Nighty Night
Malam hari di kursi balkon pondokan laki-laki, Kuroo membenahkan posisinya berulang kali. Di depannya terpampang laptop dengan layar yang membuat kepalanya mulai terasa pening karena terlalu lama menghadap benda tersebut. Atau ia pening karena belum makan malam saja? Entahlah. Mungkin setelah ini Kuroo akan mampir ke dapur dan membuat mie instan untuk mengganjal perutnya, begitu pikirnya.
Kalau dikira-kira, Ia sudah berada di tempat itu selama kurang lebih enam jam. Kuroo sendiri juga tidak tahu pasti. Yang Ia tahu hanyalah fakta bahwa Ia ada di balkon dari matahari masih tampak hingga tenggelam menyisakan gelap.
Gelapnya langit pun tak membuatnya berhenti berkutat dengan gawai di depannya. Kini Ia tengah menatap layar yang menampilkan dokumen susunan acara untuk program kerjanya minggu depan. Tak lupa, agenda itu ditemani kopi favoritnya, satu gelas caramel macchiato.
Manik matanya terpaku pada minuman itu. Sejenak Ia teringat insiden kopi yang tumpah kemarin. Insiden kiriman kopi dari dua orang pun tak kalah juga melintasi isi pikirannya. Ia masih tak habis pikir, mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Sejujurnya kalau Bokuto sih, Kuroo tidak terlalu ambil pusing lagi karena memang orang itu akhir-akhir ini memberikan perhatian lebih ke Kuroo. Sejujurnya pada awalnya Ia menyangkal hal ini, bahkan Ia sempat beradu mulut terkait hal itu dengan Oikawa saat mereka pergi bersama. Namun, akhirnya Ia menyadari dan berakhir menerimanya. Menerima fakta bahwa Bokuto peduli padanya, dan hubungan Kuroo dengan mantan kekasihnya itu mulai membaik.
Well, itu bukan hal buruk. Toh Kuroo sudah sepenuhnya usai, bukan? Ia sudah terbiasa.
Seperti barusan saat Bokuto menanyakan perihal ia sudah makan atau belum. Sungguh Ia sudah biasa saja. Atau jadi kebiasaan? Ia tak tahu. Ia juga tak mempermasalahkan hal itu. Selagi tidak merugikannya, Kuroo tak mau ambil pusing.
Tapi lain lagi kalau perkara Miwa. Sebuah pertanyaan masih mendiami pikirannya, untuk apa Miwa seperti itu?
Maksud Kuroo, mereka hanya bertemu satu kali. Dua kali jika pertemuan mereka di kantor UPT dihitung. Lantas mengapa perempuan itu berani mengambil tindakan berisiko menimbulkan asumsi yang tidak-tidak? seperti saat ini.
Pada akhirnya Kuroo juga tak mau ambil pusing. Masih banyak hal yang lebih perlu dipikirkan daripada hal-hal seperti itu.
“Bengong aja?” Suara seseorang memecahkan lamunannya, diikuti dengan seseorang yang duduk di sampingnya.
“Anj–...” Kuroo kaget bukan main.
Orang di sebelahnya menahan tawa, “Pft– lo harus liat muka lo tadi, tetsu...”
“Anjir lah Bo, minimal aba-aba..”
Bokuto selaku pelaku malah tertawa dan menepuk kepala Kuroo pelan, kemudian meminta maaf dengan lembut. Mata Kuroo mengikuti pergerakan orang itu yang meletakkan dua kotak kotak makanan di atas meja depannya.
“Apaan tuh?” tanya Kuroo.
“Nasi buat lo. Gak baik tau makan mie instan terus,” ucapnya sambil mengisyaratkan Kuroo untuk mengambil makanan tersebut. “Gue gak nerima penolakan.” Lanjutnya. Namun Kuroo tak segera melakukannya, malah menatap Bokuto heran.
“Serius?”
“Iya, lagian gue belom makan juga abis dari lapangan tadi.” ucap Bokuto sambil mengambil kotak makanan itu.
“Lo tuh kan punya gerd, udah gitu suka nunda makan. Mana kopi mulu, ditambah mau mie instan juga. Kalau kambuh kan... puskesmas agak jauh.”
“Jelek omongannya.”
“Makanya ini dimakan..”
Kuroo diam. Rasa nyeri yang beberapa hari lalu menyerang dadanya, kini terasa lagi. Ia tidak tahu bagaimana mendefinisikan perasaan itu secara jelas, yang pasti Ia merasakannya. Nyeri seperti jantungnya diremas secara perlahan, dan menyisakan Ia yang sesak sendiri.
“Bawel banget sih. Udah kaya babysitter gue aja lo,” canda Kuroo. Bokuto hanya tersenyum tipis sambil mengangkat bahunya.
“Kok bisa dapet ini? bukannya udah pada tutup jam segini?”
“I have my way,” Bokuto tersenyum tipis sambil mengedipkan satu matanya. Kuroo menanggapinya dengan gelengan kepala pelan.
Keduanya menghabiskan kudapan itu dengan sesekali ngobrol. Saat selesai, Kuroo kembali berkutat dengan laptopnya. Bokuto pun turut mengeluarkan tabletnya.
“Gue ikutan di sini ya..” ucap Bokuto yang hanya dijawab gumaman oleh Kuroo.
Beberapa waktu berlalu. Jam tangan di pergelangan Kuroo menunjukkan pukul 22.45, namun ia sendiri belum ada niat untuk beranjak dari tempat itu. Ia masih sibuk menatap layar laptopnya dan memutar otak untuk mematangkan konsep program kerja yang akan Ia canangkan minggu depan.
“Bo, gak ngantuk?” Kuroo menolehkan kepalanya ke Bokuto, mendapati orang di sampingnya sedang fokus menghadap tabletnya.
“Hm? belum..”
Tak sengaja ia melihat wallpaper anjing di tablet Bokuto. Ah, itu pasti anjing kesayangannya itu, pikir Kuroo.
“Kenapa, Tetsu?”
“Gak apa sih. Kali aja lo ngantuk, duluan aja ke bawah. Gue nyusul ntar, atau gue tidur di kamar tamu atas kalo mager. Tolong bilangin Daichi ya.”
“Gampang, nanti aja.” Jawab Bokuto.
“Itu anjing kesayang lo itu ya? siapa namanya, Rocky?”
Bokuto tertawa, “It’s Rocco, actually.”
Kuroo pun ikut tertawa, “Rocky siapa njir, rocky gerung kali..” menertawakan dirinya sendiri.
“Umurnya berapa tuh?”
Bokuto terlihat berpikir sejenak, “Sekarang udah hampir empat bulan.”
“Udah lumayan ya.. Adopsi?”
Bokuto menggeleng. “Keturunannya Zoe.”
Sekelebat Kuroo teringat akan nama itu, “Zoe? kaya pernah denger…”
“Tetsu gak inget?” Tanya Bokuto, gelengan Kuroo menjawabnya.
“Zoe, anjing yang pernah gue adopt bareng lo.”
Ah sialan. Kuroo benar-benar lupa. Zoe, seekor golden retriever yang dulu Bokuto adopsi bersama Kuroo sewaktu SMA.
“Ohh… Sorry gue lupa banget, beneran.”
“Santai.” Bokuto tak ambil pusing. “Jadi ini keturunan Zoe. Zoe punya anak, namanya Molly. Nah rocco ini anaknya Molly..”
Kuroo mengangguk paham, “Cucunya Zoe dong?”
Bokuto ketawa, “Iya cucunya.”
“Terus Zoe sekarang di mana?”
“She died one year ago. Molly dibawa kakak gue ke apartnya. Jadi yang di rumah tinggal Rocco.”
“Sorry to hear that, Bo.”
“That’s fine.” Bokuto menampilkan senyum tipis, “It was a long time ago, afterall…_”
Besok kapan-kapan temuin gue sama Rocco ya?” Ucap Kuroo yang mendapat tatapan dan senyum sumringah antusias dari Bokuto.
“Okay.” Bokuto tersenyum dan menampilkan cekungan di kedua sisi pipinya.
Kuroo terpaku. Those dimples got Kuroo so weak. Baik dahulu, maupun sekarang, dan mungkin akan seterusnya.
Cekungan di kedua sisi pipi Bokuto itu memang menawan, namun apabila orang itu tersenyum lebih lebar, maka salah satunya benar-benar terlihat lebih dalam dan itu tak pernah gagal membuat Kuroo terkesima.
Layaknya sekarang, melihat Bokuto tersenyum seperti itu kepadanya bisa saja membuat tiga tahun pertahanannya runtuh. Jantungnya terpacu, berdetak dengan ritmik yang lebih cepat daripada sebelumnya. Pipinya memanas, seolah aliran darah bergerak menuju satu area dan membuat wajahnya merah merona.
Tak mau terang-terangan, ia segera mengalihkan pandangannya ke laptopnya lagi, meskipun bayangan Bokuto dengan lesung pipinya yang lucu itu memenuhi isi pikirannya.
Damn you, Bokuto.
Ia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri, juga jantungnya yang serasa diremas habis-habisan.
—
Pukul 00.15
Mereka berdua masih terduduk di kursi balkon pondokan. Untungnya, angin malam itu tak begitu dingin. Entah karena posisi balkonnya yang tak langsung terkena angin, atau memang karena cuaca yang tak begitu ekstrem, atau memang keberadaan orang di sampingnya yang menyamarkan dinginnya angin malam.
Setelah beberapa waktu, Kuroo tak mendengar pergerakan dari sampingnya. Awalnya ia berasumsi Bokuto sangatlah fokus pada pekerjaannya. Namun, perkiraannya sirna saat Kuroo menolehkan kepalanya dan mendapati Bokuto menunduk dengan mata terpejam. Orang itu terlelap dengan tablet masih menyala di tangannya.
Hati Kuroo terenyuh.
Tak lama kemudian, kepala Bokuto mendarat di pundaknya. Untuk sepersekian detik, Kuroo merasa jantungnya ingin lompat dari tempatnya. Namun ia tepis hal itu, mencoba mengontrol dirinya sendiri. Ia sudah biasa saja, kan? Ia teringat akan perkataannya sendiri.
Lantas ia pindahkan tablet di tangan Bokuto ke meja di depannya. Kemudian Ia mendekatkan badannya sendiri ke Bokuto, membenarkan posisi kepala orang itu di pundaknya. Surai abu-kehitaman yang lemas terjatuh di sweater hitam Kuroo.
“Dasar…”
Bokuto bergerak, menyamankan diri di pundak Kuroo. Wajah tidurnya terlihat damai. Tanpa disadari, Kuroo menyunggingkan senyum tipis. Ada bagian dari diri Kuroo yang melembut ketika melihat Bokuto seperti itu.
Beberapa waktu berlalu. Kini jam di laptop Kuroo menunjukkan pukul 01.25. Ia lihat orang yang bersandar padanya, masih terlelap dalam tidurnya. Malah, ia sudah melingkarkan tangannya di lengan Kuroo.
Kuroo sebenarnya masih bisa bertahan untuk beberapa jam ke depan, karena pada dasarnya ia sendiri sering terjaga di malam hari. Namun, untuk saat ini ia urungkan niatnya.
Melihat Bokuto tidur dengan posisi ini membuatnya bimbang antara dua hal. Pertama, ia masih ingin bertahan di posisi itu. Namun jika ia bertahan, maka bisa saja membuat badan mereka berdua sakit di keesokan harinya. Ia tidak sampai hati. Lantas ia tepuk pelan pergelangan tangan Bokuto, berusaha membangunkannya.
“Bo… bangun…” Ucapnya pelan. Tak ada respons dari yang bersangkutan. Kuroo kemudian mengulurkan lengannya, menepuk pipi Bokuto perlahan. Laki-laki di sampingnya tergerak perlahan terbangun dari tidurnya.
“Mau pindah ke dalem? udah hampir setengah dua.” tanyanya.
“Hng..” Bokuto mengerjapkan matanya pelan, “Mau sama Tetsu dulu…”
Kemudian setelah itu, Bokuto memejamkan matanya lagi. Mengeratkan pelukannya di lengan Kuroo.
Ah, perasaan itu muncul lagi. Jantungnya serasa dikoyak dan diremas begitu saja. Melihat sisi Bokuto yang seperti ini membuat dirinya terbawa ke masa lalu itu, di mana ia merasa jadi satu-satunya ‘rumah’ bagi Bokuto untuk bersinggah. Di mana Bokuto sering bermanja padanya saat mereka hanya berdua. Di mana dunia serasa hanya dihuni Ia dan Bokuto.
Akhirnya tanpa pikir panjang, Kuroo mengalungkan lengan Bokuto ke pundaknya dan mengangkatnya perlahan.
“Kita masuk ke dalem aja ya, nanti badan lo sakit…”
Tapi karena mereka sedang di lantai dua dan badan Bokuto lebih berat daripada Kuroo, maka Ia ubah rencana yang tadinya membawa Bokuto ke ruang tidur di bawah bersama yang lain, menjadi ke sebuah ruangan di lantai yang sama.
Untungnya saja di pondokan ini tersedia satu kamar tamu di lantai dua yang tidak digunakan. Kuroo putuskan untuk membawa Bokuto ke ruangan itu.
Setibanya di sana, Kuroo menidurkan Bokuto di atas ranjang dengan pelan. Ia benarkan posisi bantal Bokuto, dan menyelimutinya dengan hati-hati. Saat hendak pergi, ada tangan yang menahan pergelangannya.
Bokuto terbangun.
“Stay here with me...”
Kuroo menoleh dan menemukan Bokuto terduduk dengan ekspresi yang sulit ia artikan. Alis Kuroo menukik heran, mulutnya terbuka hendak menolak permintaan konyol Bokuto. Sebelum lelaki bersurai abu kehitaman itu mengatakan hal berikutnya, yang membuat Kuroo bungkam sesaat.
“Please?”
Pertahanan Kuroo perlahan runtuh. Ia hela napasnya pelan, kemudian mengangguk.
“I’ll be right back, okay?” ucapnya, “Mau ke toilet dulu sama beberes yang tadi.”
Laki-laki yang terduduk itu bergumam.
Sekembalinya Kuroo dari toilet, Ia menjumpai Bokuto yang terduduk memainkan ponselnya. Ia rebahkan badannya di samping Bokuto yang bersandar pada headboard.
“Kirain udah tidur duluan..”
Bokuto hanya menggeleng, “Nungguin lo..”
“Ngapain nungguin..”
Itu bukanlah pertanyaan, melainkan sebuah retorika yang ia tujukan pada orang di sampingnya. Alih-alih menjawabnya, Bokuto hanya mengamati gerak-geriknya.
“Udah sikat gigi?” Tanya Kuroo, memastikan bahwa pemuda di sampingnya tidak melupakan rutinitas sebelum tidur.
“Udah tadi pas ke toilet,” ucap Bokuto yang dijawab anggukan Kuroo.
“Dah ayo tidur. Muka lo udah ga kuat banget itu kayanya.” Gurau Kuroo.
Bokuto kemudian meletakkan ponselnya, dan ikut menyamankan diri di samping Kuroo.
“Good night, Tetsu.”
“Iya.”
“Iya doang?”
“Udah jangan bawel. Cepet tidur, gue ngantuk.” Ucap Kuroo sambil mematikan lampu utama dan menghidupkan lampu tidur di nakas samping ranjang.
Sesaat setelah mengucapkan itu, Ia intip Bokuto dari sudut matanya. Yang dilirik pun masih belum juga terlelap dalam tidurnya.
“Nighty night, Bo.”
—
Pukul 03.35
Kuroo terbangun dari tidurnya. Ia berjalan menuju toilet untuk sekedar buang air kecil yang menginterupsi bunga tidurnya. Kemudian ia kembali ke ranjang dan menyamankan dirinya.
Yang tak Ia sadari adalah, badannya mendekat dan menghadap ke arah bokuto yang telentang. Lengan Bokuto ia jadikan bantal dadakan. Tangannya sendiri Ia telungkupkan, mengisi jarak antara Ia dan laki-laki yang tengah tertidur pulas.
Tak Ia sadari juga bahwa wajahnya kini telah tenggelam dalam ceruk leher orang di sampingnya. Aroma Bokuto yang membekas di kepalanya menyeruak masuk ke indra penciumannya. Jangan lupakan Bokuto yang menyamankan posisi mereka dengan menempelkan pipinya di puncak kepala Kuroo.
Dalam kesadarannya yang semu itu, Kuroo menyamankan dirinya. Ia merasa hangat dan aman.
Dalam kesadaran yang semu itu, Bokuto nyata terasa seperti rumah.
Malam tak pernah sehangat dan sedamai itu, tidak selama tiga tahun terakhir ini.
. . . . .
© caessonia