The Untold Truth


Malam itu, Bokuto dan Kuroo merasa waktu diputar balik. Kembali ke waktu di mana hanya ada mereka. Setelah Kuroo memberikan lampu hijau pada Bokuto, orang bersurai kelabu itu malah tidak kunjung memulai apa yang telah ia maksud sebelumnya. Kuroo sendiri juga tidak ingin menuntut, jadi ia membiarkan kendali pembicaraan itu sepenuhnya dipegang oleh Bokuto. Kuroo hanya menunggu orang itu membuka pembicaraan.

“Kabar lo gimana selama ini?” ucap Bokuto basa-basi.

Never been better.”

Bokuto mengangguk-angguk paham. “Same here.”

Kemudian keheningan melanda keduanya lagi. Kuroo menggigit bagian dalam bibirnya. Ia ingin mengambil ponselnya, kemudian menelpon Oikawa untuk menjemputnya saat itu juga dan membawanya kabur dari Bokuto. Karena situasi ini benar-benar membuatnya greget setengah mati. Ia ingin semuanya cepat dimulai, agar cepat selesai. Tapi Bokuto malah terlihat seperti mengulur waktu.

“Keluarga sehat? Ayah gimana, masih suka main ping-pong? Kakek nenek?” tanya Bokuto.

Shit...

“Sehat kok. Ayah masih suka main. Kakek udah engga ada waktu semester tiga, jadi sekarang nenek sendirian.”

I'm so sorry.

Bokuto kemudian menatap Kuroo di mata. Air wajahnya berubah. Kuroo melihat gelagat Bokuto, namun orang itu malah tersenyum tipis. “That's okay, udah lama juga.”

He was a good man.” ucap Bokuto. Kuroo menganggukkan kepalanya, menyetujui perkataan Bokuto.

“Kalo lo gimana, keluarga sehat?”

“Puji Tuhan, sehat semua.” Bokuto tersenyum.

“Kakak pertama gue udah punya anak. I'm an uncle now.” Orang itu melanjutkan perkataannya sembari tersenyum lebar.

Melihat senyum itu, Kuroo mau tak mau juga ikut tersenyum. Kakak pertama Bokuto sudah memiliki anak. Padahal terakhir kali ia bertemu dengannya saat itu, perempuan itu masih berstatus pacaran dengan kekasihnya. Ah, memang sudah lama ternyata.

“Gue turut seneng.” ucap Kuroo, “Mama gimana?”

“Sehat kok.”

Kuroo menghela napas lega. Namun perkataan Bokuto setelah itu seperti membuat jantungnya terserang.

“Mama masih suka nanyain lo.”

Kuroo mengigit bagian dalam bibirnya lagi. “Lo gak bilang?”

“Udah gue bilang kok, tapi dia gak percaya kalo kita udahan.”

Kuroo kini benar-benar bingung harus membalas apa. Ini semua menyiksanya, sungguh. Padahal ia sendiri yang menyetujui mengobrol dengan Bokuto lebih lama untuk membahas permasalahan mereka. Namun ia sendiri yang seperti sengsara akan keputusannya.

How did we end up breaking apart, Tetsu?

Here it is. The damn conversation is about to start!

“Gue yang mutusin.”

“Iya, tapi kenapa? Sampe sekarang gue gak tau kenapa lo putusin gue.”

“Bohong,” Kuroo membantah perkataan Bokuto. “Lo tau persis soal itu, Bokuto. Stop bohong ke gue kalo lo gak tau, karena gue bahkan bilang itu secara terang-terangan di chat!”

Bokuto masih diam, belum merespons perkataan Kuroo. Baiklah jika itu mau Bokuto, akan Kuroo ucapkan secara lantang saat itu juga.

“Jelas-jelas lo ngilang, ditambah lo jalan sama orang lain. Kurang jelas apa lagi?”

Bokuto menggeleng pelan, tatapannya masih tidak bisa Kuroo pahami. Bokuto menyangkalnya? yang benar saja! Hal itu membuat Kuroo tidak habis pikir, emosinya bahkan hampir memuncak jika ia tidak dengan segera mengontrol dirinya.

Tenang, Tetsu. Jangan emosi, biarin dia jelasin semuanya. Kuroo menenangkan dirinya sendiri.

“Gak gitu, Tetsu.”

“Gak gitu gimana?” Suaranya meninggi.

“Emang sebenernya ada apa sih, Bo?”

Bo.

Ya, dia mengatakannya. Panggilan kesayangannya untuk Bokuto dulu. Ia tidak peduli lagi, semuanya akan ia tuntaskan malam ini. Persetan dengan tembok yang ia bangun selama ini. Persetan dengan harga dirinya. Ia tidak peduli lagi. Bokuto bajingan. Semua bajingan.

Kuroo menghirup napas dalam, “Kenapa pas itu lo ilang gak jelas ninggalin gue?”

“Coba bilang, gue tuh salah apa sama lo sampe lo tega banget ngelakuin itu?”

Usahanya mengontrol diri gagal sudah. Emosinya kini sudah mencapai puncak. Suaranya meninggi dan hampir pecah. Kuroo kira selama ini ia kuat, namun ternyata malah sebaliknya. Disenggol sedikit saja, pertahanan yang ia bangun runtuh. 'Sial, padahal masih awal obrolan', batinnya.

What we had was beautiful, Bo. You made me believe that i was having the best life at the moment—

“Sampe akhirnya lo mulai susah dihubungin, dichat jarang bales. Lo juga susah ditemuin. Screw you!

Kuroo percaya bahwa tiga tahun lalu, ia ada di puncak kebahagiaannya. Ia yakin itu karena Bokuto benar-benar membuat dirinya seperti seorang paling bahagia di dunia. Ia berpacaran dengan Bokuto sejak kelas satu SMA. Awalnya mereka hanya teman biasa, sesama kapten tim voli yang sering mengobrol bersama. Hubungan itu awalnya bersifat platonik. Namun seiring waktu mereka menjadi lebih dekat, dan hubungan platonik itu berubah menjadi romantis. Akhirnya, mereka berdua memutuskan untuk berpacaran. Dua tahun berjalan, semuanya terisi dengan kenangan indah antara ia dan Bokuto. Kesehariannya diisi dengan canda dan tawa bersama orang itu. Kuroo tidak pernah merasakan lebih bahagia daripada itu di dalam hidupnya.

Kemudian memasuki tahun ketiga saat mereka SMA, semuanya mulai berubah. Mereka menjadi lebih serius karena tuntutan akademik. Voli masih mereka lakukan, namun secara keseluruhan kegiatan mereka lebih berfokus ke akademik. Bahkan untuk jalan bersama pun mereka kurangi intensitasnya. Meskipun begitu, mereka berdua berjanji akan terus bersama hingga nanti saat mereka kuliah. Meskipun nantinya mereka kuliah di kampus berbeda. Meskipun mereka akan saling berjauhan. Setidaknya itu lah janji manis mereka.

Kemudian pada suatu saat, Kuroo sudah diterima di salah satu kampus terlebih dahulu. Ia memberitahu Bokuto akan kabar baik itu. Awalnya Bokuto ikut senang mendengar itu, namun seiring waktu Bokuto menjadi berbeda. Seolah-olah Bokuto menjauh darinya. Hal ini membuat Kuroo bingung setengah mati. Semakin Kuroo memikirkannya, semakin sulit jawaban didapatkannya.

Hal itu terus-terusan dirasakan oleh Kuroo. Bokuto menjauh, membatasi pertemuan dan interaksi, hingga laki-laki itu menghilang sepenuhnya. Setiap hari Kuroo mencoba menghubunginya, menanyakan keberadaannya, bahkan ia kerap mampir ke rumah Bokuto yang akhirnya hanya bertemu dengan salah satu kakaknya. Namun kakaknya tidak berbicara apapun tentang itu, mereka tidak mau ikut campur. Hasilnya nihil. Bokuto tetap susah diraih. Kuroo dibuat gila dengan hilangnya Bokuto.

Padahal Kuroo sedang senang-senangnya, namun di manakah Bokuto pada saat itu?

Sejak saat itu, suara Bokuto yang menenangkannya hilang. Senyuman Bokuto yang tiap pagi memberinya semangat juga sirna. Keberadaan Bokuto di sisinya pun tak lagi ada. Kuroo merasa hampa. Kebahagiaannya raib.

“Dan saat gue masih berusaha ngehubungin lo yang ilang-ilangan itu, lo ada di cafe sama satu cewek. Dan itu gak cuma satu kali, Bo! Coba gue tanya, mau lo apa kalo kaya gitu?”

Ya, pada saat itu Kuroo diberi tahu seseorang bahwa orang itu melihat Bokuto bersama orang lain di sebuah tempat. Awalnya Kuroo tidak berpikir itu sebuah masalah besar. Namun hal itu terus berulang. Satu kali menjadi dua kali, tiga kali, dan seterusnya. Hal yang ia pikir bukan masalah, ternyata malah mendatangkan musibah.

You even hugged her with that stupid smile on your face.

Bokuto masih diam, namun mulutnya terbuka seolah-olah ingin mengatakan sesuatu pada Kuroo.

“Masih mau nyanggah kalo lo ketauan selingkuh? Iya?”

Matanya memanas seiring ia mengatur napasnya. Dan tanpa sadar, air dari mata Kuroo mulai menetes. Ternyata luka lama belum sepenuhnya pulih.

Dengan matanya yang berair itu, ia menangkap ekspresi Bokuto yang sedikit panik. Selanjutnya, yang ia rasakan hanyalah kehangatan dalam dekapan Bokuto di tengah dinginnya malam. Orang itu memeluknya.

Sssh... Tetsu, I'm sorry— don't cry, please...

Ia dulu begitu mencintai Bokuto, dan ia yakin bahwa orang itu mencintainya sebesar ia mencintai Bokuto. Namun Bokuto hilang entah ke mana, hingga membuat keyakinannya itu perlahan pudar. Keyakinan yang manis itu hilang, dan akhirnya tergantikan dengan keyakinan baru yang cukup pahit baginya.

“Kalo udah gak ada rasa tuh bilang, jangan malah ilang.”

“Jangan malah ilang dan sama yang lain.” lanjut Kuroo.

Kuroo mengusap matanya perlahan, menyeka air matanya yang ia tahan selama ini agar berhenti keluar, yang nyatanya tidak bisa. Ia masih tetap menangis karena dadanya terasa sesak. Perlahan ia melepaskan diri dari pelukan Bokuto. Kehangatan itu menghilang, tergantikan dengan dinginnya angin malam di pinggir pantai.

“Lo ngira gue ngilang karena udah gak ada rasa sama lo?”

“Iya? Mungkin lo jenuh sama gue, iya gue paham. Tapi gak gitu caranya, Bo.”

I trusted you, but you betrayed me.

“Gue percaya kalo lo bisa jaga semuanya, tapi nyatanya lo satu-satunya orang yang ngancurin itu.”

Bokuto menggelengkan kepalanya kemudian menatap Kuroo lembut, setelah itu hela napas pelan lolos dari bibirnya dan ia tertawa pelan. Bukan tawa ceria, namun tawa getir yang Kuroo sendiri miris saat mendengarnya.

“Tau kenapa gue bisa sama cewek itu terus?” Kuroo menggeleng mendengar pertanyaan Bokuto.

“Lo suka dia?” Kuroo menebak sesuai asumsinya.

No, Tetsu no.

“Lo tau dia siapa?” Bokuto bertanya, Kuroo menggeleng lagi.

Memangnya apa pentingnya bagi Kuroo untuk mengetahui siapa perempuan itu? Tidak penting sama sekali. Yang Kuroo tahu, orang itu pastinya penyebab hubungannya dan Bokuto kandas.

Bokuto kemudian memberikan minumannya yang belum tersentuh pada Kuroo. Hal itu ia lakukan lantaran ia tahu bahwa menangis menghabiskan energi dan membuat dehidrasi, dan Kuroo bisa pusing jika tidak diimbangi dengan minum.

“Tetsu, dia itu tentor gue. Waktu itu gue emang lagi fokus buat persiapan ujian. Gue ambil jadwal intensif.”

Kuroo menatap Bokuto bingung. “Gue gak paham?”

Pembohong.

Kuroo berbohong karena sejujurnya ia sedikit paham. Ia mulai dapat menyambungkan titik-titik yang ada di kepalanya. Namun ia ingin mendengar penjelasan lebih lanjut dari Bokuto.

“Sebelumnya gue mau minta maaf karena gue ngilang tanpa ngabarin lo. It was my fault, gak ada pembelaan karena emang nyatanya gue yang salah. I should've told you.”

Apa?

Bokuto berdeham, melegakan tenggorokannya. Hal itu justru membuat Kuroo menjadi gugup akan jawaban orang itu.

“Dengerin gue ya,”

“Tetsu, gue seneng banget waktu denger lo dapet snm. Serius gue seneng banget, apalagi pas liat lo senyum terus. I was so fuckin' proud of my baby.

Bokuto sialan.

“Tapi abis itu gue mikir, lo tuh setinggi itu di mata gue. Apa iya gue yang gitu-gitu aja pantes bareng sama lo? Saat lo udah dapet kampus yang lo pengen, dan gue masih belom apa-apa. Gue kepikiran, gue takut, gue ngerasa gak layak sama sekali. Sampe akhirnya gue mutusin buat berjuang mati-matian dan ambil kelas intensif. Gue ngejar materi, belajar keras, biar bisa satu almamater sama lo.”

Oh, God.

Sebuah hantaman keras dirasakan Kuroo di kepalanya. Semuanya menjadi kosong setelah Bokuto mengucapkan itu.

Kenapa? Kenapa Bokuto tidak memberi tahu hal sepenting itu dan malah membuat semuanya menjadi runyam? Ia tidak paham sama sekali!

Ia tidak paham mengapa Bokuto memilih berjuang sendiri, saat ia jelas-jelas akan tetap berada di sisinya untuk mendukungnya sepenuh hati. Saat ia hendak akan bertanya hal itu pada Bokuto, orang itu sudah menjawab dahulu seolah membaca pikirannya.

“Kalo lo tanya kenapa gue gak ngomong, gue ngelakuin ini diem-diem karena gue gak mau bikin lo kepikiran. Gue gak mau ngerusak moment bahagia lo, Tetsu.”

What the actual fuck...

“Gue pengen waktu itu kasih kejutan buat lo dan ngomong 'Tetsu, liat ini pacar lo bisa nyusul lo.' Tapi rencana gue ternyata salah langkah, i screwed it up.”

Kuroo kehilangan kata-kata. Dadanya semakin sesak. Bajingan. Keadaan ini, kondisi ini, semuanya bajingan. Ia menggigit bibirnya saat Bokuto melanjutkan perkataannya.

I know i'm an asshole.”

“Seenggaknya lo bales chat gue. Tapi apa kenyataannya, Bo?”

“Jujur gue sampe stress banget waktu itu karena progress gue gak gede tiap harinya. Itu yang bikin gue takut buat bales chat dari lo. Makin ada notif chat dari lo, gue makin kepikiran. Setelah itu gue bener-bener fokus sampe ujian.”

“Akhirnya gue dapet jalur mandiri, dan kebetulan gue buka pengumumannya bareng tentor gue yang itu. Gue seneng banget waktu itu, and that was the reason why i hugged her.

Astaga.

Semuanya jelas sekarang. Semuanya masuk akal, meskipun jika ditilik lagi Kuroo masih tidak bisa menerima alasan Bokuto tidak memberitahunya. Seharusnya orang itu bilang, barang sepatah kata saja. Sungguh ia tidak apa. Ia tidak keberatan sama sekali untuk orang yang ia sayangi.

“Jadi cewek itu beneran cuma tentor lo?” Tanya Kuroo yang mendapat anggukan dari Bokuto.

Shit, gue gak kepikiran sampe situ.”

I know i really fucked it up, tapi alasan gue ngilang itu karena lo Tetsu. Gue berjuang demi lo, demi kita biar bisa barengan sampe kuliah. Yah, salah gue juga karena gak bilang dari awal.. sampe lo minta putus dan musuhin gue sampe kuliah gini.” Bokuto menutup perkataannya dengan tawa getir.

Kuroo merasa ingin berteriak, namun untuk mengucapkan satu kata pun ia tidak mampu. Ia hilang kata. Tatapannya kosong dengan matanya yang sembab itu.

Please forgive me for what i did..” Ucap Bokuto final.

“Bo.. anjing sumpah lo.”

Air mata Kuroo kemudian lolos kembali, mengalir di pipinya yang memerah. “Sakit loh Bo, demi apapun sakit banget.”

Jadi selama ini, anggapannya memang salah. Asumsi yang ia susun sendiri berdasarkan informasi setengah-setengah itu ternyata tidaklah benar. Ia merasa marah dan malu secara bersamaan. Ia malu pada Bokuto karena ia seperti orang bodoh yang berpikir pendek dan bertindak impulsif. Namun ia lebih malu pada diri sendiri.

“Lo harusnya ngomong ke gue, biar gue ngerti, biar gue gak mikir macem-macem tentang lo!”

Fuck!” Kuroo mengumpat tak tertahan. Kalau begini caranya, Kuroo yang merasa bersalah sepenuhnya.

Marah dan malu menyelimuti dirinya. Dan perasaannya itu bercampur dengan rasa sakit, mengakibatkan sesak di dadanya kian bertambah. Kuroo rasanya ingin meledak saja.

It's okay, i'm the one to blame.” Ucap bokuto.

“Gue ngomong gini bukan karena apa-apa kok. Bukan karena mau ngajak balikan juga, karena gue yakin kesalahan gue cukup fatal.”

“Gue cuma pengen ngelurusin aja biar gak ada hard feeling lagi.”

Satu jam sudah berlalu semenjak kedatangan mereka di pantai itu, dan mereka belum ingin beranjak dari posisi masing-masing. Angin malam di tepi pantai itu semakin menusuk kulit. Membuat kulit Kuroo meremang dan bibirnya sedikit bergetar. Kontras dengan kepala dan hatinya yang terasa panas.

Kuroo menghela napas. Pandangannya tertuju pada pasir putih yang kini ia mainkan dengan ranting di tangannya. “Gue gak tau mau ngomong apa..”

“Gak ngomong juga gak apa, lo mau mukul gue pun boleh kok..” Bokuto mengucapkannya sambil nyengir lebar.

“Maafin gue ya? let's fix this.

Kuroo menatap manik Bokuto lamat, dan akhirnya mengangguk satu kali.

“Gue sih yang harus minta maaf karena udah salah paham. Maafin gue karena gue impulsif dan seenaknya sendiri...”

Selepas mengucapkan itu, beban di dada Kuroo perlahan terangkat. Ia merasa seperti bisa bernapas lagi. Sedikit demi sedikit. Ia tatap Bokuto, matanya menyipit, sudut bibirnya terangkat. Ia tersenyum tulus pada Bokuto.

“Jangan berantem lagi ya kita?” tanya Bokuto yang dijawab anggukan Kuroo.

Bokuto tidak ambil pusing, pun juga Kuroo. Karena semuanya sudah jelas dan tidak ada alasan lagi untuk terus menerus memusuhi. Karena mereka tidak mau cinta untuk membenci. Kuroo juga sudah tidak mau terus-terusan ditempatkan di puncak. Puncak kebahagiaan, berubah menjadi puncak emosi, dan berakhir menjadi puncak komedi seperti sekarang ini.

“Maafin gue juga karena udah musuhin lo tiga tahun ini...”

Bokuto tertawa lebar, ia menggeleng sambil mengusap pundak Kuroo. “Iya, gue gak masalah kok asal lo baik-baik aja.”

Bokuto salah, karena faktanya Kuroo tidak baik-baik saja. . . . .

© caessonia