dicari. Kuroo jadi kepikiran. Kuroo jadi tidak enak hati.

“Lo kenapa?” ucapan bokuto membuyarkan lamunannya.

“Gapapa,”

“Kok diem? Baksonya kurang enak ya?” Bokuto bertanya.

Kuroo menggelengkan kepalanya gugup, dan itu mengundang tatapan heran dari Bokuto. Laki-laki bersurai hitam itu menggigit bagian dalam bibirnya, niat hati mengurangi beban di dada namun sepertinya itu tidak berhasil. Ia masih tetap gugup.

“Terus?”

”...kasih..”

“Apa?” Bokuto memastikan.

“Makasih,”

Bokuto tersenyum tipis. Kemudian senyum tipis itu berubah menjadi senyum yang Kuroo sendiri tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya. Yang pasti, Kuroo kenal dengan senyuman itu. Senyuman itu adalah senyuman yang kerap diberikan Bokuto saat mereka masih bersama dulu. Dan jujur saja itu membuat dadanya merasakan perasaan aneh itu kembali.

“Gimana? Gue gak denger..” kata Bokuto dengan suara jahilnya.

“Gue gak mau ngulangin, lo udah denger.” Ucap Kuroo yang kemudian mendahului Bokuto menuju tempat mereka parkir kendaraan.

Pukul setengah delapan malam, dan mereka belum tiba di lokasi KKN mereka. Kuroo menerima beberapa pesan dari rekan-rekan timnya, menanyakan keberadaannya bersama Bokuto. Jemarinya dengan cepat membalas pesan-pesan itu selagi Bokuto fokus mengemudi.

Kini ia berada di motor, di jok belakang dengan Bokuto di depannya. Angin malam menerpa wajahnya secara brutal. Rambut hitam yang menutup sebagian kecil wajahnya pun tersibak, menampilkan kedua mata yang terfokus pada layar ponsel dan alis yang bertaut. Bokuto mengintip dari pantulan kaca spion, dan diam-diam bibirnya membentuk sebuah lengkungan kecil ke atas.

Kuroo begitu sibuk dengan ponselnya dan menikmati angin malam, hingga ia tak memperhatikan saat Bokuto mengambil jalan berbeda dari rute mereka berangkat ke pusat kota.

Kendaraan mereka melaju ke arah pantai di dekat desa mereka. Kuroo baru menyadari hal itu saat Bokuto menghentikan kendaraannya dan menyuruh Kuroo untuk turun.

“Kok ke sini?”

“Cari angin bentar,”

Bokuto berjalan mendahului Kuroo, mendekat ke bibir pantai. Kuroo yang masih bingung pun belum menggerakkan kakinya, masih di tempat yang sama. Bokuto awalnya tidak menyadari. Namun orang itu berbalik dan menatap Kuroo seolah mengajaknya untuk bergabung. “Yuk?”

Kuroo kemudian mengekor di belakang orang itu. Mereka berjalan menuju tepian pantai. Suasana di sana tidak terlalu sepi, karena masih banyak warung-warung yang buka, anak kecil yang bermain pasir, atau orang yang sekedar berjalan tanpa arah. Mereka terus berjalan menyusuri kawasan itu, hingga Bokuto berhenti di suatu tempat dekat bebatuan.

“Mau ngapain sih?”

“Mau ngobrol, tunggu sini ya.”

Setelah mengucapkan itu, Bokuto kemudian pergi ke arah warung yang tadi mereka lewati. Tanda tanya besar menghampiri kepala Kuroo, bersamaan dengan punggung Bokuto yang kian mengecil.

Apa yang Bokuto ingin bicarakan? Dan mengapa di suasana seperti ini? Mungkinkah Bokuto akan menghajarnya habis-habisan karena ia memusuhinya tiga tahun belakangan ini? Atau, Bokuto ingin membicarakan tentang masalah yang ada di antara keduanya?

Ah, sialan...

Pemikiran-pemikiran itu membuat Kuroo jadi sedikit was-was. Degup jantungnya menjadi lebih cepat dari sebelumnya, dan perutnya sedikit mencelos. Semilir angin di tempat itu sama sekali tidak membantunya dalam menenangkan diri. Yang ada, semilir angin malah membuat badannya semakin bergetar karena kedinginan. Ia duduk di dekat bebatuan sambil mengusap tangannya. Ia semakin was-was. Terlebih saat maniknya melihat Bokuto yang mendekat ke arahnya, membawa dua gelas minuman dan satu kantong plastik berisi makanan. Here we go...

Bokuto mengulurkan satu gelas minuman hangat ke Kuroo. Kuroo menerimanya dengan ragu-ragu, namun Bokuto mengangguk dan meyakinkannya, “Gak ada apa-apanya, tenang aja.”

Kuroo pun kini menerima dan mulai meminum sedikit dari gelas itu. Uap panas mengepul, memberi kehangatan pada wajah Kuroo.

“Siapa tau lo mau ngeracunin gue,” celetuk Kuroo. Bokuto tidak menanggapi perkataannya. Orang itu malah ikut mendudukan dirinya di samping Kuroo.

“Sebenci itu ya lo ke gue, Tetsu?”

Apa?

Apakah Kuroo salah mendengar?

Mendengar nama kecilnya disebut, Kuroo menghentikan kegiatannya. Matanya sedikit membelalak. Dan saat ia memberanikan diri untuk menatap Bokuto, ia mendapatkan orang itu sudah menatapnya tepat di manik. Lagi-lagi, Bokuto sukses membuatnya tercekat.

Sudah sejak lama, Kuroo tidak mendengar nama kecilnya dipanggil oleh orang itu. Mendengar suara serak dan rendah Bokuto yang memanggil namanya pelan, membuat darahnya berdesir. Awalnya ia tidak tahu untuk apa Bokuto membawanya kemari, namun sekarang ia paham. Tidak lain dan tidak bukan, Bokuto ingin membicarakan tentang 'mereka'.

Selama ini Kuroo selalu menghindari topik ini, karena baginya ini sangat sensitif. Sedikit saja topik ini disinggung, mood yang ia bangun susah payah bisa hancur seketika.

“Gak nyalahin juga sih,” ucap Bokuto kemudian. Ia seperti bermonolog karena Kuroo tak kunjung menanggapinya. Kuroo menghindari tatapannya dengan menunduk.

“Mau main game gak?”

Kuroo mengangkat wajahnya, “Game apa?”

This or That.” Kuroo tidak menjawabnya, karena jujur ia sendiri juga belum paham game apa yang dimaksud Bokuto. Meskipun begitu, Bokuto tetap melanjutkan perkataannya.

“Gue duluan ya,” ucap orang itu. “Mending mana, kedinginan atau kepanasan?”

Alis Kuroo bertaut, menampilkan ekspresi heran. Ia mengernyit mendengar pertanyaan Bokuto. Jelas-jelas Bokuto tahu kalau Kuroo tidak tahan dingin, namun orang itu masih bertanya. Kuroo bisa yakin bahwa Bokuto tahu, karena dulu Bokuto sering memarahinya tiap ia lupa membawa jaket saat berkendara dan berakhir kedinginan. Bokuto tahu, karena ia sering memeluknya saat pagi hari saat menginap di rumahnya. Dan masih banyak hal lagi yang dilakukan Bokuto, untuk mencegah Kuroo menggigil kedinginan.

“Kepanasan?”

Bokuto tersenyum lagi mendengar jawaban Kuroo. Entah apa maksud Bokuto mengajaknya bermain permaina aneh ini, tapi itu berhasil membuat Kuroo sedikit tertarik. Setelah itu Kuroo bergantian memberikan lawan bicaranya satu pertanyaan yang secara random terlintas di otaknya.

“Mending mana, nahan laper atau nahan haus?”

“Hahaha.. nahan laper dong,”

Mendengar Bokuto tertawa, Kuroo juga ikut tertawa pelan. Mungkin untuk malam ini saja, ia bisa sedikit melunak pada Bokuto. Just for one night, he'll let his guard down.

“Mending mana, nasi padang atau pizza?”

“Nasi padang lah.”

“Sama.” Bokuto menimpali.

Kuroo terlihat berpikir lagi, “Mending mana, dipukul atau mukul?”

“Dipukul.”

“Masokis lo.” Kuroo tertawa. Bokuto juga ikut tertawa.

“Giliran gue, mending mana.. kasih kesempatan buat gue jelasin semuanya, atau stuck sama anggapan lo selama ini dan tetep musuhin gue?”

Tawa Kuroo kemudian menghilang, senyum yang terpatri di bibirnya luntur seketika. Permainan yang tadinya ringan, ternyata hanya basa basi dari Bokuto untuk membawanya ke percakapan yang lebih serius. Sial sial sial. Bokuto fuckin Koutarou.

Pertanyaan itu membuat isi kepalanya berkecamuk. Kuroo sebenarnya ingin memilih opsi kedua, dan bertahan dengan anggapannya sendiri. Anggapan tentang Bokuto si brengsek yang meninggalkannya dan memilih dengan yang lain. Sungguh, ia ingin tetap menyalahkan Bokuto karena apa yang orang itu lakukan telah meninggalkan trauma tersendiri baginya. Trauma yang membuatnya jatuh bangun tidak karuan, hingga akhirnya ia membenci Bokuto dan memusuhinya sebagai mekanisme koping.

Namun ia sadar, sudah tiga tahun berlalu. Tiga tahun itu ia lalui dengan membenci Bokuto dalam kesehariannya. Ia mulai lelah dengan strategi koping sialan yang ia bangun itu. Dan seolah-olah takdir dan semesta mengetahui kondisinya, ia malah dipertemukan dalam KKN ini. Mungkin ini alasannya, batin Kuroo. Alasan mengapa ia dipertemukan kembali dengan Bokuto, setelah berpisah sekian lamanya. Akhirnya Kuroo mulai mengerti dan menerima.

Lantas ia menampilkan satu jari telunjuknya pada Bokuto, memberi tanda bahwa ia memilih opsi pertama. Bokuto yang melihatnya pun tersenyum lega.

Kuroo ingin Bokuto menjelaskan semuanya.

. . .

Ⓒ caessonia

Two is better than one


Lima tahun telah berlalu. Tidak terasa dua orang itu sudah saling mengenal selama itu. Dua orang itu adalah kuroo dan bokuto. Awalnya bermula saat kuroo dan bokuto bertemu di camp pelatihan yang diadakan oleh sekolah mereka. Pada waktu itu, kuroo iseng menghampiri bokuto yang tampak murung. Keduanya berkenalan dan kemudian berteman akrab sejak saat itu.

Kala itu kuroo dan bokuto memang seperti teman 'rumahan' yang sudah lama berteman. Keduanya menemukan kecocokan satu sama lain.

'Ketemu orang belum selama itu, tapi udah kaya ketemu temen lama'

Kuroo sendiri sering memikirkan hal itu diam-diam terkait hubungan pertemanannya dengan bokuto.

Pada waktu SMA, kuroo dan bokuto kerap menghabiskan waktu bersama. Mereka saling bertemu di luar agenda camp atau pada saat latihan tanding. Tak jarang juga bokuto dan kuroo bertemu sepulang sekolah untuk makan malam bersama. Bahkan setelah latihan tanding pun, bokuto menyempatkan diri untuk mengajak kuroo pulang bersama karena tempat tinggal mereka satu arah.

Awalnya mereka kerap bertemu di suatu titik yang telah mereka janjikan, namun lama-kelamaan kebiasaan itu menghilang. Itu semua beralih menjadi bokuto yang sengaja mampir ke Nekoma untuk menjemput kuroo. Begitu juga sebaliknya, kuroo yang mampir ke Fukurodani untuk menemui bokuto.

Warna seragam mereka sangat kontras, sehingga tentu saja sangat mencolok saat salah satunya berada di lingkungan sekolah masing-masing. Hal itu lah yang menyebabkan keduanya sering dibanjiri pertanyaan oleh teman-teman kelasnya.

Dari yang awalnya begitu-begitu saja, kemudian bokuto mulai untuk menginap di tempat kuroo. Apartment kuroo itu simple dan nyaman, tidak terlalu besar tapi cukup untuk dua orang bertubuh semampai untuk singgah. Bahkan cukup jika keduanya mau adu gulat dadakan di ruangan itu.

Agenda bokuto menginap hanya dilakukan sesekali, pada awalnya. Kemudian seiring waktu, berubah menjadi berulang kali. Bahkan menjadi rutinitas bagi mereka kalau bokuto akan menginap di tempat kuroo sekali seminggu, tepatnya pada sabtu malam. Mereka selalu melakukan ini hingga keduanya menginjak bangku kuliah, seperti saat ini.

Sabtu malam. Biasanya orang-orang menghabiskan waktu ini dengan pacarnya. Namun lain dengan bokuto dan kuroo. Mereka lebih memilih untuk menghabiskan waktu berdua pada malam itu, entah itu untuk bermain games, menonton film bersama, atau hanya mengobrolkan sesuatu yang konyol. Begitulah malam minggu keduanya, yang diisi dengan bokuto yang menginap di tempat kuroo.

Hingga pada suatu malam saat bokuto singgah, kebetulan hujan deras mengguyur daerah tersebut. Sesekali hujan itu dibersamai dengan gemuruh dan kilat. Udaranya pun sangat dingin dan dapat membuat siapapun menggigil. Kebetulan juga pada saat itu penghangat ruangan milik kuroo sedang rusak sehingga tidak bisa bekerja optimal. Jadi mau tidak mau keduanya harus berdamai dengan rasa dingin.

Namun karena kuroo yang pada dasarnya tidak tahan dingin, ia merasa tidak sanggup lagi. Kuroo terlihat menggigil, pun bokuto yang berusaha menghangatkan diri yang akhirnya tidak berhasil. Kemudian bokuto menawarkan untuk berpelukan hingga mereka tertidur.

“Serius lo?”

“Ya iya. Buat sekali ini aja, gak masalah kan?”

“Aneh banget gak sih tapi?”

“Enggak lah..”

“Yaudah..”

Akhirnya kuroo menyetujui. Bokuto merengkuh kuroo agar masuk ke dalam pelukannya. Pada malam itu, keduanya saling menghangatkan dengan rengkuhan masing-masing. Pada malam itu juga, keduanya tidak tahu bahwa semua itu akan dimulai.

They didn't see it coming..


Di kesempatan lain —minggu-minggu berikutnya— bokuto kembali menginap di tempat kuroo. Sialnya, hari itu juga hujan seperti minggu yang lalu. Kasihan orang-orang yang sudah berencana pergi dengan pacarnya malam itu, digagalkan lagi oleh hujan yang derasnya tidak tanggung-tanggung. Meskipun begitu, hujan itu tidak menghalangi jalan bokuto untuk datang ke apartment kuroo. Bahkan ia berani menerjang hujan itu, layaknya menerjang badai. Tindakan yang bodoh, tapi bokuto rasanya tidak peduli. Yang penting ia ke tempat kuroo.

Malam itu suhu rendah kembali membuat keduanya kedinginan dan menggigil. Namun saat itu bokuto tidak terlihat terganggu akan hal tersebut, karena ia sudah terlanjur kedinginan di jalan. Jadi saat sampai ke apartment kuroo, ia malah merasa hangat karena perbedaan suhu di luar ruangan dan dalam ruangan, meskipun tidak signifikan.

Saat akan tidur pun begitu. Bokuto dengan santainya rebahan di samping kuroo tanpa menggunakan selimut. Lain halnya dengan kuroo yang masih berusaha menghangatkan diri dengan selimut dua lapis, yang nyatanya tidak berhasil. Hal itu malah membuat kuroo terlihat seperti cinnamon roll.

“Bo, is it okay if we do it like the last time?

Bokuto menaikkan satu alisnya, bingung dengan perkataan kuroo.

Hug me..”

Bokuto kemudian tersenyum setelah mengerti maksud kuroo. “Sure sure.”

Kemudian keduanya kembali berpelukan. Dengan lengan bokuto yang melingkar di pinggang kuroo, dan pipinya yang menempel di puncak kepala kuroo.

“Mendingan?”

Kuroo mengangguk sambil merapatkan dirinya lagi ke tubuh bokuto.


Semakin lama bokuto semakin sering menginap di tempat kuroo. Yang tadinya hanya satu minggu sekali pada sabtu malam, kini menjadi berulang kali dalam seminggu. Kuroo sendiri sebenarnya tidak keberatan. Awalnya kuroo tidak masalah jika ia tidur sendirian, karena selama ini ia pun begitu. Namun sejak bokuto datang dan sering menghabiskan malam dengannya, semua itu mengubah pemikiran kuroo.

Two is better than one. Begitu pikirnya.

Saat bokuto datang untuk menginap pun, kuroo sering diberikan beberapa kotak makanan yang telah disiapkan oleh ibu bokuto. Mereka selalu antusias untuk makan malam bersama, kemudian berakhir dengan tidur bersebelahan lagi seperti biasanya. Banyak malam yang ia lalui bersama kuroo, diisi dengan senda gurau, adu mulut, dan mengobrol hal-hal yang menurut mereka menarik untuk dibahas.

Namun, pada suatu malam saat bokuto menginap di sana, semua terasa berbeda. Ia merasa kuroo menjadi sedikit sentimental dan uring-uringan. Bahkan orang itu tidak mau makan saat ditawari bokuto. Bokuto bingung bukan main. Apakah kuroo marah padanya? Apakah ia mengganggu waktu pribadi kuroo?

Pikiran bokuto dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Ia menjadi kepikiran kalau itu semua menyangkut dirinya yang terlalu sering bermalam di tempat kuroo. Ia jadi tidak enak hati dan ia pun merasa memiliki salah terhadap kuroo. Hingga saat mereka akan tidur pun, ia belum mau mengusik kuroo. Kuroo juga belum mau membuka mulut. Lantas ia biarkan orang itu tenang. Malam itu, kuroo tidur dengan posisi memunggunginya. Malam itu, mereka tidak saling memeluk.

Namun saat ia akan memejamkan mata, pandangan bokuto tertuju pada pundak kuroo yang bergetar, naik turun seperti orang gundah menahan amarah. Akhirnya bokuto memberanikan diri untuk bertanya.

“Hey, kenapa?” ucap bokuto lembut.

Kuroo yang awalnya murung dan jarang berbicara, akhirnya membuka mulut. Suaranya sedikit pecah dan sumbang.

“Maaf ya bo, lo jadi kena juga.” ucap kuroo.

“Gue gak papa kok, cuma masalah kerjaan aja. Gue cuma capek aja gitu, sampe jadi emosi begini. Maaf ya...”

Kuroo mengucapkan itu tanpa membalikkan badan. Ia tidak mau bokuto melihatnya menangis. Bokuto sedikit lega karena ternyata semua prasangkanya salah. Ia menghela napas pelan, kemudian mendekatkan diri ke tubuh kuroo.

Ia beranikan dirinya untuk merengkuh kuroo dari belakang, mengulurkan lengannya untuk memeluk pinggang kuroo.

“Gapapa. Semuanya bakal berlalu kok, pelan-pelan aja ya?”

“Gue tau kerjaan lo susah dan banyak, dikit-dikit aja biar lo juga gak terlalu terbebani. Anggep bentar lagi selesai...”

Air mata kuroo semakin deras keluar saat ia mendengar semua itu keluar dari mulut bokuto. Ia sendiri tidak bersuara, namun pundaknya bergetar hebat seiring dengan air matanya yang mengalir deras. Setelah beberapa saat, semua itu berangsur hilang. Napasnya menjadi lebih teratur daripada sebelumnya.

“Kalau butuh sesuatu, ada gue di sini..” ucap bokuto.

Kuroo mengangguk pelan. Ia merasa lebih tenang. Baik karena ucapan bokuto, maupun pelukan bokuto. Bokuto mengusap tangannya pelan-pelan, menyalurkan ketenangan.

Laki-laki bersurai kelabu itu kemudian mengecup pundak kuroo sekali dengan pelan. Ia sendiri pada saat itu tidak tahu mengapa ia melakukan hal itu. Yang ada di pikirannya hanya kebutuhan untuk menenangkan kuroo hingga laki-laki itu merasa lebih baik.

Dan benar saja, kuroo merasa lebih tenang. Ia sendiri tidak mempermasalahkan perihal bokuto mengecup pundaknya. Kalau saja tidak ada bokuto di sini, mungkin kuroo akan berakhir menangis semalaman. Kuroo memang emosional seperti ini jika sudah lelah dengan semuanya. Ia mungkin akan lupa makan, bahkan malas untuk beraktivitas seperti biasanya. Benar-benar seperti orang yang mengalami burn out. Namun di sini ada bokuto yang menenangkannya. Ada bokuto yang siap menampung kesedihannya. Ada bokuto yang menjadi rumah baginya.

See? two is better than one.


Waktu pun semakin berlalu, namun kebiasaan keduanya masih tetap dilakukan. Yang awalnya bokuto hanya sekedar sering menginap di tempat kuroo dan sesekali berpelukan, sekarang mereka selalu berpelukan menjelang waktu tidur.

Terkadang bokuto yang merengkuh kuroo dalam peluknya, membiarkan dirinya menjadi big spoon of the night. Namun ada kalanya ia juga merasa nyaman karena direngkuh kuroo dalam peluknya. Keduanya membuat nyaman satu sama lain.

Hingga pada suatu saat, bokuto lepas kendali dan mengecup dahi kuroo sayang saat mereka merengkuh satu sama lain. Bokuto panik bukan main. Ini lain dengan pertama kali saat ia mengecup pundak kuroo. Kali ini ia benar-benar lepas kendali.

Namun seperti biasa, kuroo tidak mempermasalahkannya. Malah dia merespons kecupan bokuto dengan senyuman tipis dan tawa pelan. Sejak saat itu lah, bokuto kerap memberikan kecupan singkat sebelum tidur sembari mengucapkan selamat malam. Terkadang di dahi, kadang di pipi, kadang juga di hidung. Ekspresi kuroo setelah bokuto melakukan itu menjadi candu tersendiri bagi bokuto. Hal tersebut juga berlaku untuk kuroo, yang sesekali mengecup wajah bokuto sebelum terlelap.

Kemudian pada suatu malam, lama setelah mereka memulai kebiasaan itu, bokuto mulai mempertanyakan semuanya.

Keduanya sedang duduk di kasur kuroo, dengan kuroo yang memijat tangan bokuto karena pegal setelah sehari berlatih bersama klubnya.

“Bro, menurut lo kita aneh gak sih?”

“Dari awal kita emang udah aneh, bo. Gak cuma aneh, ajaib juga. Kenapa baru sadar sekarang?”

“Gak gitu, maksudnya tuh...”

Kuroo menyimak perkataan bokuto. Ia merasa bahwa bokuto ada dalam mode serius saat ini.

“Seumur-umur, gue gak pernah ngelakuin beginian sama temen sendiri..”

“Gue juga,” tanggap kuroo.

Bokuto kemudian menatap kuroo tepat di mata. Tangan yang tadi dipijat oleh kuroo pun kini menggenggam tangan kuroo pelan. Menautkan jemari mereka menjadi satu genggaman hangat.

“Misal gue bilang pengen jadi pacar lo, menurut lo gimana?”

Kuroo terlihat berpikir, kemudian tersenyum tipis. “Ya gak gimana-gimana.”

“Kok gitu...”

“Ya kan itu misal...” kuroo mengedikkan bahunya.

Benar juga. Bokuto menyadari perkataannya tadi. Ia kemudian berpikir keras.

Jujur saja, setelah semua hal yang ia lalui bersama kuroo, mustahil baginya untuk tidak menyimpan perasaan terhadap orang itu. Perutnya serasa dihinggapi ribuan kupu-kupu saat melihat kuroo tersenyum. Pipinya memanas saat kuroo mengecupnya. Juga dadanya yang menghangat saat melihat kuroo tertidur tenang dalam pelukannya.

He has a big fat crush on kuroo.

“Kalo itu beneran gimana?”

Kuroo mengernyitkan alisnya, mengisyaratkan bokuto untuk melanjutkan perkataannya.

“Gue suka sama lo, tetsu. Suka banget. Gue gak tau kapan mulainya, tapi gue yakin rasa itu udah ada dari lama.”

“Jadi... please, be the one for me?

“Gue dan lo sama-sama single. So, why don't we just complete each other as boyfriends? Wouldn't it be so perfect?” tanya bokuto.

Kuroo waktu itu tidak segera menjawab pertanyaan itu. Ia hanya tersenyum tipis menanggapinya. Kemudian senyumnya merekah.

Setelah itu, kuroo mendekatkan wajahnya ke bokuto secara tiba-tiba. Menyatukan bibir mereka secara singkat kemudian menarik dirinya kembali. Hanya kecupan tepat di bibir, dan itu sudah membuat bokuto seakan tersengat listrik. Impulsnya serasa bergerak dua kali lebih cepat.

Kuroo memberikan lampu hijau untuknya.

Bokuto kemudian meraih tengkuk kuroo, dan membawanya kembali dalam sebuah ciuman dalam. Ia melumat bibir kuroo dengan lembut, sesekali memiringkan kepalanya untuk memperdalam ciuman itu. Kuroo pun membalasnya dengan antusias, lembut dan hangat. Entah bagaimana semuanya terasa manis dan menjadi candu. Akhirnya ciuman panjang itu berangsur melambat, dan diakhiri dengan kuroo yang mengecup bokuto secara singkat sekali lagi.

Can i take that as a 'yes'?

Of course.” Kuroo tertawa pelan.

Kemudian memeluk bokuto erat dan membisikkan sesuatu yang membuat bokuto senang bukan main. “It took you so long. I love you too, stupid.

Setelah itu keduanya pun resmi menjadi sepasang kekasih. Meskipun begitu, keduanya tidak mengekspos hubungan mereka dengan menunjukkan afeksi di publik. Saat teman-teman mereka diberitahu tentang hal itu pun, mereka tidak kaget. Mereka menganggap itu bukan hal yang baru.

Little did they know, kalau bokuto dan kuroo ini lama kelamaan akan berakhir seperti itu. Yang tidak menyadari hanya dua orang itu saja.

Sekali lagi, they didn't see it coming.

—Fin.

. . . .

© caessonia

Salvatore


Setelah bokuto membuat janji dengan akaashi, keduanya akhirnya akan bertemu dengan orang itu. Awalnya bokuto juga akan ikut menemani kuroo. Namun bokuto tiba-tiba ada panggilan mendadak dari klub volinya yang mengharuskan ia datang ke gedung fakultasnya saat itu juga.

Akhirnya, kuroo diantarkan ke Shelter untuk bertemu dengan akaashi. Bokuto menyapa akaashi singkat, dan berkata bahwa ia tidak bisa ikut bergabung di sana untuk saat itu. Tadinya bokuto tidak mau datang ke gedung fakultasnya, tapi kuroo meyakinkan kalau ia akan baik-baik saja dan itu semua akan berjalan dengan lancar.

“Gede juga nyali lo kak,” kata akaashi pada kuroo. “Dateng ke sini bawa mantan pacar gue.”

“Akaashi..” bokuto segera menyahut. Menghentikan kata-kata akaashi yang sedikit provokatif.

“Iya, bercanda kak. Jangan serius-serius amat.” akaashi cuek saja.

Setelah itu bokuto pamit pergi. Ia mengangguk ke akaashi, kemudian mengusap pundak kuroo lembut.

Kini keduanya, akaashi dan kuroo, tengah ada di pojok ruangan, dengan dua gelas minuman di depan mereka. Kuroo sendiri sebenarnya bingung bagaimana untuk memulai percakapan itu sepeniggalan bokuto. Suasana di antara jelas canggung.

“Akaashi,”

Kuroo memanggilnya dan orang itu kini menatap kuroo tepat di maniknya. Tatapannya masih sama, tenang namun mengintimidasi. Ia kemudian melihat akaashi mengangkat gelasnya, dan kuroo sudah berjaga-jaga akan disiram dengan minuman itu. Namun ia salah, akaashi ternyata hanya ingin meminumnya.

“Hmm, gimana ya ngomongnya..”

“Gue tau hubungan kita dari awal gak baik karena ada masalah gue sama bokuto dulu yang rumit banget. Gue yang telat sadar tentang rasa gue ke bokuto. Dan waktu gue sadar ternyata udah sedalem itu.”

Akaashi menyimak perkataan kuroo sambil menopangkan dagunya di tangannya. “Terus?”

“Jadi waktu dia jadian sama lo pas gue baru sadar perasaan gue sendiri, gue ngerasa ancur banget. Awalnya gue mau nyerah..”

”... tapi akhirnya rasa pengen nyerah gue kalah sama perasaan gue yang nyuruh untuk perjuangin bokuto. I can't let go of him easily.”

“Dan akhirnya lo ngerebut dia dari gue, gitu kan kak?” akaashi menyeringai tipis.

Kuroo dibuat bungkam. Entah mengapa ia sedikit tersinggung dengan perkataan orang itu, padahal kalau dipikir-pikir memang seperti itulah kondisinya.

“Bercanda, lanjut kak.”

Kuroo diam-diam menghela napas lega.

“Dari situ, gue mau minta maaf ke lo. It's okay kalo lo nganggep gue begitu, karena emang kenyataanya gue mau bokuto balik ke gue. Dan gue adalah alasan kenapa kalian putus.”

Akaashi terlihat terdiam mendengar permintaan maaf kuroo.

“Mending lo tarik balik permintaan maaf lo kak, jadi gue gak ngerasa ada tanggungan juga.”

“Karena gue sadar sebenernya lo gak sepenuhnya salah,” ucap akaashi.

“Maksudnya?”

“Jujur aja ya, gue tau kalo kak bo emang se suka itu sama lo. Keliatan kok dari cerita yang dia bilang ke gue dulu. Terus gue mikir, daripada dia , sorry to say, lo sakitin terus, mending dia sama orang lain yang bisa bikin dia bahagia.”

Kuroo ikut meminum minumannya, tenggorokannya terasa kering karena pembicaraan berat ini.

“Makanya pas itu gue sengaja ngomong ketus ke lo, biar lo tuh sadar dan mau ngelepasin kak bo.”

Ah, sialan. Kuroo jadi teringat saat itu.

Sorry, tapi gue kesel banget sama lo waktu itu.” ucap kuroo yang hanya dibalas tawa oleh akaashi.

“Waktu itu gue emang ada rasa sama kak bo, terus akhirnya gue confess dan minta dia jadi pacar gue. Dia kaya masih ragu gitu. Awalnya gue kira dia bakalan ditolak kan, tapi abis ketemu lo dan kak oik, dia dateng ke gue dan cerita tentang semuanya.”

So, i took the chance. Gue janjiin ke dia kalo gue bisa ngegantiin posisi lo buat dia dengan cara dia jadian sama gue. Dia setuju, tapi akhirnya itu gak berhasil.”

“Posisi lo gak bisa gue ganti, kak. It remains the same.”

Kuroo memainkan jarinya pelan di meja. Mengetuk-ngetuk sambil menyimak perkataan akaashi.

Ia merasa pembicaraan ini menguras tenaganya habis-habisan, namun ia tetap pertahankan dirinya.

“Maaf udah mainin perasaan kalian. Ya walaupun gue juga kena sih, agak sakit waktu kak bo pergi sama lo dan kak oik tapi gak bilang ke gue. Di situ gue udah males banget. Males karena kak bo kaya ngelanggar kemauannya sendiri yang mau ngelupain lo saat gue berusaha mati-matian bikin dia lupa.”

“Gimana bisa lupain kalo bareng terus,” kuroo menyahut.

“Iya makanya.”

Kuroo menganggukan kepalanya. Terdengar akaashi yang menarik napasnya dalam, dan menghembuskannya perlahan.

“Jadi gak usah minta maaf berkali-kali. Gue udah ngeikhlasin kak bo. Emang sih gue ada rasa sama dia, tapi ternyata rasa gue gak sedalem rasa lo kak.” Ucap akaashi sambil tersenyum tenang.

Bukan senyum mengejek yang pernah kuroo lihat. Bukan senyum menyindir juga.

“Jadi?” Kuroo bertanya sekali lagi, memastikan ke akaashi.

Akaashi terlihat berpikir, “Jadi apa ya..” kemudian melanjutkan perkataannya.

“Cukup jaga kak bokuto aja. Jangan sakitin dia lagi, karena kalo lo sakitin gue gak akan segan-segan buat ngambil dia lagi dari lo.”

“Jalanin hubungan kalian tanpa beban, gue gak akan ngehalangin lagi karena gue udah sadar porsi gue.”

Kuroo sebenarnya sedikit terkejut lantaran sikap akaashi yang seperti ini. Terasa berbeda dengan terakhir kali ia bertemu saat di sekretariat bersama.

“Kenapa lo beda banget sama waktu itu?” kuroo heran.

Akaashi terlihat menimang-nimang, “Orang bisa beda sifat waktu perjuangin sesuatu yang mereka inginkan, kan?”

“Iya juga sih. Tapi yang udah yaudah lah ya. Besok-besok gue harap kita gak usah ada masalah lagi. I don't wanna have hard feeling towards you, akaashi.”

Neither do I.

Are we clear now?” tanya akaashi. Kuroo menjawabnya dengan anggukan dan senyum tipis.

Kemudian akaashi membereskan barang-barangnya. “Oke kalo gitu gue mau cabut duluan ya kak, ada agenda lain.”

“Oke.”

Saat akaashi beranjak dari posisinya, kuroo memanggilnya sekali lagi dan membuat orang itu menoleh.

“Makasih ya.”

Kuroo tidak menyebutkan secara spesifik maksud dari ucapan terima kasih itu, namun keduanya paham. Ucapan terima kasih untuk semua yang telah mereka lalui.

Akaashi kemudian mengangguk.

Bills on me,” ucap akaashi. “Salam buat kak bo.”

Kemudian kuroo melihat akaashi keluar tempat itu, dibersamai oleh seorang laki-laki yang segera berjalan membersamai akaashi sambil bercengkrama. Punggung kedua orang itu kian mengecil, seiring dengan beban yang kuroo tanggung beberapa waktu yang lalu.


Sepulangnya dari Shelter, kuroo dan bokuto itu memutuskan untuk pulang ke tempat bokuto. Kuroo berencana untuk bermalam di rumah itu malam ini.

Sesaat setelah bercengkrama dengan keluarga bokuto, mereka langsung melesat ke kamar bokuto. Kuroo menjatuhkan badannya ke kasur ruangan itu dengan posisi telentang. Setelah seharian bergulat dengan pikirannya sendiri, tentang bagaimana ia berbicara dengan akaashi. Yang pada akhirnya itu semua berjalan lancar, akaashi tidak terlihat memiliki dendam padanya.

“Gila lega banget gue, bo. Kaya batu yang ada di dada gue diangkat.” kata kuroo.

Bokuto menutup pintu kemudian mendudukkan dirinya di samping kuroo.

“Masa?”

“Iya serius,” ucap kuroo. “By the way, tadi dapet salam akaashi sebelum dia balik duluan.”

Bokuto hanya bergumam. Kemudian keduanya dilanda keheningan. Yang terdengar di ruangan itu hanyalah mereka yang mengatur napas masing-masing. Kuroo masih dalam posisinya yang tidur telentang dan bokuto yang masih duduk di sampingnya.

“Tetsu...”

“Hmm?”

“Jadi kita sekarang gimana?”

Yang tadi sempat dipikirkan kuroo saat perjalanan pulang, akhirnya terjadi juga. Tentang bagaimana akhirnya bokuto menanyakan kepastian padanya.

Keduanya terdiam, melemparkan pandangan satu sama lain. Kemudian tertawa pelan dan berakhir dengan senyuman tipis di bibir keduanya.

“Jadian nih kita?” tanya bokuto.

“Oke.”

Oke?” bokuto menirukan jawaban kuroo. “Gue ngajak jadian dan jawabannya cuma 'oke'?”

“Ya terus mau gimana lagi coba?” kuroo memegangi perutnya sambil tertawa.

“Wah parah sih ini..”

Bokuto menghembuskan napasnya berat, sebenarnya lebih terkesan dibuat-buat. Kuroo yang melihatnya kemudian tersenyum geli. Membayangkan betapa lucunya bokuto merajuk padanya karena direspon seadanya.

“Iya iya...”

“Iya apa?”

“Iya kita jadian. Dan lo, bokuto koutarou, pacar gue sekarang.”

Bokuto menampilkan senyum lebar. Kebahagiaannya tidak terbendung malam itu. Setelah sekian purnama, akhirnya ia mendapatkan yang selama ini ia inginkan.

Laki-laki itu akhirnya bergabung dengan kuroo, tidur telentang di kasur besar itu. Ia merentangkan tangannya lebar, layaknya sebuah isyarat untuk kuroo untuk masuk dalam dekapnya. Kuroo secara otomatis seperti tertarik dalam rengkuhan itu. Bokuto mendekapnya.

So comfy..” bisik kuroo.

Hanya dijawab gumaman oleh bokuto, dan juga kecupan pelan di pucuk kepala laki-laki bersurai hitam itu.

Mereka begitu nyaman ada dalam posisi itu, hingga keduanya tak sadar ada suara ketukan pintu yang kemudian terbuka.

“Kou— Whoops!

Tanpa diduga, kakak perempuan bokuto menampilkan dirinya dan mengagetkan mereka berdua. Keduanya pun langsung membenahi posisi mereka, duduk tegak di kasur. Padahal kaori sudah tau bagaimana berjalannya hubungan di antara mereka, tapi tetap saja saat seperti ini membuat mereka canggung. Seperti tertangkap basah melakukan hal yang tidak-tidak.

“Aduh maaf malah ganggu,” ucap kaori.

“Halo kak,” ucap kuroo sambil tersenyum dan melambaikan tangannya pelan.

“Hai tetsun!” sapa perempuan itu.

Kemudian tatapan perempuan itu teralihkan ke bokuto. Kuroo pun akhirnya berpindah ke balkon kamar bokuto untuk memberikan ruang pada dua bersaudara itu.

“Sembarangan banget masuk?” bokuto jengkel.

“Dih galak banget.” sahut kaori. “Jadi kamu sekarang beneran sama tetsu? hahaha,”

Perempuan itu tertawa puas melihat adiknya yang salah tingkah, seperti menahan senyum dan malu secara bersamaan.

“Ya sejak kapan boongan?”

“Maksudnya sekarang udah officially dating kan? cieee.”

Bokuto hanya diam, namun dengan segera ia mengalihkan pembicaraan karena ia tidak mau digoda habis-habisan oleh kakaknya yang satu itu.

“Kenapa kok ke sini?”

“Orang cuma mau bilang dinner udah siap. Tetsu diajak ke bawah, jangan makan di kamar. Tadi waktu kamu bilang tetsu mau nginep, mama langsung masak makanan kesukaan dia.”

“Oke kak.”

Hati bokuto menghangat. Jujur ia tidak tahu kenapa, tapi ia merasa seperti mamanya sudah tahu dan memberikan lampu hijau kepadanya. Mamanya begitu perhatian pada kuroo. Dan itu yang membuat pikirannya sedikit tenang, walaupun ia tidak tahu kebenarannya.

Kemudian saat kaori akan keluar dari kamar itu, ia membalikkan badan lagi.

“Dek, besok lagi kamarnya dikunci.” perempuan itu menyeringai tipis.

“Iya astaga iyaaaa.” bokuto mendorong kakaknya pelan untuk keluar kamar itu. Kemudian menutup pintu dan bersandar. Ia mengedarkan pandangannya ke ruangan itu, dan tidak menemukan kuroo.

Ia melirik ke balkon dan melihat kuroo yang sedang melakukan sesuatu entah apapun itu. Ia mendekat kemudian menemukan kuroo yang melihat kolam ikan koi di bawah sana.

Kuroo, yang diam memandang ke halaman belakang rumah bokuto, tidak menyadari kedatangan laki-laki itu. Hingga ia merasakan sepasang tangan melingkar di pinggangnya, dan dagu yang bertumpu di bahunya.

“Ikannya lebih menarik ya?” tanya bokuto usil.

Namun orang itu tidak kunjung mendapat respons dari kuroo. Lantas ia pandang wajah orang itu.

“Eh tetsu, kenapa nangis?” bokuto panik.

“Diem, gue lagi merenung tadi.”

Kemudian ia membalikkan badan, menghadap bokuto. Bokuto pun mengunci pergerakan kuroo dengan meletakkan kedua tangannya di samping orang itu.

Bokuto masih penasaran, “Apa coba?”

“Gue tadi kepikiran waktu kemarin-kemarin. Buat kita sampe tahap ini emang prosesnya panjang banget ya. Waktunya lama juga, baru kerasa sekarang ini.”

Bokuto jadi sedikit geli karena menyadari bahwa kuroo ternyata sangat sentimental. Dan ia tidak keberatan akan hal itu.

“Iya,”

Good things take time, babe.” lanjut bokuto.

Kuroo mengangguk menyetujui. Bokuto kemudian merengkuh kuroo dan mengusap punggungnya pelan. Setelah itu, ia mengajak orang itu untuk makan malam bersama keluarganya.

Tiba di ruang makan semuanya sudah dipersiapkan dengan baik oleh mama dan kedua kakak bokuto.

“Maaf ma, tetsu malah ngerepotin gini..” ucap kuroo merasa tidak enak dengan mama bokuto.

“Alah kamu tuh kaya sama siapa aja. Mama kan seneng punya dua cowok ganteng di rumah ini.” mama bokuto tertawa pelan.

“Baik-baik ya kalian. Jangan berantem terus.”

Baik bokuto dan kuroo terkejut. Mama bokuto rupanya tahu tentang hubungan mereka. Ia menatap kakaknya, namun perempuan itu malah mengedikkan bahu tanda tidak tahu.

Tatapan bokuto pun berpindah ke kuroo, yang sama bingungnya dengan dirinya. Kemudian mereka saling melemparkan senyum tipis.

“Makasih ya ma.”

Malam itu mereka benar-benar merasa bahwa dunia berpihak pada keduanya. Ia berharap bahwa itu akan terus terjadi, hingga mereka tua nanti. . . . . . © caessonia