Salvatore


Setelah bokuto membuat janji dengan akaashi, keduanya akhirnya akan bertemu dengan orang itu. Awalnya bokuto juga akan ikut menemani kuroo. Namun bokuto tiba-tiba ada panggilan mendadak dari klub volinya yang mengharuskan ia datang ke gedung fakultasnya saat itu juga.

Akhirnya, kuroo diantarkan ke Shelter untuk bertemu dengan akaashi. Bokuto menyapa akaashi singkat, dan berkata bahwa ia tidak bisa ikut bergabung di sana untuk saat itu. Tadinya bokuto tidak mau datang ke gedung fakultasnya, tapi kuroo meyakinkan kalau ia akan baik-baik saja dan itu semua akan berjalan dengan lancar.

“Gede juga nyali lo kak,” kata akaashi pada kuroo. “Dateng ke sini bawa mantan pacar gue.”

“Akaashi..” bokuto segera menyahut. Menghentikan kata-kata akaashi yang sedikit provokatif.

“Iya, bercanda kak. Jangan serius-serius amat.” akaashi cuek saja.

Setelah itu bokuto pamit pergi. Ia mengangguk ke akaashi, kemudian mengusap pundak kuroo lembut.

Kini keduanya, akaashi dan kuroo, tengah ada di pojok ruangan, dengan dua gelas minuman di depan mereka. Kuroo sendiri sebenarnya bingung bagaimana untuk memulai percakapan itu sepeniggalan bokuto. Suasana di antara jelas canggung.

“Akaashi,”

Kuroo memanggilnya dan orang itu kini menatap kuroo tepat di maniknya. Tatapannya masih sama, tenang namun mengintimidasi. Ia kemudian melihat akaashi mengangkat gelasnya, dan kuroo sudah berjaga-jaga akan disiram dengan minuman itu. Namun ia salah, akaashi ternyata hanya ingin meminumnya.

“Hmm, gimana ya ngomongnya..”

“Gue tau hubungan kita dari awal gak baik karena ada masalah gue sama bokuto dulu yang rumit banget. Gue yang telat sadar tentang rasa gue ke bokuto. Dan waktu gue sadar ternyata udah sedalem itu.”

Akaashi menyimak perkataan kuroo sambil menopangkan dagunya di tangannya. “Terus?”

“Jadi waktu dia jadian sama lo pas gue baru sadar perasaan gue sendiri, gue ngerasa ancur banget. Awalnya gue mau nyerah..”

”... tapi akhirnya rasa pengen nyerah gue kalah sama perasaan gue yang nyuruh untuk perjuangin bokuto. I can't let go of him easily.”

“Dan akhirnya lo ngerebut dia dari gue, gitu kan kak?” akaashi menyeringai tipis.

Kuroo dibuat bungkam. Entah mengapa ia sedikit tersinggung dengan perkataan orang itu, padahal kalau dipikir-pikir memang seperti itulah kondisinya.

“Bercanda, lanjut kak.”

Kuroo diam-diam menghela napas lega.

“Dari situ, gue mau minta maaf ke lo. It's okay kalo lo nganggep gue begitu, karena emang kenyataanya gue mau bokuto balik ke gue. Dan gue adalah alasan kenapa kalian putus.”

Akaashi terlihat terdiam mendengar permintaan maaf kuroo.

“Mending lo tarik balik permintaan maaf lo kak, jadi gue gak ngerasa ada tanggungan juga.”

“Karena gue sadar sebenernya lo gak sepenuhnya salah,” ucap akaashi.

“Maksudnya?”

“Jujur aja ya, gue tau kalo kak bo emang se suka itu sama lo. Keliatan kok dari cerita yang dia bilang ke gue dulu. Terus gue mikir, daripada dia , sorry to say, lo sakitin terus, mending dia sama orang lain yang bisa bikin dia bahagia.”

Kuroo ikut meminum minumannya, tenggorokannya terasa kering karena pembicaraan berat ini.

“Makanya pas itu gue sengaja ngomong ketus ke lo, biar lo tuh sadar dan mau ngelepasin kak bo.”

Ah, sialan. Kuroo jadi teringat saat itu.

Sorry, tapi gue kesel banget sama lo waktu itu.” ucap kuroo yang hanya dibalas tawa oleh akaashi.

“Waktu itu gue emang ada rasa sama kak bo, terus akhirnya gue confess dan minta dia jadi pacar gue. Dia kaya masih ragu gitu. Awalnya gue kira dia bakalan ditolak kan, tapi abis ketemu lo dan kak oik, dia dateng ke gue dan cerita tentang semuanya.”

So, i took the chance. Gue janjiin ke dia kalo gue bisa ngegantiin posisi lo buat dia dengan cara dia jadian sama gue. Dia setuju, tapi akhirnya itu gak berhasil.”

“Posisi lo gak bisa gue ganti, kak. It remains the same.”

Kuroo memainkan jarinya pelan di meja. Mengetuk-ngetuk sambil menyimak perkataan akaashi.

Ia merasa pembicaraan ini menguras tenaganya habis-habisan, namun ia tetap pertahankan dirinya.

“Maaf udah mainin perasaan kalian. Ya walaupun gue juga kena sih, agak sakit waktu kak bo pergi sama lo dan kak oik tapi gak bilang ke gue. Di situ gue udah males banget. Males karena kak bo kaya ngelanggar kemauannya sendiri yang mau ngelupain lo saat gue berusaha mati-matian bikin dia lupa.”

“Gimana bisa lupain kalo bareng terus,” kuroo menyahut.

“Iya makanya.”

Kuroo menganggukan kepalanya. Terdengar akaashi yang menarik napasnya dalam, dan menghembuskannya perlahan.

“Jadi gak usah minta maaf berkali-kali. Gue udah ngeikhlasin kak bo. Emang sih gue ada rasa sama dia, tapi ternyata rasa gue gak sedalem rasa lo kak.” Ucap akaashi sambil tersenyum tenang.

Bukan senyum mengejek yang pernah kuroo lihat. Bukan senyum menyindir juga.

“Jadi?” Kuroo bertanya sekali lagi, memastikan ke akaashi.

Akaashi terlihat berpikir, “Jadi apa ya..” kemudian melanjutkan perkataannya.

“Cukup jaga kak bokuto aja. Jangan sakitin dia lagi, karena kalo lo sakitin gue gak akan segan-segan buat ngambil dia lagi dari lo.”

“Jalanin hubungan kalian tanpa beban, gue gak akan ngehalangin lagi karena gue udah sadar porsi gue.”

Kuroo sebenarnya sedikit terkejut lantaran sikap akaashi yang seperti ini. Terasa berbeda dengan terakhir kali ia bertemu saat di sekretariat bersama.

“Kenapa lo beda banget sama waktu itu?” kuroo heran.

Akaashi terlihat menimang-nimang, “Orang bisa beda sifat waktu perjuangin sesuatu yang mereka inginkan, kan?”

“Iya juga sih. Tapi yang udah yaudah lah ya. Besok-besok gue harap kita gak usah ada masalah lagi. I don't wanna have hard feeling towards you, akaashi.”

Neither do I.

Are we clear now?” tanya akaashi. Kuroo menjawabnya dengan anggukan dan senyum tipis.

Kemudian akaashi membereskan barang-barangnya. “Oke kalo gitu gue mau cabut duluan ya kak, ada agenda lain.”

“Oke.”

Saat akaashi beranjak dari posisinya, kuroo memanggilnya sekali lagi dan membuat orang itu menoleh.

“Makasih ya.”

Kuroo tidak menyebutkan secara spesifik maksud dari ucapan terima kasih itu, namun keduanya paham. Ucapan terima kasih untuk semua yang telah mereka lalui.

Akaashi kemudian mengangguk.

Bills on me,” ucap akaashi. “Salam buat kak bo.”

Kemudian kuroo melihat akaashi keluar tempat itu, dibersamai oleh seorang laki-laki yang segera berjalan membersamai akaashi sambil bercengkrama. Punggung kedua orang itu kian mengecil, seiring dengan beban yang kuroo tanggung beberapa waktu yang lalu.


Sepulangnya dari Shelter, kuroo dan bokuto itu memutuskan untuk pulang ke tempat bokuto. Kuroo berencana untuk bermalam di rumah itu malam ini.

Sesaat setelah bercengkrama dengan keluarga bokuto, mereka langsung melesat ke kamar bokuto. Kuroo menjatuhkan badannya ke kasur ruangan itu dengan posisi telentang. Setelah seharian bergulat dengan pikirannya sendiri, tentang bagaimana ia berbicara dengan akaashi. Yang pada akhirnya itu semua berjalan lancar, akaashi tidak terlihat memiliki dendam padanya.

“Gila lega banget gue, bo. Kaya batu yang ada di dada gue diangkat.” kata kuroo.

Bokuto menutup pintu kemudian mendudukkan dirinya di samping kuroo.

“Masa?”

“Iya serius,” ucap kuroo. “By the way, tadi dapet salam akaashi sebelum dia balik duluan.”

Bokuto hanya bergumam. Kemudian keduanya dilanda keheningan. Yang terdengar di ruangan itu hanyalah mereka yang mengatur napas masing-masing. Kuroo masih dalam posisinya yang tidur telentang dan bokuto yang masih duduk di sampingnya.

“Tetsu...”

“Hmm?”

“Jadi kita sekarang gimana?”

Yang tadi sempat dipikirkan kuroo saat perjalanan pulang, akhirnya terjadi juga. Tentang bagaimana akhirnya bokuto menanyakan kepastian padanya.

Keduanya terdiam, melemparkan pandangan satu sama lain. Kemudian tertawa pelan dan berakhir dengan senyuman tipis di bibir keduanya.

“Jadian nih kita?” tanya bokuto.

“Oke.”

Oke?” bokuto menirukan jawaban kuroo. “Gue ngajak jadian dan jawabannya cuma 'oke'?”

“Ya terus mau gimana lagi coba?” kuroo memegangi perutnya sambil tertawa.

“Wah parah sih ini..”

Bokuto menghembuskan napasnya berat, sebenarnya lebih terkesan dibuat-buat. Kuroo yang melihatnya kemudian tersenyum geli. Membayangkan betapa lucunya bokuto merajuk padanya karena direspon seadanya.

“Iya iya...”

“Iya apa?”

“Iya kita jadian. Dan lo, bokuto koutarou, pacar gue sekarang.”

Bokuto menampilkan senyum lebar. Kebahagiaannya tidak terbendung malam itu. Setelah sekian purnama, akhirnya ia mendapatkan yang selama ini ia inginkan.

Laki-laki itu akhirnya bergabung dengan kuroo, tidur telentang di kasur besar itu. Ia merentangkan tangannya lebar, layaknya sebuah isyarat untuk kuroo untuk masuk dalam dekapnya. Kuroo secara otomatis seperti tertarik dalam rengkuhan itu. Bokuto mendekapnya.

So comfy..” bisik kuroo.

Hanya dijawab gumaman oleh bokuto, dan juga kecupan pelan di pucuk kepala laki-laki bersurai hitam itu.

Mereka begitu nyaman ada dalam posisi itu, hingga keduanya tak sadar ada suara ketukan pintu yang kemudian terbuka.

“Kou— Whoops!

Tanpa diduga, kakak perempuan bokuto menampilkan dirinya dan mengagetkan mereka berdua. Keduanya pun langsung membenahi posisi mereka, duduk tegak di kasur. Padahal kaori sudah tau bagaimana berjalannya hubungan di antara mereka, tapi tetap saja saat seperti ini membuat mereka canggung. Seperti tertangkap basah melakukan hal yang tidak-tidak.

“Aduh maaf malah ganggu,” ucap kaori.

“Halo kak,” ucap kuroo sambil tersenyum dan melambaikan tangannya pelan.

“Hai tetsun!” sapa perempuan itu.

Kemudian tatapan perempuan itu teralihkan ke bokuto. Kuroo pun akhirnya berpindah ke balkon kamar bokuto untuk memberikan ruang pada dua bersaudara itu.

“Sembarangan banget masuk?” bokuto jengkel.

“Dih galak banget.” sahut kaori. “Jadi kamu sekarang beneran sama tetsu? hahaha,”

Perempuan itu tertawa puas melihat adiknya yang salah tingkah, seperti menahan senyum dan malu secara bersamaan.

“Ya sejak kapan boongan?”

“Maksudnya sekarang udah officially dating kan? cieee.”

Bokuto hanya diam, namun dengan segera ia mengalihkan pembicaraan karena ia tidak mau digoda habis-habisan oleh kakaknya yang satu itu.

“Kenapa kok ke sini?”

“Orang cuma mau bilang dinner udah siap. Tetsu diajak ke bawah, jangan makan di kamar. Tadi waktu kamu bilang tetsu mau nginep, mama langsung masak makanan kesukaan dia.”

“Oke kak.”

Hati bokuto menghangat. Jujur ia tidak tahu kenapa, tapi ia merasa seperti mamanya sudah tahu dan memberikan lampu hijau kepadanya. Mamanya begitu perhatian pada kuroo. Dan itu yang membuat pikirannya sedikit tenang, walaupun ia tidak tahu kebenarannya.

Kemudian saat kaori akan keluar dari kamar itu, ia membalikkan badan lagi.

“Dek, besok lagi kamarnya dikunci.” perempuan itu menyeringai tipis.

“Iya astaga iyaaaa.” bokuto mendorong kakaknya pelan untuk keluar kamar itu. Kemudian menutup pintu dan bersandar. Ia mengedarkan pandangannya ke ruangan itu, dan tidak menemukan kuroo.

Ia melirik ke balkon dan melihat kuroo yang sedang melakukan sesuatu entah apapun itu. Ia mendekat kemudian menemukan kuroo yang melihat kolam ikan koi di bawah sana.

Kuroo, yang diam memandang ke halaman belakang rumah bokuto, tidak menyadari kedatangan laki-laki itu. Hingga ia merasakan sepasang tangan melingkar di pinggangnya, dan dagu yang bertumpu di bahunya.

“Ikannya lebih menarik ya?” tanya bokuto usil.

Namun orang itu tidak kunjung mendapat respons dari kuroo. Lantas ia pandang wajah orang itu.

“Eh tetsu, kenapa nangis?” bokuto panik.

“Diem, gue lagi merenung tadi.”

Kemudian ia membalikkan badan, menghadap bokuto. Bokuto pun mengunci pergerakan kuroo dengan meletakkan kedua tangannya di samping orang itu.

Bokuto masih penasaran, “Apa coba?”

“Gue tadi kepikiran waktu kemarin-kemarin. Buat kita sampe tahap ini emang prosesnya panjang banget ya. Waktunya lama juga, baru kerasa sekarang ini.”

Bokuto jadi sedikit geli karena menyadari bahwa kuroo ternyata sangat sentimental. Dan ia tidak keberatan akan hal itu.

“Iya,”

Good things take time, babe.” lanjut bokuto.

Kuroo mengangguk menyetujui. Bokuto kemudian merengkuh kuroo dan mengusap punggungnya pelan. Setelah itu, ia mengajak orang itu untuk makan malam bersama keluarganya.

Tiba di ruang makan semuanya sudah dipersiapkan dengan baik oleh mama dan kedua kakak bokuto.

“Maaf ma, tetsu malah ngerepotin gini..” ucap kuroo merasa tidak enak dengan mama bokuto.

“Alah kamu tuh kaya sama siapa aja. Mama kan seneng punya dua cowok ganteng di rumah ini.” mama bokuto tertawa pelan.

“Baik-baik ya kalian. Jangan berantem terus.”

Baik bokuto dan kuroo terkejut. Mama bokuto rupanya tahu tentang hubungan mereka. Ia menatap kakaknya, namun perempuan itu malah mengedikkan bahu tanda tidak tahu.

Tatapan bokuto pun berpindah ke kuroo, yang sama bingungnya dengan dirinya. Kemudian mereka saling melemparkan senyum tipis.

“Makasih ya ma.”

Malam itu mereka benar-benar merasa bahwa dunia berpihak pada keduanya. Ia berharap bahwa itu akan terus terjadi, hingga mereka tua nanti. . . . . . © caessonia