Tentang Rindu
Malam itu, usai penyerahan hadiah bersama warga dan evaluasi satu tim, Kuroo merasa separuh bebannya hilang seketika. Agaknya Ia merasa lega karena program kerja mandirinya sudah tuntas semuanya. Pikirannya sedari kemarin cukup penuh karena adanya program mandiri dan program gabungan. Untungnya, program bubble art kemarin lah proker mandiri Kuroo yang terakhir.
Beberapa temannya juga sudah ada yang menuntaskan program kerja mandiri mereka. Yang tersisa hanya program kerja gabungan. Kuroo pikir, itu tidak terlalu berat karena akan dikerjakan bersama.
Tuntasnya pekerjaan Kuroo pun tak lepas dari peran berbagai pihak. Oleh karena itu, pada evaluasi kali ini Kuroo menyampaikan terima kasih pada teman-teman satu timnya. Dan itu tentu tak lepas dari peran Bokuto.
Ah, Bokuto.
Kuroo pikir, Ia harus berterima kasih pada Bokuto secara personal. Ditambah sepulang dari acara sebelumnya, Ia menyadari sesuatu yang bisa memutar balikkan dunianya. Ia ingin memastikan sesuatu, yang Ia asumsikan sebelumnya. Memastikan apakah dia ‘jatuh ke lubang yang sama’ seperti spekulasinya. Dan tentang perasaannya yang mengganggu pikirannya.
Oleh karena itu, sepulang dari tempat acara, Kuroo meminta Bokuto untuk menemuinya.
‘Bo plis ke balkon, there’s something I need to tell you.’
Begitu lah isi pesannya. Bokuto pun tanpa ragu langsung membalas pesan Kuroo, menuju ke tempat yang dimaksud.
“Hai…” ucap Kuroo saat Bokuto datang.
Bokuto membalas sapaan Kuroo dengan senyum tipis. Alisnya terangkat lucu. Lelaki bersurai kelabu-hitam itu kemudian mendudukkan dirinya di samping Kuroo, membuat udara di sekitarnya menghangat.
“Kenapa tetsu? katanya mau ngomong sesuatu…”
“Gue kesel sama lo.”
“Eh? kenapa?” Bokuto panik bukan main. Tentu bukanlah itu yang Ia harapkan saat menjajaki anak tangga ke lantai atas.
“Tapi bohong..” lanjut Kuroo sambil nyengir.
“Yang bener gimana tetsuu? bingung…”
Kuroo hanya tertawa pelan dan menatap Bokuto dengan tatapan lamat. Manik mata kecoklatannya itu menatap mata keemasan dengan lekat dan intens, namun terasa lembut dan penuh kasih sayang. Bibir ranumnya menyunggingkan senyum secara perlahan.
Keduanya terdiam selama beberapa detik, hingga Bokuto membuka suara secara lirih.
“Don’t look at me like that, Tetsu.”
“Like what?” bisik Kuroo.
Bokuto tidak menjawab, nafasnya sedikit tercekat. Ia menggeleng pelan sambil mengembalikan senyum pada Kuroo.
“Thanks, Bo.”
“Buat apa?”
“Buat semuanya. Lo udah banyak bantu gue dan selalu ada…” ucap Kuroo, yang sukses menarik seluruh perhatian Bokuto.
“Tanpa sadar selama gue susah gue selalu lari ke lo. Makasih udah mau gue repotin, nawarin bantuan, bahkan mastiin kalo gue udah makan biar gak tumbang.” Ucap Kuroo.
“Kocak juga kalo diinget-inget… udah gede gini masih suka lupa makan.” lanjutnya.
“Anytime, Tetsu. Gue gak ngerasa direpotin kok, santai.”
“Masa sih?”
“Iyaaa, Tetsu mah trust issue terus.”
Tawa Kuroo meledak. Bokuto juga ikut tertawa kali ini.
“Tell you what, I'm just glad that you’re here… with me.”
Selepas Kuroo mengatakan itu, mata Bokuto sedikit melebar terkejut. Sepersekian detik setelahnya, tatapan terkejut itu berubah menjadi tatapan hangat. Dengan tatapan itu, Bokuto mendekat ke badan Kuroo. Ia rengkuh orang di depannya, membawanya ke sebuah pelukan erat.
“Please, let me…” ucap Bokuto yang dijawab anggukan oleh Kuroo.
Dan Kuroo tidak melepaskannya, Ia tidak mau. Tidak, saat badan yang ia rindukan itu kini merengkuhnya sayang. Tidak, saat mereka melakukan ini secara sadar.
Pelukan ini berbeda dengan pelukan yang mereka lakukan saat tidur. Pelukan hangat itu bukan hanya balasan perkataan Kuroo, namun juga sebuah ungkapan rasa syukur. Sejenak Kuroo menahan nafasnya. Ia sembunyikan wajahnya di ceruk leher Bokuto, menghirup wangi yang lama Ia rindukan. Bokuto pun melakukan hal yang sama. Beberapa saat setelah itu, mereka menarik diri masing-masing dengan pelan. Dengan jarak wajah yang kurang dari 10 sentimeter itu, Bokuto memandang wajah Kuroo lembut. Secara spontan, Bokuto memajukan wajahnya, menyentuh kening Kuroo dengan bibirnya. Pelan, lembut, dan hangat.
Dibalik kelembutan dan kehangatan itu, ada jantung Kuroo yang terpacu dan menderu. Meskipun matanya terpejam erat, Kuroo masih merasakan perutnya yang seperti dihinggapi seribu kupu-kupu.
Bokuto Koutarou, mantan kekasihnya itu, mencium keningnya sayang. Kuroo pun tak menarik diri, karena jauh di dalam lubuk hatinya, Ia sungguh tak keberatan.
Tak berhenti di situ, Bokuto kemudian menyusuri wajah Kuroo dengan ibu jarinya. Laki-laki itu mengusap pipinya dengan pelan.
“I told you that red looks cute on your cheeks... kaya gini.” Ucap Bokuto.
Kuroo tak menjawab, matanya masih terpaku pada wajah Bokuto. Dirinya masih nyaman berdiam diri dengan posisi seperti itu.
Lantas Bokuto kecup pipi kanan dan kiri Kuroo yang memerah secara bergantian. Itu membuat Kuroo tergugah, seakan menghantarkan impuls di badan Kuroo dua kali lebih cepat. Namun, sekali lagi, Kuroo tidak menolak. Ia tidak keberatan sama sekali.
Persetan dengan dinginnya angin malam. Hangat yang dirasakan Kuroo sekarang sudah lebih dari cukup. Hangat yang Ia dapatkan saat tangan Bokuto yang menyentuhnya, dan nafas yang menyapu wajahnya. Hangat dari bibir Bokuto yang mengecup pipinya berulang. Juga hangat yang ditimbulkan saat manik Bokuto menatap tepat di bibir ranumnya.
Sejenak pikiran dan kesadaran Kuroo menguap entah ke mana. Hingga ia setengah tersadar bahwa Bokuto mendekatkan wajahnya, menargetkan sesuatu yang mulanya dikunci oleh mata keemasan itu. Di titik di mana Bokuto berbisik, di situ lah Kuroo mendapatkan kembali setengah sisa kesadarannya.
“Pull away if this doesn’t feel right…”
Kuroo mengangguk. Dengan lampu hijau itu, Bokuto mendekat. Hendaknya ia temukan bibirnya dan bibir Kuroo yang sedari tadi memporak porandakan isi kepala dan hatinya.
Jantung Kuroo serasa dipacu habis-habisan, seperti akan meledak saat itu juga. Layaknya ada badai kecil yang terjadi di dalam dadanya. Gaduh, berisik, meminta dibebaskan.
Sedikit lagi hingga bibir keduanya bertemu, sebelum ponsel Kuroo berdering dan menampilkan nama Daichi di layar. Tak lupa beberapa pesan berentet yang menyuruh keduanya pulang. Hal itu sukses menarik perhatian keduanya.
Sial, batin keduanya.
Mereka kemudian menarik diri masing-masing. Setelahnya mereka tertawa pelan dan saling melemparkan senyum simpul.
“Next time?”
“Next time.”
Canda mereka sambil tertawa pelan. Tak ada kecanggungan, yang ada hanya rasa rindu yang perlahan tersampaikan.
Dan satu hal yang pasti, Kuroo yakin bahwa Ia memang jatuh ke lubang yang sama.
© caessonia